Senin, 20 Desember 2021

Tentang Wakaf

 

            MATA KULIAH

Studi Hadis Hukum Keluarga

DOSEN PENGAMPU

1.     Prof. Dr. H. Fahmi Al-Amruzi, M.Hum

2.      Dr. Rahmat Solihin, M.Ag

 

 

 

 

 

Wakaf Dalam Perspektif Hadis

OLEH

Marzuki Na’ma

NIM : 210211050114

 

 


 

 

 

 

 

 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

BANJARMASIN

PASCASARJANA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

TAHUN 2021


KATA PENGANTAR

 

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan berkah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga makalah yang berjudul Wakaf Dalam Perspektif Hadis ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

 

 

Penyaji/Penulis

 

 

 

Marzuki Na’ma

 


PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Wakaf merupakan salah satu ajaran Islam yang telah dikenal umat Islam semenjak zaman Rasulullah SAW. Praktik wakaf telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para sahabatnya dan generasi selanjutnya secara terus-menerus. Hingga saat ini kita menemukan obyek-obyek wakaf bertebaran di sekitar kita seperti masjid, madrasah, pondok pesantren maupun lahan-lahan wakaf yang masih belum dimanfaatkan.

Wakaf merupakan salah satu sarana yang dianjurkan oleh ajaran Islam untuk dipergunakan oleh seseorang sebagai sarana penyaluran rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Perlu peningkatan peran wakaf sebagai lembaga keagamaan yang bertujuan untuk menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu adanya pengembangan pemanfaatan sesuai dengan prinsip syariah.[1]

Pada dasarnya wakaf merupakan tindakan sukarela (tabarru') untuk mendermakan sebagian kekayaan. Karena sifat harta benda yang diwakafkan tersebut bernilai kekal, maka derma wakaf ini bernilai jariyah.[2]

Dalam Islam, wakaf tidak terbatas pada tempat-tempat ibadah saja dan hal-hal yang menjadi prasarana dan sarana saja, tetapi diperbolehkannya dalam semua macam shadaqah. Semua shadaqah pada kaum fakir dan orang-orang yang membutuhkannya. Islam meletakkan amalan wakaf sebagai salah satu bentuk ibadah kebajikan.[3]

B.      Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan makalah ini, maka dirumuskan sebagai berikut :

a.         Bagaimana Kedudukan Wakaf dalam perspektif Hadist?

b.         Bagaimana Rukun dan Syarat Wakaf?

c.         Apa saja macam-macam Wakaf?

C.    Tujuan

Dalam penulisan makalah ini tentunya mempunyai tujuan sebagaimana dimaksud :

a.         Untuk mengetahui dan memahami Kedudukan Kedudukan Wakaf dalam perspektif Hadist.

b.         Untuk mengetahui dan memahami Rukun dan Syarat Wakaf.

c.         Untuk mengetahui macam-macam Wakaf.


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Wakaf

Secara harfiah wakaf bermakna “pembatasan” atau “larangan”. Sehingga kata wakaf dalam Islam untuk maksud “pemilikan dan pemeliharaan” harta benda tertentu untuk kemanfaatan sosial tertentu yang ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan harta wakaf tersebut di luar tujuan khusus yang telah ditetapkan.[4]

Wakaf dalam hukum Islam berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (dzatnya) kepada seseorang atau nadzir (pengelola wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari‟at Islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak milik nadzir, tetapi menjadi hak milik Allah dalam pengertian hak masyarakat umum.[5]

Para ulama fiqih memiliki definisi masing-masing terhadap wakaf secara istilah yaitu:

a.    Abu Hanifah

Wakaf ialah menahan suatu benda, namun menahan hanya sebatas mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Jadi harta wakaf tersebut tidak terlepas dari si wakif, bahkan wakif diperbolehkan untuk menarik dan boleh menjual harta tersebut, dan jika si wakif wafat harta tersebut menjadi harta warisan untuk ahli warisnya.

