Konsep Hadhanah, Radha’ah dan Adopsi dalam Hukum Islam
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Hadits Hukum Keluarga
Dosen Pengampu
Prof Dr. H. Fahmi Al-Amruzi.M.Hum Dr. Rahmat Solihin.M.Ag
Perkawinan merupakan salah satu fase dalam melangsungkan kehidupan, dimana perkawinan adalah awal kehidupan yang baru, ketika antara seorang laki- laki dan seorang perempuan sepakat untuk menjadi sepasang suami dan istri dalam satu ikatan pernikahan.
Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan. Dalam sebuah rumah tangga, orang tua mempunyai kewajiban dalam mengasuh, memelihara dan merawat anak. Anak mempunyai hak untuk dirawat oleh orang tuanya, walaupun orang tuanya sudah bercerai. Terkadang ada seorang ibu yang tidakbisa menyusui anaknya karena sebab tertentu, sehingga anaknya disusukanlah kepada orang lain, yang selanjutnya timbullah saudara sesusuan.
Dalam hal orang tua tidak mampu merawat anak sendiri, maka anak tersebut bisa diasuh oleh keluarga terdekat yang dibenarkan oleh ketentuan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis merasa perlu mengangkat tema tentang konsep hadhanah, radha’ah dan adopsi dalam hukum Islam.
A. Hadhanah
1. Pengertian Hadhanah
BAB II PEMBAHASAN
Hadhanah berasal dari bahasa Arab, dengan asal kata asal
حضنا yang artinya mengasuh anak atau memeluk anak.1
– حيضن -
حضن
Menurut Amir Syarifuddin, pengertian hadhanah dalam istilah fikih digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama yaitu Kafalah dan Hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah dan kafalah dalam arti sederhana adalah pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putusnya perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya.2
Sedangkan Sayyid Sabiq mengungkapkan bahwa Hadhanah adalah suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan dan menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya, baik fisik, mental, maupun akal, agar mampu menegakan kehidupan yang sempurna dan bertanggung jawab.3
Ulama Fikih sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak adalah kewajiban bagi kedua orang tua, karena apabila anak yang masih kecil (belum mumayyiz) tidak dirawat dan dididik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri dan masa depan anak mereka. Bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu, anak-anak tersebut wajib dipelihara, dirawat, dan dididik dengan baik.4
![]() |
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 2000), h. 104.
2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), cet. III, h. 327.
3 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Daral- Fikr, 1993).
4 Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. I, h. 115.
2. Dasar Hukum Hadhanah dalam Hadits
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As Sulami, telah menceritakan kepada kami Al Walid dari Abu 'Amr Al Auza'i, telah menceritakan kepadaku 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr bahwa seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah SAW. berkata kepadanya: engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah.” (HR. Abu Daud).
Sanad hadits diatas adalah Nabi Muhammad SAW. → Abdullah bin Amru → Syu’aib bin Muhammad → Amru bin Syu’aib → Abdurrahman bin Amru → Walid bin Muslim → Mahmud bin Khalid→ Abu Daud.
Sanad hadits tersebut telah memenuhi syarat keshahihan sanad. Syarat- syarat keshahihan sanad ialah ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), para perawinya kredibel (tsiqqahu al-ruwah), intelektualitas perawi (dhabtu al-ruwah). Semua rijal yang terlibat dalam periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai guru- murid. Kredibilitas maupun intelektualitas mereka juga tidak perlu dilakukan lagi. Tidak ada seorang perawi pun yang berstatus dhaif. Tidak ada cela ('illat) pada para rijal tersebut. Selanjutnya dari sisi matan, hadis tersebut menunjukkan ciri-ciri pernyataan dari Rasul karena memiliki sanad yang cukup dan tidak ada kata-kata yang gharib. Hadis yang diteiliti juga tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain.
