Kamis, 14 Oktober 2021

KONSEP PERNIKAHAN DALAM AL-QUR’AN

 

 

MATA KULIAH                                           DOSEN PENGAMPU

Studi Al-Qur’an Hukum Keluarga                      1. Prof. Dr. H. Fauzi Aseri, MA

2. Dr. H. M. Hanafiah, M.Hum

 

 

 

KONSEP PERNIKAHAN DALAM AL-QUR’AN

(Qur’an Surah An-Nur : 26, Al Ahzab : 36 Dan An-Nisa 24)

 

 

 

OLEH :

YUSRAN 210211050120

 

 

 





 

 

 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

BANJARMASIN   

PASCASARJANA

PROGRAM STUDI

HUKUM KELUARGA

BANJARMASIN

Tahun 2021


 

KATA PENGANTAR

 

 

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan berkah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga makalah yang berjudul Konsep Pernikahan dalam Al-Qur’an ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

 

 

 

 

 

Wassalam, Penulis


 

DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................... i

Kata Pengantar........................................................................................................ ii

Daftar Isi................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang.................................................................................................. 1

B.        Rumusan Masalah............................................................................................. 1

C.        Tujuan Penulisan............................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A.    Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Pernikahan...................................................... 2

B.    Pengertian Pernikahan....................................................................................... 4

C.    Hukum Menikah................................................................................................ 6

D.       Rukun dan Syarat Pernikahan.......................................................................... 6

E.        Macam-Macam Wali Nikah............................................................................. 8

F.         Hikmah dan Tujuan Pernikahan..................................................................... 10

G.       Fenomena Pernikahan Masa Kini................................................................... 13

BAB III PENUTUP

Simpulan............................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 16


A.      Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN

Sebagai kodrat makhluk sosial, manusia tentu tidak dapat terlepas dari ketergantungan untuk hidup bersama orang lain. Manusia dilahirkan di tengah- tengah masyarakat, dan tidak mungkin hidup kecuali di tengah-tengah masyarakat pula. Hal inilah yang juga turut membangun naluri manusia untuk hidup bersama dan terus melestarikan keturunannya. Salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut secara sah ialah dengan melakukan pernikahan. Pernikahan yang menjadi anjuran Allah SWT dan Rasul-Nya ini merupakan sebuah akad yang sangat kuat dimana dalam pelaksanaannya pun dapat bernilai ibadah.

Saat ini, aturan-aturan mengenai pernikahan sangatlah kompleks baik itu ada di dalam hukum agama maupun di dalam undang-undang. Hikmah dan tujuannya pun sangat besar dan berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia. Sehubungan dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT tersebut, pernikahan memiliki berbagai macam hukum jika dilihat dari kondisi orang yang akan melaksanakannya.

Adapun dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai pernikahan, ayat- ayat seputar pernikahan, hukum menikah, rukun dan syarat pernikahan, wali nikah, dan lain sebagainya. Dengan harapan, isi dalam makalah ini dapat menambah khanazah ilmu pengetahuan bagi semua khalayak, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah.

 

B.      Rumusan Masalah

1.     Bagaimana aturan-aturan pernikahan dalam agama Islam?

2.     Bagaimana konsep pernikahan dalam Al-Qur’an jika dikaitkan dengan fenomena pernikahan masa kini?

 

C.      Tujuan Penulisan

1.     Untuk mengetahui dan memahami aturan-aturan pernikahan dalam agama Islam.

2.     Untuk mengetahui dan memahami konsep pernikahan dalam Al-Qur’an jika dikaitkan dengan fenomena pernikahan masa kini.


BAB II PEMBAHASAN

 

A.      Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Pernikahan

 

1)        Q.S An-Nur Ayat 26

 

Artinya :

 

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)”.

 

ayat ini merupakan penegasan ayat-ayat sebelumnya yang mengindikasikan bahwa seorang pendosa atau pezina kemungkinan besar akan memilih pasangan seperti dirinya. Hal ini disebabkan karena secara “alamiah” seseorang selalu cenderung kepada sesuatu yang memiliki kesamaan dengannya.