b.   Mayoritas Ulama

Fatwa dikalangan ulama mazhab Hanafiyyah, mazhab Syafi`I dan mazhab Hanbali mengartikan wakaf yaitu harta yang ditahan dan bisa dimanfaatkan, sementara barang tersebut masih utuh. Harta tersebut terlepas dari kepemilikan orang yang mewakafkan dan menjadi tertahan dengan dihukumi menjadi milik Allah. Orang yang mewakafkan terhalang untuk mengelolanya, dan barang tersebut harus disedekahkan sesuai dengan tujuan perwakafan tersebut.

c.    Mazhab Maliki

Menurut Malikkiyyah wakaf tidak memutus atau menghilangkan hak kepemilikan barang yang diwakafkan, namun hanya memutus hak pegelolannya. Kepemilikannya terhadap barang tersebut tetap, namun dia terhalang untuk menjual dan menghibahkannya.[6]

B.    Hadist tentang Wakaf

Dari Ibnu Umar RA

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَنْبَأَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ ابْنِ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَصَبْتُ مَالًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهَا لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ تَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr, telah memberitakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim dari Ibnu 'Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar ia berkata; bahwa Umar bin Khattab mendapatkan bagian tanah di Khaibar, kemudian ia menemui Nabi Muhammad saw untuk meminta arahan. Umar berkata: ‘Wahai Rasulullah saw, aku mendapatkan kekayaan berupa tanah yang sangat bagus, yang belum pernah kudapatkan sebelumnya. Apa yang akan engkau sarankan kepadaku dengan kekayaan itu?’ Nabi bersabda: ‘Jika kamu mau, kau bisa mewakafkan pokoknya dan bersedekah dengannya.’ Lalu Umar menyedekahkan tanahnya dengan persyaratan tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Umar menyedekahkan tanahnya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak, sabilillah, ibn sabil, dan tamu. Tidak berdosa bagi orang yang mengelola untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf dan memberi makan seorang teman dan tidak menimbun.” (HR. At-Tarmidzi)[7]

Menurut Ibnu Hajar Hadis ‘Umar ini adalah hadis yang paling populer dalam kajian wakaf sehingga tidak salah jika Ibnu Hajar menyebutnya sebagai aslun (asal/dasar) bagi disyariatkannya wakaf. Berdasarkan hadis ini pula Ibnu Hajar menyebutkan pendapat yang mengatakan bahwa wakaf ‘Umar ini merupakan wakaf yang pertama kali terjadi dalam sejarah Islam.

Selain itu, Ibnu Hajar juga menyebutkan banyak kesimpulan mengenai wakaf dari hadis tersebut, yaitu disyariatkannya wakaf dalam bentuk tanah dan menolak pendapat yang mengatakan bahwa wakaf tidak bersifat abadi atau boleh ditarik kembali oleh wakif. Menurut Imam al-Syafi’i, wakaf adalah karakteristik umat Islam dan tidak diketahui apakah wakaf pernah terjadi pada zaman jahiliyah.[8]

Selain itu, Ibnu Hajar juga menyimpulkan hukum yang berkaitan dengan wakaf, sebagai berikut:

a.    Orang yang wakaf (wakif) boleh tetap mengurus harta wakafnya selama orang itu menyerahkannya kepada orang atau pihak lain. Menurut Imam al-Syafi’i, para sahabat dan generasi setelahnya senantiasa mengelola wakaf mereka dan tidak ada yang mempermasalahkannya.

b.   Wakif boleh menambahkan syarat-syarat tertentu bagi pemanfaatan harta wakafnya dan agar pihak lain menghormati syarat-syarat tersebut.

c.    Tidak disyaratkan untuk menentukan secara tersurat pihak-pihak yang berhak mendapatkan manfaat wakaf.

d.   Dibolehkannya seorang wanita menjadi pengelola wakaf meskipun ada orang-orang laki-laki yang semisalnya.

e.    Dibolehkan menyerahkan wakaf kepada orang yang tidak disebutkan namanya selama diketahui sifat-sifat tertentu yang memungkinkannya mengelola wakaf dengan baik.