![]() |
5 Abu Daud Sulaiman bin al-‘Asy’ats Abu Daud al-Sijistani al-Azdy, Abu Daud, Sunan Abi Daud,
(Beirut: Dar al-Kutub, al-Ilmiyah, 2005), cet. ke-II, h. 293-294.
Selain itu, ditemukan beberapa hadis tematik yang menjadikan penjelasan terhadap hadis tersebut saling menguatkan dan memperjelas. Karena hadis ini terbukti shahih dari sisi sanad dan matan, maka hadis ini dapat digunakan sebagai hujjah atau diyakini kebenarannya.6
Hadits tersebut menunjukkan bahwa ibu lebih berhak dari pada bapak dalam hal pengasuhan anak, apabila bapak hendak mencabutnya dari tangan ibunya, wanita ini telah mengemukakan alasan-alasannya bahwa dia yang lebih berhak dalam pengasuhan anak tersebut. Mengenai ibu lebih berhak dari bapak dalam hal pengasuhan anak itu, tidak terdapat ikhtilaf dikalangan ulama. Abu Bakar dan Umar telah menetapkan hukum yang seperti ini.
Hadits diatas menjelaskan bahwa anak yang sudah dapat menentukan pilihan yang baik terhadap dirinya diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan,
6 http://dianafitriumami.blogspot.com/2017/01/hadis-tentang-hak-hadanah-dalam.html. Diakses 25 November 2021 pukul 16.25 WITA.
sehingga Nabi memberikan kebebasan kepadanya untuk memilih ikut bersama ibu atau ayahnya.7
3. Hak Hadhanah
Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadhânah tersebut, apakah hak hadhânah milik wanita (ibu atau yang mewakilinya) atau hak anak yang diasuh. Menurut Ibn Rusyd hadhânah diatur tertibnya menurut konsep kedekatan dan kelemahlembutan, bukan dengan dasar kekuatan perwalian, seperti nikah, mawali, shalat jenazah, wala', dan warisan. Bisa saja orang yang tidak mewarisi tetapi berhak hadhânah seperti orang yang diberi wasiat, adik perempuan ayah, adik perempuan ibu, anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan. Bisa saja orang yang mewarisi tetapi tidak berhak hadhânah seperti suami istri orang yang diasuh, dan perwalian karena memerdekakan budak. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa mengasuh,me-rawat, dan mendidik anak merupakan hak pengasuh baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi lebih diutamakan kepada pihak perempuan,karena biasanya lebih mampu mencurahkan kelembutan dan kasih sayang serta membimbing anak, sedangkan laki-laki biasanya hanya punya kemampuan dan kewajiban untuk menjaga, melindungi memberikan yang terbaik kepada anak secara fisik.3 Akan tetapi Hanafiyah mensyaratkan bahwa perempuan yang melakukan hadhânah adalah permpuan yang merupakan kerabat dari anak (zata rahima mahram min al-shigar), seperti bibi (khalah)dari pihak ibu atau dari pihak ayah (ammah), atau nenek dari anak, karena biasanya mereka akan lebih serius dan telaten dalam mengasuh anak tersebut disebabkan masih mempunyai hubungan nasab dan kekerabatan
dengan mereka.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Wahbah az-Zuhaili (guru besar fikih Islam di Universitas Damascus, Suriah) hak hadhânah merupakan hak berserikat antara ibu, ayah, dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiga orang ini, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh. Dalam pengertian, diserahkan kepada anak untuk memilih siapa yang akan meng-asuhnya.8
![]() |
7 Maulina Syahfitri, “Batas Masa Hadhanah (Studi Analisis Menurut Pendapat Mazhab Maliki)” (Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, 2016), h. 22.
8 Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. I, h. 116.
4. Rukun dan Syarat Hadhanah
Pengasuhan anak terdapat dua unsur yang menjadi rukun, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang telah ditentukan.
Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan tersebut. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu dan atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.
a) Syarat hadhin
Ayah atau ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1) Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2) Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.
3) Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak yang diasuhakan jauh dari agamanya.
4) Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.9
Wahbah Zuhaily, dalam Fiqh Islam wa Adillatuhu menyebutkan syarat khusus pengasuh anak yang dilakukan oleh wanita adalah:
1) Wanita itu tidak menikah kembali dengan laki-laki lain;
2) Wanita itu harus memiliki hubungan mahram dengan anak yang dipeliharanya;
3) Wanita itu tidak pernah berhenti meskipun tidak diberi upah;
![]() |
9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), cet. III, h. 328.
4) Wanita yang tidak pemarah, orang yang dibenci oleh anak tersebut atau membenci anak-anak.
Sedangkan syarat khusus untuk pengasuh anak yang dilakukan oleh pria adalah:
1) Pengasuh harus mahram dari anak tersebut;
2) Pengasuh harus didampingi oleh wanita lain dalam mengasuh anak tesebut seperti ibu, bibi atau istri dari laki-laki tersebut, alasannya seorang laki-laki tidak mempunyai kesabaran untuk mengurus anak tersebut, berbeda dengan kaum perempuan.10
b) Syarat mahdhun
1) Anak yang diasuh masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
2) Anak yang diasuh berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri.
Sayyiq Sabid dalam Fiqih Sunnah mensyaratkan anak yang dalam pengasuhan tersebut harus belum mumayyiz, baik anak laki-laki maupun perempuan.11
Bila kedua orang tua anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak tersebut adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati oleh ulama.
Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia tujuh tahun (dalam fiqh dinyatakan telah mumayyiz) dan tidak idiot, antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah, menurut pendapat sebagian ulama diantaranya Imam Ahmad dan al-Syafi'iy, maka si anak diberi hak pilih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan selanjutnya.
Sedangkan menurut sebagian ulama yang lain diantaranya Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat tidak diberikan hak pilih kepada si anak. Namun di antara keduanya berbeda pendapat dalam penyelesaiannya. Abu Hanifah
10 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet. I, h. 68-69.
11 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Daral- Fikr, 1993)
berpendapat bahwa bila si anak telah dapat hidup mandiri, baik dalam berpakaian, makan, dan membersihkan badannya, maka ayah lebih berhak atasnya. Malik berpendapat bahwa ibu yang lebih berhak sampai selesai masa asuhannya.12
Bila yang telah mencapai masa tamyiz itu adalah anak perempuan, ulama beda pendapat dalam menetapkan yang berhak melakukan hadhanah. Menurut pendapat Imam Ahmad yang diikuti oleh pengikutnya dan ulama lainnya, anak perempuan itu diberikan kepada ayah, karena dia yang berhak melakukan hadhanah. Alasan yang dikemukakan ulama ini adalah, bahwa yang menjadi tujuan dari hadhanah itu di samping pemeliharaan adalah rasa diri. Anak perempuan yang telah mencapai usia tujuh tahun mendapatkan rasa dirinya bila dia berada di bawah ayahnya. Dia memerlukan pemeliharaan dan ayah lebih baik dalam hal ini dibandingkan dengan ibu.
Imam al-Syafi'iy berpendapat bahwa anak perempuan itu diberi pilihan untuk hidup bersama ayahnya atau ibunya, sebagaimana yang berlaku pada anak laki- laki. Abu Harifah bependapat bahwa bu lebih berhak untuk melaksanakan hadhanah sampai dia kawin atau haid. Menurut Imam Malik ibu lebih berhak sampai dia kawin atau bergaul dengan suaminya, karena anak dalam usia tersebut tidak mampu untuk memilih.13
B. Radha’ah
1. Pengertian Radha’ah
Radha’ah berasal dari bahasa arab yang berarti meminum atau mengisap susu dari buah dada.14 Menurut Abdurrahman al-Jaziri, radha’ah menurut syara’ adalah sampainya (masuknya) air susu manusia (perempuan) ke dalam perut seorang anak (bayi) yang umurnya tidak lebih dari dua tahun (24 bulan).15
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan radha’ah atau susuan. Menurut Hanafiyah, radha’ah adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan, radha’ah adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang
![]() |
12 Ibnu Qudamah, al-Mughniy (Cairo: Musthafa al-Babiy al-Halabiy, 1970), h. 329.
13 Ibid, h. 341.
14 Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, Edisi II (Cet XXV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 241
15 Abdurrahman al-Jaziri, Fiqih ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr), h. 219.
berfungsi sebagai gizi. As-Syafi’iyah mengatakan, radha’ah adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al-Hanabilah mengatakan, radha’ah adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan atau meminum susu tersebut atau sejenisnya.16
2. Dasar Hukum Radha’ah dalam Hadits
Artinya: “Dari Aisyah, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW. berada di rumah Aisyah. Saat itu Aisyah mendengar suara laki-laki yang minta izin masuk ke rumah Hafshah. Aisyah berkata, "Wahai Rasulullah, laki-laki itu minta izin masuk ke rumahmu." Lalu Rasulullah menjawab, “Aku tahu, dia adalah si fulan-anak paman Hafshah dari saudara susuan." Lalu aku berkata, "Wahai Rasulullah, seandainya si fulan-anak paman Aisyah dari saudara susuan-hidup, apakah dia boleh masuk pula ke rumahku?” Beliau menjawab, "Ya boleh, karena susuan itu menyebabkan mahram sebagaimana hubungan kelahiran.”
![]() |
16 Cholil Umam, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern (Surabaya: Ampel Suci, 1994), h. 247.
17 Imam Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim, diterjemahkan oleh Rohmad Arbi Shoddiq, Nila Noer Fajriyah, (Jakarta: Ummul Qura, 2016), h. 420.
´.
Artinya: “Dari Aisyah dia berkata, "Ayat tentang susuan yang menyebabkan mahram sebagaima disebutkan di dalam Al-Qur'an adalah sepuluh kali hisapan. Kemudian, ayat itu dihapus menjadi lima kali hisapan. Setelah itu, Rasulullah meninggal dunia, dan ayat-ayat Al-Qur'an tetap dibaca seperti itu."
3. Rukun dan Syarat Radha’ah
Menurut Jumhur Ulama bahwa rukun Radha’ah ada tiga19, yaitu;
a) Wanita yang menyusui
Wanita yang menyusui menurut beberapa pendapat ulama disyaratkan adalah seorang wanita, baik dewasa, dalam keadaan haid, hamil atau tidak.
Namun ulama berbeda pendapat tentang air susu dari Wanita yang sudah meninggal. Menurut Syafi’i, air susu harus berasal dari wanita yang masih hidup, sedangkan menurut Imam Hanafi dan Malik boleh meskipun wanita tersebut sudah mati.20
b) Air Susu;
Air susu sebagai makanan pokok. Maksudnya adalah, bahwa air susu yang diminum adalah berfungsi sebagai makanan pokok bagi yang menyusu. Dan air susu yang diminum dapat menghilangkan rasa lapar bagi yang meminumnya. Sehingga air susu yang diminumnya itu sangat berperan penting didalam perkembangan fisiknya.
Disamping itu, air susu haruslah murni. Kemurnian air susu dalam arti tidak bercampur dengan air susu lain atau zat lain diluar air susu ibu. Sebagian ulama termasuk didalamnya Abu Hanifah mensyaratkan kemurnian air susu ini. Dengan
18 Imam Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim, diterjemahkan oleh Rohmad Arbi Shoddiq, Nila Noer Fajriyah, (Jakarta: Ummul Qura, 2016), h.422.
19 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz X (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’sir, 1998), h. 7273.
20 Abdurrahman al-Jaziri, Fiqih ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr), h. 221-223..
demikian, bila terjadi pencampuran antara air susu dengan yang lainnya, maka tidak terjadi padanya keharaman21
c) Anak yang Menyusui.