 

2)        Q.S Al-Ahzab Ayat 36

 

 

Artinya :

 

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.


Kandungan Surah Al-Ahzab Ayat 36 ini, menjelaskan bahwa tidak patut bagi orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan ketentuan, mereka memilih ketentuan lain yang bertentangan dengan ketetapan keduanya.

 

3)        Q.S An-Nisa ayat 24

Artinya :

 

Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan- perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

 

Pada ayat ini, menjelaskan perintah menikah sebagai salah satu cara memelihara kesucian nasab. Agar hidup tenang dan terhindar dari zina serta perbuatan haram lainnya. Jika sedang miskin, maka Allah akan memberi kemampuannya kepada mereka dengan karunianya.



Kata nikah berasal dari bahasa Arab yaitu (


النكاح


), yang artinya


mengumpulkan. Menurut istilah fiqih dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj. Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Saat ini, seringkali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya pernikahan dan perkawinan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.1 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi’il madhi) nakaha”. Sinonimnya adalah tazawwaja”, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.2

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkawinan ialah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi).3 Menurut Harun Nasution yang dimaksud pernikahan atau perkawinan adalah suatu akad yang dengannya hubungan kelamin antara pria dan wanita yang melakukan akad (perjanjian) tersebut menjadi halal.4 Sedangkan menurut Sajuti Thalib perkawinan adalah suatu perjanjian yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.5

Para ulama fiqih pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan sebagai Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.6 Sementara itu,menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan





1 Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm.62

2 Tihami, dkk, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.6

3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm.456

4 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm.741

5 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm.2

6 Hosen Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk, (Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam, 1971), hlm.65


membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena pengertian perkawinan dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, maka dari itu Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.7

Pengertian perkawinan menurut islam yang dikutip M. Idris Ramulyo mengatakan bahwa : “pernikahan menurut isalam ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih, mengasihi, aman tenteram dan kekal. 8

Menurut para sarjana hukum ada beberapa pengertian perkawinan, sebagai berikut, yakni :

1)    Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamidjojo mengemukakan : arti perkawinan adalah hubungan suatu hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.

2)    Subekti, mengemukakan : arti perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

3)    Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan : arti perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang permpuan yang memenuhi syarat- syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut baik agama maupun aturan hukum.

9

Atas dasar pengertian yang dijelaskan tersebut, baik pengertian perkawinan menurut UU No. 11 tahun 1974 tentang perkawinan maupun pengertian yang dikemukakan oleh para pakar, maka dapat diketahui bahwa perkawinan dapat terjadi melalui hubungan yang dibentuk oleh seorang pria dan seorang wanita baik lahir maupun bathin. Hubungan itu bertujuan untuk menciptakan keluarga yang damai, tenteram dan bahagia sebagai cita-cita sebuah bahtera rumah tangga.



7 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),

 

8 Abdul Thalib, Hukum Keluarga Dan Perikatan, (Pekanbaru, 2007), hlm. 11

 

9 Eoh, O.S, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori Dan Praktek, cet. II, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 27.28


C.      Hukum Menikah

 

Pada dasarnya hukum menikah adalah jaiz (boleh), namun karena berbagai situasi dan kondisi hukum menikah terbagi menjadi 4 macam, yakni:10

1)        Wajib bagi yang sudah mampu, nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus pada perzinahan, serta sudah punya calon untuk dinikahi.

2)        Sunnah bagi orang yang nafsunya sudah mendesak dan mampu menikah tetapi masih mampu menahan dirinya dari berbuat zina.

3)        Haram bagi seseorang yang yakin tidak akan mampu memenuhi nafkah lahir dan batin pasangannya, atau apabila menikah akan membahayakan pasangannya, dan nafsunya pun masih bisa dikendalikan.

4)        Makruh bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan lahir batin, namun isterinya mau menerima kenyataan tersebut.