f.    Wakaf hanya dibolehkan bagi harta yang asalnya dapat dimanfaatnya secara langgeng dan tidak dibolehkan wakaf bagi harta yang cepat rusak seperti makanan.

g.   Dibolehkannya wakaf kepada orang kaya sebab penyebutan kata kerabat dan tamu tidak dibatasi dengan batasan tertentu.

h.   Wakif boleh mensyaratkan bagi dirinya sendiri agar mendapatkan manfaat atau keuntungan dari harta yang diwakafkannya, sebab dalam hadis tersebut Umar menyebutkan orang yang mengelola wakaf boleh mengambil manfaat dari harta wakaf dengan tanpa membedakan apakah orang itu wakif sendiri atau orang lain.

i.     Jika wakif tidak menentukan upah bagi nazir, maka ia berhak mengambil upah berdasarkan pekerjaan yang dikerjakannya. Tetapi, jika wakif menentukan bahwa nazirnya adalah dirinya sendiri kemudian menentukan upah baginya, maka pendapat yang rajih dalam mazhab al-Syafi’i adalah membolehkannya.

j.     Jika wakif membolehkan bagi nazir untuk mengambil manfaat wakaf maka ia boleh mengambilnya dan jika tidak dibolehkan maka ia tidak boleh kecuali jika termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan manfaat wakaf seperti orang-orang fakir dan miskin.

k.   Wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu.

l.     Wakaf tidak boleh diperjualbelikan atau dipindahkan kepemilikannya.

m.  Dibolehkannya wakaf bagi harta yang dimiliki secara berjama’ah.[9]

C.    Rukun dan Syarat Wakaf

a.    Wakif (orang yang mewakafkan harta), disyaratkan orang yang sepenuhnya berhak terhadap harta tersebut, harus mukallaf, atas kehendak sendiri dan tidak dipaksa oleh orang lain.

b.   Mauquf bih (barang atau benda yang diwakafkan), disyaratkan benda yang diwakafkan harus kekal zatnya, serta zat barang tidak rusak.

c.    Mauquf `Alaih (pihak yang diberi wakaf), disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah.

d.   Shigat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu benda keinginannya untuk mewakafkan sebagian harta bendanya), lafadz wakaf dinyatakan dengan jelas baik secara lisan, tulisan, ataupun atau isyarat yang dapat dipahami maksudnya.[10]

D.    Macam-macam Wakaf

Bila ditinjau dari peruntukannya maka wakaf dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

a.      Wakaf Ahli

Wakaf ahli disebut juga dengan wakaf dzurri yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, satu orang atau lebih, keluarga wakif atau bukan.

b.     Wakaf Khairi

Wakaf khairi yaitu wakaf yang diberikan untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum). Seperti wakaf yang diserahkan untuk kepentingan pembangunan fasilitas umum seperti masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan dan lain sebagainya.[11]

E.    Wakaf di Indonesia

Perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami kemajuan ketika tahun 2001 beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung konsep baru mengenai pengelolaan wakaf tunai untuk mensejahterakan umat. Kemudian pada tahun 2002, MUI mengeluarkan fatwa mengenai kebolehan dalam berwakaf tunai (waqf al- nuqud). Seiring perkembangannya zaman maka pengelolaan wakaf semakin berkembang dengan terbiitnya Undang-Undang yang khusus mengatur tentang wakaf yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.[12]

Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan pada syariah dan peraturan perundang-undangan, namun terdapat beberapa pokok pengaturan baru mengenai perwakafan antara lain sebagai berikut:

1.   Ditegaskan bahwa untuk sahnya perbuatan wakaf maka wajib untuk didaftarkan dan dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur oleh Undang-Undang perwakafan, sehingga menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi benda wakaf tersebut.

2.   Ruang lingkup wakaf yang lebih berkembang, yang awalnya terbatas pada benda wakaf tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Namun sekarang diperbolehkannya berwakaf dengan benda bergerak baik berwujud ataupun tidak berwujud seperti uang, kendaraan, dan lain sebagainya.