Anak yang menyusu harus dalam keadaan hidup. Artinya hidupnya si penyusu merupakan syarat terjadinya penyusuan sebab hanya dengan hidupnya si penyusu proses penyusuan dapat berjalan dengan sempurna. Sedangkan apabila ia telah mati maka tidaklah mungkin penyusuan itu terjadi. Karena dimaksudkan dari penyusuan tersebut untuk pengembangan diri dan pribadinya. Sementara itu akibat dari susuan tersebut ialah erat sekali hubungannya dengan pernikahan, dan oleh karena pelakunya orang yang mati, maka tidaklah akan berakibat hukum.
Selain itu, anak yang menyusu itu masih kecil atau umurnya tidak lebih dari dua tahun.
Air susu yang diminum harus benar-benar sampai ke dalam perut si anak (penyusu), sehingga dapat dirasakan akan manfaatnya. Oleh karena itu apabila terjadi penyusuan di mana anak menghisap puting payudara hingga keluar air susunya dan sampai ke mulutnya, namun sebelum air susu itu masuk ke dalam perut si penyusu, air susu tersebut dimuntahkannya kembali, maka penyusuan yang demikian ini tidak berpengaruh terhadap hukum keharaman atau mengakibatkan hukum mahram.22
C. Adopsi
1. Adopsi/Pengangkatan Anak dalam Hukum Islam
Istilah “Pengangkatan Anak" berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa Inggris adoption, mengangkat seorang anak, yang berarti mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung. Pada saat Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. pengangkatan anak telah menjadi tradisi di kalangan mayoritas masyarakat
Arab yang dikenal dengan istilah tabanni
angkat.23
(التبِن)
yang berarti mengambil anak
21 Mawardi, Konsep Radha’ah dalam Fiqih, Jurnal An-Nahl, Vol. 8, No. 1 (Juni 2021), h. 12.
22 Ibid, h. 13.
23 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. I, h. 19.
Secara terminologis tabanni menurut Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak (tabanni) “pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya, kemudian anak itu dinasabkan kepada dirinya. Pengangkatan anak dalam pengertian demikian jelas bertentangan dengan Hukum Islam, maka unsur me-nasab-kan seorang anak kepada orang lain yang bukan nasab-nya harus dibatalkan.24
Mahmud Syaltut, mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian pengangkatan anak. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung kepadanya, cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai anak kandung, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.25
Anak angkat dalam pengertian pertama lebih didasari oleh perasaan seseorang yang menjadi orang tua angkat untuk membantu orang tua kandung dari anak angkatnya atau bagi pasangan suami istri yang tidak dikaruniai keturunan, agar anak angkat itu bisa dididik atau disekolahkan, sehingga diharapkan nantinya anak tersebut bisa mandiri serta dapat meningkatkan taraf hidupnya dimasa yang akan datang. Lebih dari itu terbersit dihati orang tua angkat bahwa anak angkatnya kelak kiranya dapat menjadi anak saleh yang mau merawat orang tua angkatnya di saat sakit dan mendoakan di saat orang tua angkat telah meninggal dunia. Perbuatan hukum pengangkatan anak seperti itu, dapat diterima sebagai bagian dari bentuk amal saleh yang sangat dianjurkan Islam, maka bentuk pengangkatan anak yang pertama sebagaimana yang didefinisikan oleh Mahmud Syaltut tersebut jelas tidak bertentangan dengan asas Hukum Islam, bahkan ditegaskan dalam QS. al-Ma'idah, ayat 2, dan ayat 32, QS. al-Insan, ayat 8 dan bahkan perbuatan demikian sangat dianjurkan dalam Islam.