 

Dalam Al-Qur’an dinyatakan juga bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah Rasul-rasul sejak dahulu sampai Rasul terakhir Nabi Muhammdah SAW, sebaimana tercantum dalam surat Ar-Ra’d ayat 38, yang artinya : “Dan sesungguhnyakami telah mengutus beberapa Rosul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan-keturunan.” 11

 

D.      Rukun dan Syarat Pernikahan

Rukun dan syarat merupakan hal yang menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung esensi yang sama, bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara pernikahan rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, sebab apabila keduanya tidak ada atau tidak lengkap maka menjadi tidak sah lah hukum suatu pernikahan.12

 

10 Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Perkawinan, (Malang: UMM, 2020), hlm.4

11 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, Cetakan 4, 2010)

 

12 Sabarudin Ahmad, Transformasi Hukum Pembuktian Perkawinan dalam Islam, (Surabaya: Airlangga University Press, 2020), hlm.138


Rukun dan syarat mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya. Sedangkan syarat ialah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun.13

1)           Rukun Nikah

 

Beberapa rukun nikah adalah sebagai berikut, yaitu:14

  1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secarasyar’i untuk menikah. 
  2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali  atau yang menggantikan posisi wali.
  3.  Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya.
  4.  Adanya wali, yakni pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikahatau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki- laki.
  5.  Adanya dua orang saksi, yaitu orang yang menyaksikan sah atau tidaknyasuatu pernikahan.

Menurut hukum islam perkawinan adalah akad antara wali wanita calon istri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab dan terima oleh si calon suami atau qabul dan dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Apabila tidak demikian maka perkawinan tidak sah karena bertentangan dengan hadist Nabi Muhammad SAW yangdiriwayatkan Ahmad yang menyatakan, “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”. 15

 

13 Sabarudin Ahmad, Transformasi Hukum Pembuktian Perkawinan dalam Islam, (Surabaya: Airlangga University Press, 2020), hlm.138





14 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.59 
15 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam. (Jakarta : Pustaka Mahmudiah, 1980), hlm. 80

2)        Syarat Nikah

 

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai adalah:16

  • Syarat bagi calon mempelai pria antara lain beragama Islam, laki laki, jelas orangnya, cakap bertindak hukum untuk hidup berumah tangga, dan tidak terdapat halangan perkawinan.
  •  Syarat bagi wali dari calon mempelai wanita antara lain laki-laki, beragama Islam, mempunyai hak perwaliannya, dan tidak terdapat halangan untuk menjadi wali.
  •  Syarat bagi saksi nikah antara lain minimal dua orang saksi, menghadiri ijab qabul, dapat mengerti maksud akad, beragama Islam dan dewasa.
  •  Syarat-syarat ijab qabul yaitu adanya pernyataan mengawinkan dari wali, adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria, memakai kata- kata nikah atau semacamnya, antara ijab dan qabul bersambungan, antara ijab dan qabul jelas maksudnya, orang yang terkait dengan ijab tidak sedang melaksanakan ihram haji atau umrah, majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri oleh minimal empat orang yaitu calon mempelai pria atau yang mewakilinya, wali mempelai wanita atau yang mewakilinya, dan dua orang saksi.

E.      Macam-Macam Wali Nikah

Menurut Amir Syarifuddin, yang dimaksud dengan wali dalam pernikahan ialah seseorang yang bertindak atas nama mempelai wanita dalam suatu akad nikah.17 Adapun pendapat lain mengatakan bahwa perwalian dalam pernikahan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri.18

Untuk menjadi seorang wali, maka harus memenuhi beberapa syarat yakni Islam, baligh, merdeka (bukan budak), laki-laki, berakal sehat, dan adil (tidak fasik).27 Berikut ini macam-macam wali nikah, antara lain:

 

16 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm.35-36

17 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm.90

18 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm.345


1)        Wali Nasab

 

Wali nasab adalah wali yang berhubungan tali kekeluargaan dengan calon mempelai wanita yang akan menikah. Keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali menurut urutannya ialah sebagai berikut:19

  1. Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari keturunan priamurni, yaitu ayah, ayah dari ayah, dan seterusnya ke atas.
  2. Pria keturunan dari ayah mempelai wanita dalam garis pria murni, yaitu saudara kandung, saudara seayah, anak dari saudara kandung, dan anak dari saudara seayah.
  3. Pria keturunan dari ayahnya ayah dalam garis pria murni, yaitu saudara kandung dari ayah, saudara se bapak dari ayah, anak saudara kandung dari ayah, dan seterusnya ke bawah.