3.   Pengelolaan benda wakaf tidak semata untuk saraana ibadah dan sosial, namun juga diarahkan kepada pengelolaan benda wakaf dengan kegiatan ekonomi sepanjang kegiatan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syariah.

4.   Perlunya peningkatan kemampuan profesional nazhir, untuk mengamankan benda wakaf dari campur tangan pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab.

5.   Dibentuknya Badan Wakaf Indonesia yang merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugas dibidang perwakafan.

Dengan adanya Undang-Undang 41 Tahun 2004 sangat memberikan peluang bagi masyarakat umat Islam untuk dapat mewakafkan sebagian harta kekayaan miliknya untuk memajukan kesejahteraan umum.[13]

 

 


 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Simpulan

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Wakaf merupakan salah satu ajaran Islam yang telah dikenal umat Islam semenjak zaman Rasulullah SAW. Praktik wakaf telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para sahabatnya dan generasi selanjutnya secara terus-menerus. Ibadah wakaf menurut para ulama dikategorikan sebagai amal jariyyah yang memiliki amal pahala yang terus menerus mengalir walaupun orang yang berwakaf telah meninggal dunia.oleh karena itu, dengan adanya pengelolaan yang baik maka harta manfaat dari harta wakaf tersebut semakin relevan dengan kondisi masyarakat kita sekarang.

B.    Saran

Diharapkan dengan adanya ketentuan wakaf yang lebih berkembang dapat menumbuhkan keinginan yang lebih kuat untuk memberikan sebagian hartanya untuk amal jariyah di jalan Allah sehingga terciptanya ukhuwah Islamiyah.

     


DAFTAR PUSTAKA

 

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

 

Ahmad Rofiq, 1997, Hukum Islam Di Indonesia, Cet. Ke-2, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

 

Al-‘Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, 2000, Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al- Bari, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, cet. II

 

Abdul Aziz Muhammad Azzam, 1997, Fiqh Muamalat (Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam),Amzah, Jakarta.

 

Wabah Zhuhaili, tt, Al-Fiqhu al-Islam wa ‘Adillatuhu, Dar al-Fikr al-Mu‟ashir , Damaskus.

 

Hadits Jami' At-Tirmidzi No. 1296 - Kitab Hukum-hukum

 

Al-‘Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, 2000, Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al- Bari, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah.

 

Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Darul Ulum Press, 1994).

 

Tim Penyusun Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bima Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Fiqih Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bima Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, ,2007).

 

Bashlul Hazami, Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat di Indonesia, Analisis, Vol. XVI, No. 1, 2016.

 

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),



[1] Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 121.

[2] Ahmad Rofiq, 1997, Hukum Islam Di Indonesia, Cet. Ke-2, Raja Grafindo Persada, Jakarta,h. 438.

[3] Ibid h. 479-480

[4] Wabah Zhuhaili, tt, Al-Fiqhu al-Islam wa ‘Adillatuhu, Dar al-Fikr al-Mu‟ashir , Damaskus, h.7599.

[5] Abdul Aziz Muhammad Azzam, 1997, Fiqh Muamalat (Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam),Amzah, Jakarta, h. 395

[6] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, terj. Abdul Hayyi al-Kattan, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011) hlm. 268-272.

[7] Hadits Jami' At-Tirmidzi No. 1296 - Kitab Hukum-hukum

[8] al-‘Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, 2000, Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al- Bari, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, Juz 5 Hal 502

[9] Ibid Hal 503-507

[10] Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Darul Ulum Press, 1994), hlm. 32-33.

[11] Tim Penyusun Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bima Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Fiqih Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bima Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, ,2007), hlm. 15-18.

[12] Bashlul Hazami, Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat di Indonesia, Analisis, Vol. XVI, No. 1, 2016, hlm. 186-187.

[13] Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hlm. 122-123.

Ditulis Oleh : Marzuki Na'ma, S. Kom // Desember 20, 2021
Kategori:

0 comments:

Posting Komentar

 

Wikipedia

Hasil penelusuran

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.