![]() |
Anak angkat dalam pengertian yang kedua telah lama dikenal dan berkembang di berbagai negara, termasuk di Indonesia sendiri, sebagaimana diterapkan oleh Pengadilan Negeri terhadap permohonan pengangkatan anak yang dimohonkan oleh warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, dan bagi mereka
24 Ibid, h. 21.
25 A. Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), Jilid I. h. 29.
yang menundukkan diri pada hukum tersebut. Pengangkatan anak dalam pengertian yang kedua tersebut jelas dilarang oleh Islam dan bertentangan dengan Hukum Islam berdasarkan firman Allah QS. al-Ahzab, ayat 4,5,dan 21.
Agama Islam telah mendorong seorang muslim untuk mengasuh anak orang lain yang tidak mampu, miskin, terlantar dan lain-lain. Tetapi tidak dibolehkan memutuskan hubungan darah atau nasab dan hak-haknya dengan orang tua kandungnya. Pengangkatan anak itu harus didasarkan atas penyantunan semata- mata sesuai dengan anjuran Allah SWT.
Didalam buku adopsi dalam perspektif hukum perdata, hukum adat dan hukum Islam karya Ahmad Syafi’i menyebutkan bahwa ulama fiqh sepakat menyatakan hukum Islam tidak mengakui lembaga anak angkat yang mempunyai akibat hukum seperti yang pernah dipraktekkan masyarakat jahiliah dan orang- orang Barat, dalam arti terlepasnya ia dari hukum kekerabatan orang tua kandungnya dan masuknya anak angkat itu ke dalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya. Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam arti pemeliharaan anak. Dalam hal ini status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum. Ia tetap menjadi anak dan kerabat dari orang tua kandungnya dan juga segala akibat hukumnya.26
Dalam buku Andi Syamsu Alam menuliskan bahwa Muhammad Ali As- Shabuni mengatakan sebagaimana agama Islam telah membatalkan zihar, demikian pula halnya dengan pengangkatan anak. Syariat Islam telah mengharamkan pengangkatan anak yang menisbatkan seorang anak angkat kepada orang tua angkatnya, dan hal itu termasuk dosa besar yang mewajibkan pelakunya mendapat murka dan kutukan Allah SWT.
Aspek hukum menasabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya, atau yang memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya yang kemudian dimasukkan kedalam nasab orang tua angkatnya adalah yang paling mendapatkan kritikan dari agama Islam, karena sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam.27
![]() |
26 Ahmad Syafii, Adopsi Dalam Perspektif Hukum Perdata, Hukum Adat Dan Hukum Islam, (Palu: Jurnal Hunafa, 2007), hlm 57.
27 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. I, h. 46.
2. Sejarah Pengangkatan Anak dalam Islam
Secara historis, pengangkatan anak (adopsi) sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan anak sebenarnya sudah dipraktikkan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikkan oleh bangsa Yunani, Romawi, India dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan at-tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-temurun.
Imam Al-Qurtubi menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW. sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah SAW dengan nama Zaid bin Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya ini diumumkan oleh Rasulullah SAW. Di depan kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW. Juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab bin Jahsy. Oleh karena Nabi SAW. Telah menganggapnya sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad.
Setelah Nabi Muhammad SAW. diangkat menjadi rasul, turunlah Surat al- Ahzab ayat 4-5, yang salah satu intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi) dan memanggilnya sebagai anak kandung. Imam al-Qurtubi menyatakan bahwa kisah di atas menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut.28
3. Dasar Hukum Pengangkatan Anak dalam Hadits
![]() |
28 Ibid, h. 22.
29 Lihat dalam Shahih Bukhori hadits nomor 4409.
dengan nama ayah kandung mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah.”