Apabila wali tersebut di atas tidak beragama Islam, sedangkancalon mempelai wanita beragama Islam atau wali-wali tersebut di atas belum baligh, atau rusak pikirannya atau bisu yang tidak bisa diajak bicaradengan isyarat dan tidak bisa menulis, maka hak menjadi wali pindah kepada wali yang berikutnya.20

 

2)        Wali Hakim

 

Wali hakim ialah yang orang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu perkawinan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1987 yang ditunjuk oleh MenteriAgama sebagai wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan AgamaKecamatan. Wali hakim dapat bertindak menggantikan kedudukan wali nasab apabila wali nasab tidak ada, wali nasab bepergian jauh atau tidak ditempat dan tidak memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada di

 

 

19 Dahlan, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), hlm.72

20 Aspandi, Pernikahan Berwalikan Hakim: Analisis Fikih Munakahat dan Kompilasi Hukum Islam, Ahkam, Vol.5, No.1 (2017): hlm.99


tempat, wali nasab kehilangan hak perwaliannya, wali nasab sedang berihram haji atau umrah, wali nasab menolak bertindak sebagai wali (wali adhal), serta wali nasab menjadi mempelai laki-laki dan perempuan di bawah perwaliannya, sedangkan wali yang sederajat dengannya tidak ada.21

 

3)        Wali Muhakkam

 

Apabila wali nasab tidak dapat menjadi wali karena sebab-sebab tertentu dan wali hakim tidak ada, maka perkawinan dilangsungkan dengan wali muhakkam yang diangkat oleh kedua calon mempelai untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Caranya adalah kedua calon mempelai mengangkat seseorang yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, beragama Islam, dan berjenis kelamin laki-laki untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka.22

 

F.       Hikmah dan Tujuan Pernikahan

 Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat bagi kehidupan manusia karena adanya beberapa nilai dan tujuan utama yang baik bagi manusia itu sendiri. Diciptakanlah makhluk-Nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan dan betina, begitu juga tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah agar manusia hidup berpasang-pasangan, hidup dua sejoli membangun rumah tangga yang damai dan teratur dalam sebuah ikatan yang kokoh yaitu akad nikah atau ijab qabul pernikahan.23

Adapun hikmah dan tujuan pernikahan yang akan dirasakan oleh orang- orang yang menikah antara lain yaitu menyempurnakan akhlak, menyempurnakan pelaksanaan agama, melahirkan keturunan yang mulia, menciptakan kesehatan dalam diri baik secara fisik maupun non fisik, menjadi keinginan setiap pasangan untuk mendidik generasi baru, menikah itu sehat terutama dari sudut pandang kejiwaan, menjadi motivator untuk bekerja keras, serta terbebas dari bahaya fitnah.24



21 A. Zuhdi Mudhor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: Al-Bayan, 1994),

 

22 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan


Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm.25

23 Abdul Aziz, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.39


Menurut Ali Ahmad Al-jurjawi beberapa hikmah dalam pernikahan :

 

1.     Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak, maka proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah, karena suatu perbuatan yang harus dikerjakan bersama-sama akan sulit jika dilakukan secara individual. Dengan demikian keberlangsungan keturunan dan jumlahnya harus terus dilestarikan sampai benar-benar makmur.

2.     Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur. Kehidupannya tidak akan tenang kecuali dengan adanya ketertiban rumah tangga. Ketertiban tersebut tidak mungkin terwujud kecuali harus ada perempuan yang mengatur rumah tangga itu. Dengan alasan itulah maka nikah disyariatkan, sehingga kaum laki-laki menjadi tentram dan dunia semakin makmur.

3.     Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.