(HR. Bukhari)
4. Syarat dan Rukun Pengangkatan Anak
Muderis Zaini berpendapat dalam bukunya adopsi suatu tinjauan dari tiga sistem hukum, syarat-syarat pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum Islam yaitu:
a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung dan keluarganya.
b. Hubungan harta bendanya antara anak angkat dengan orang tua angkatnya hanya diperbolehkan dalam wasiat dan hibah saja.
c. Anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya secara langsung, kecuali hanya sebagai tanda pengenal atau alamat.
d. Orang tua angkat tidak boleh menjadi wali pernikahan anak angkatnya.
e. Antara anak angkat dan orang tua angkat harus sama-sama beragama Islam.30 Berdasarkan hak anak angkat, meskipun kedudukan anak angkat hanya sebagai anak asuh, akan tetapi hak-hak yang harus didapat oleh anak angkat ama dengan hak-hak yang diperoleh anak kandung, seperti hak untuk mendapatkan kasih sayang, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup yang layak tanpa adanya diskriminasi dengan anak
kandung.31
Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk pengangkatan anak harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
a. Pengangkatan anak dalam keadaan terlantar. Seperti anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya, anak yang sudah tidak diurus oleh keluarganya dan anak- anak yang diasuh di panti asuhan.
b. Tujuan pengangkatan anak yaitu untuk mengasuh, memberikan kasih sayang, menyantuni dan mendidik.
c. Pengangkatan anak dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh Syariat Islam.
d. Pengangkatan anak diberikan kebebasan untuk kembali kepada keluarganya.
![]() |
30 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga System Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 54.
31 Abdul Rozak, “Analisis Komparatif Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif” (Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2020), h. 39.
e. Menurut hukum Islam, status anak angkat sama dengan orang lain dan tidak mempunyai hubungan nasab dengan orang yang mengangkatnya.
f. Anak angkat tidak mempunyai hubungan mahram dengan keluarga orang tua angkat.32
Pengangkatan anak menurut Hukum Islam sebenarnya merupakan hukum hadhonah atau pemeliharaan anak yang diperluas dan sama sekali tidak merubah hubungan hukum, nasab dan mahram antara anak angkat dengan orang tua dan keluarga aslinya. Masalah Hadhanah merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan.33
5. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Agama Islam menetapkan bahwa antara orang tua angkat dan anak angkatnya tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Karena itu, antara keduanya bisa berhubungan pertalian perkawinan. Misalnya Nabi Yusuf mengawini ibu angkatnya Zulaehah.34
Dalam hukum Islam pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hubungan darah, hubungan wali dan hubungan waris dengan orang tua angkatnya. Anak angkat akan tetap bernasab kepada orang tua kandungnya.35
Pengangkatan anak adalah suatu tindakan hukum dan oleh karenanya tentu akan pula menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu sebagai akibat hukum dari pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah sebagai berikut:
a. Beralihnya tanggung jawab untuk kehidupannya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya.
b. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah atau nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, sehingga antara mereka tetap berlaku hubungan mahrom dan hubungan waris.
c.
![]() |
Pengangkatan anak tidak menimbulkan hubungan darah atau nasab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, sehingga antara mereka tidak ada hubungan mahrom dan hubungan waris.
32 Ibid, h. 40-43.
33 Haedah Faradz, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam, (Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 2009), hlm 156
34 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. I, h. 124.
35 Abdul Rozak, “Analisis Komparatif Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif” (Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2020), h. 48.
d. Pengangkatan anak menimbulkan hubungan hukum yang beralihnya tanggung jawab untuk kehidupannya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya. Hal ini bukan berarti bahwa orang tua kandung tidak boleh membantu anak hanya saja tidak dapat dituntut untuk itu.
e. Mereka antara anak angkat dan ayah kandungnya tetap berlaku hubungan mahrom dan hubungan waris.36
Pengangkatan anak dalam pengertian ta‟awun, dengan menanggung nafkah anak sehari-hari, memelihara dengan baik, memberikan pakaian, memberikan pelayanan kesehatan demi masa depan anak yang lebih baik merupakan amal baik yang dilakukan oleh sebagian orang yang mampu menggantikan baik hati yang tidak dianugerahi anak oleh Allah SWT. Mereka mematrikan pengangkatan anak sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan mendidik dan mengasuh anak-anak dari kalangan fakir miskin yang terabaikan hak-haknya sebagai anak karena kefakiran dan kemiskinan orang tuanya. Tidak diragukan lagi bahwa usaha-usaha semacam itu merupakan suatu amal yang disukai dan diutamakan dalam Agama Islam.37
36 Ibid, h. 49.
37 Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. I, h. 28.
Kesimpulan
BAB III PENUTUP
1. Hadhanah adalah suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan dan menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya, baik fisik, mental, maupun akal, agar mampu menegakan kehidupan yang sempurna dan bertanggung jawab. Ulama Fikih sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak adalah kewajiban bagi kedua orang tua, karena apabila anak yang masih kecil (belum mumayyiz) tidak dirawat dan dididik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri dan masa depan anak mereka. Bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu, anak- anak tersebut wajib dipelihara, dirawat, dan dididik dengan baik.
2. Menurut Abdurrahman al-Jaziri, radha’ah menurut syara’ adalah sampainya (masuknya) air susu manusia (perempuan) ke dalam perut seorang anak (bayi) yang umurnya tidak lebih dari dua tahun (24 bulan).
Menurut Jumhur Ulama bahwa rukun radha’ah ada tiga, yaitu Wanita yang menyusui, anak yang menyusui dan air susu.
3. Ada dua pengertian pengangkatan anak. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung kepadanya, cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai anak kandung, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu. Anak angkat dalam pengertian pertama lebih didasari oleh perasaan seseorang yang menjadi orang tua angkat untuk membantu orang tua kandung dari anak angkatnya atau bagi pasangan suami istri yang tidak dikaruniai keturunan, agar anak angkat itu bisa dididik atau disekolahkan, sehingga diharapkan nantinya anak tersebut bisa mandiri serta dapat meningkatkan taraf hidupnya dimasa yang akan datang. Pengertian yang pertama tidak bertentangan dengan asas Hukum Islam.
Buku
Daftar Pustaka
Abu Sulaiman, Daud bin al-‘Asy’ats Abu Daud al-Sijistani al-Azdy, Abu Daud, Sunan Abi Daud,
(Beirut: Dar al-Kutub, al-Ilmiyah, 2005).
al-Jaziri, Abdurrahman, Fiqih ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr).
al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, Edisi II (Cet XXV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997).
Al-Mundziri, Imam, Mukhtashar Shahih Muslim, diterjemahkan oleh Rohmad Arbi Shoddiq, Nila Noer Fajriyah, (Jakarta: Ummul Qura, 2016).
al-Zuhaili, Wahbah, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011).
Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008).
Dahlan, A. Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996).
Rozak, Abdul, “Analisis Komparatif Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif” (Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2020).
Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Daral- Fikr, 1993). Shahih Bukhori hadits nomor 4409.
Syafii, Ahmad, Adopsi Dalam Perspektif Hukum Perdata, Hukum Adat Dan Hukum Islam, (Palu: Jurnal Hunafa, 2007).
Syahfitri, Maulina, “Batas Masa Hadhanah (Studi Analisis Menurut Pendapat Mazhab Maliki)” (Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, 2016).
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).
Umam, Cholil, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern (Surabaya: Ampel Suci, 1994).
Qudamah, Ibnu, al-Mughniy (Cairo: Musthafa al-Babiy al-Halabiy, 1970). Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 2000).
Zaini, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga System Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992). Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz X (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’sir, 1998).
Jurnal
Faradz, Haedah, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam, (Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 2009).
Mawardi, Konsep Radha’ah dalam Fiqih, Jurnal An-Nahl, Vol. 8, No. 1 (Juni 2021).
Internet
http://dianafitriumami.blogspot.com/2017/01/hadis-tentang-hak-hadanah-dalam.html. Diakses 25
November 2021 pukul 16.25 WITA.
0 comments:
Posting Komentar