4.     Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi. Adanya Isteri akan bisa menghilangkan kesedihan dan ketakutan. Isteri berfungsi sebagai teman dalam suka dan penolong dalam mengatur kehidupan. Isteri berfungsi untuk mengatur rumah tangga yang merupakan sendi penting bagi kesejahteraannya.

5.     Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliannya. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya. Apabilakeutamaan dilanggar, maka datang bahaya dari dua sisi: yaitu melakukan kehinaan dan timbulnya permusuhan di kalangan pelakunya dengan melakukan perzinahan dan kefasikan. Adanya tindakan seperti itu, tanpa diragukan lagi, akan merusak peraturan alam.

6.     Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak, antara lain memelihara hak-hak dalam warisan. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai Isteri tidak mungkin mendapatkan anak, tidak pula mengetahui pokok-pokok serta cabangnya di antara sesama manusia. Hal semacam itu tidak dikehendaki oleh agama dan manusia.

7.     Berbuat baik yang banyak lebih baik dari pada berbuat sedikit. Pernikahan pada umumnya akan menghasilkan keturunan yang banyak.

8.     Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun apabila masih meninggalkan anak dan Isteri, mereka akan mendo’akannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak ditolak. Anak yang shaleh merupakan amalannya yang tetap dan masih tertinggal meskipun dia telah mati. 25

Di sisi lain, Imam Al-Ghazali juga turut mengemukakan bahwa tujuan dan faedah pernikahan itu ada lima hal, yakni sebagai berikut:

1)            Memperoleh keturunan sah yang akan melanjutkan keturunan kelak serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.


2)           Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

3)           Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

4)           Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.

5)           Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halaldan memperbesar rasa tanggung jawab. 26

 

24 Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya, (Jakarta: Visimedia, 2007), hlm.9-13

25 Ali Ahmad Al-jurjawi, hikmah Al-Tasyri wa falsafatah (Falsafah dan hikmah Hukum Islam), terj. Hadi Mulyo dan Sobahus Surur, dalam Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat. (Jakarta: Kencana,2008), h. 65

G.       Pernikahan Masa Kini

Berpasang-pasangan merupakan sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Allah SWT, baik pada manusia, tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Untuk hidup berpasang-pasangan, terlebih dahulu manusia harus diikat dengan ikatan pernikahan yang sah, sebagai letak perbedaan manusia dengan makhluk- makhluk lainnya. Pernikahan merupakan jalan bagi manusia untuk menyalurkan naluri biologisnya, serta jalan untuk melestarikan keturunannya. Mengenai hal inipun Allah SWT telah menggariskan aturan-aturan-Nya yang tertuang di dalam Al-Qur’an agar dapat menjadi rujukan manusia dalam segala bidang, termasuk pernikahan. Dengan demikian, pernikahan menurut Islam bukan hanya sekedar bertujuan untuk melestarikan keturunan manusia saja, tapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah Allah SWT.27

Seringkali dalam masyarakat lebih mengutamakan pandangan orang lain dan rasa gengsi untuk menyelenggarakan sebuah pernikahan yang dapat meninggalkan kesan mewah bagi orang lain, tetapi kurang mempertimbangkan kemampuan dan jauh dari apa yang telah ditentukan Allah SWT di dalam hukum- hukum Islam tentang pernikahan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al- Ahzab Ayat 36 yang berbunyi “Dan tidaklah patut bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka…”28

 

26 Reno Ismanto, Maqasid Pernikahan Perspektif Imam Al-Gazali Berdasarkan Kitab Ihya Ulum Al-Din, Islamitsch Familierecth Journal, Vol.1, No.1 (2020): hlm.57

27 Nurnazli, Wawasan Al-Qur’an tentang Anjuran Pernikahan, Ijtima’iyya, Vol.8, No.2 (2015): hlm.57-58


Sungguh dalam hal ini agama Islam telah mengatur sedemikian rupa dan memberikan kemudahan bagi siapa-siapa yang ingin melangsungkan pernikahan tanpa memberatkan salah satu pihak, baik itu pihak calon mempelai laki-laki maupun pihak calon mempelai perempuan. Dengan adanya fakta bahwa di masyarakat sekarang yang seolah menyulitkan syarat-syarat pernikahan terlepas dari apa yang telah Allah SWT aturkan, maka rasanya sangat tidak patut untuk lebih memilih mengutamakan pandangan orang lain dan rasa gengsi untuk menyelenggarakan pernikahan yang mewah dan berkesan daripada memilih pernikahan yang sederhana tapi diridhai oleh Allah SWT karena sesuai dengan tuntunan syar’i.


BAB III PENUTUP

 

SIMPULAN

 

 

Pernikahan   secara   bahasa   berasal   dari   kata   nikah   (    النكاح   ),   yang   artinya

mengumpulkan. Sedangkan secara istilah dapat berarti sebagai akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang membahas mengenai pernikahan, beberapa di antaranya ialah surah An-Nur ayat 26, surah Al-Ahzab ayat 36, surah An-Nisa ayat 24 dan masih banyak lagi yang lainnya. Konsep pernikahan ini sendiri telah diaturkan sedemikian rupadalam bentuk hukum-hukum Islam. Tujuannya tidak lain adalah untuk dapat dijadikan pedoman kehidupan bagi manusia. Terlepas dari adanya fenomena pernikahan masa kini yang terkesan tergeser dari apa yang ada dalam hukum Islam, hendaknya kita tidak terbawa arus dan tetap berpegang teguh pada hukum- hukum Allah SWT.

Akan tetapi, terlepas dari itu semua kembali lagi pada pribadi masing- masing ingin memilih dan mengikuti yang mana. Dengan bercermin pada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa tanamlah yang baik, maka akan menuai yang baik pula. Hal ini apabila dikaitkan dengan firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nur Ayat 26 maka akan menampakkan suatu keterkaitan dengan terjemah ayatnya yang berbunyi “Perempuan- perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan- perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)…


DAFTAR PUSTAKA


Abdul, Thalib.2007. Hukum Keluarga Dan Perikatan. Pekanbaru

Ahmad, Sabarudin. 2020. Transformasi Hukum Pembuktian Perkawinan dalam Islam. Surabaya: Airlangga University Press

Ali, Ahmad Al –jurjawi. 2008. Hikmah Al-Tasyri wa falsafah (Falsafah dan Hikmah Hukum Islam). Terj. Hadi Mulyo Sobahus Surur. Dalam Abdul Rahman Ghozali. Fiqih munakahat. Jakarta: Kencana

Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Aspandi. 2017. Pernikahan Berwalikan Hakim: Analisis Fikih Munakahat dan Kompilasi Hukum Islam. Ahkam. Vol.5. No.1

Aziz, Abdul. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah

Cahyani, Tinuk Dwi. 2020. Hukum Perkawinan. Malang: UMM Dahlan. 2015. Fikih Munakahat. Yogyakarta: Deepublish

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka

Eoh, O.S. 2001. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Ghazaly, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana

Hatta, Ahmad. 2012. The Great Qur’an: Referensi Terlengkap Ilmu-Ilmu Al- Qur’an. Jakarta: Maghfirah Pustaka

Ibrahim, Hosen. 1971. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk. Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam

Ismanto, Reno. 2020. Maqasid Pernikahan Perspektif Imam Al-Gazali Berdasarkan Kitab Ihya Ulum Al-Din. Islamitsch Familierecth Journal. Vol.1. No.1

Mudhor, A Zuhdi. 1994. Memahami Hukum Perkawinan. Bandung: Al-Bayan Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Lentera Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan Nurnazli. 2015. Wawasan Al-Qur’an tentang Anjuran Pernikahan. Ijtima’iyya.

Vol.8. No.2

Ramulyo, Moh Idris. 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika

………. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Sudarsono. 1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta Susanto, Happy. 2007. Nikah Siri Apa Untungnya. Jakarta: Visimedia Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana

………. 2009. Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana

Tihami. 2009. Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Lengkap. Jakarta: Raja Grafindo Persada

0 comments:

Posting Komentar

 

Wikipedia

Hasil penelusuran

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.