MATA KULIAH
Hukum Perkawinan di Indonesia dan Di Beberapa Negara
DOSEN PENGAMPU
Dr. H. Jalaluddin.M.Hum Dr. Hj. Mariani, Sh.M.Ag
PENGATURAN PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
OLEH
SYABAN HUSIN MUBARAK NIM 210211050119
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji Allah, Tuhan semesta Alam yang telah melimpahkan rahmat serta ilmu pengetahuan bagi seluruh ummat manusia, sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini untuk mata kuliah Hukum Perkawinan di Indonesia dan Beberapa Negara dalam studi Program S2 hukum keluarga di UIN antasari tahun 2021/2022.
Penulis sangat menyadari dalam penyajian makalah ini banyak sekali kekurangan dari segi penulisan maupun dalam hal pembahasan tema atau topic, oleh karenanya Penulis sangat berharap adanya masukan yang membangun kepada penulis, agar depan menjadi pembelajaran yang berarti bagi Penulis dalam hal penulisan makalah selanjutnya, dan penulis berharap penulisan makalah ini dapat bermamfaat bagi penulis dan pembaca makalah ini. Terimakasih
Penulis
Syaban Husin Mubarak
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Dasar Hukum Perkawinan Campuran................................................................... 4
B. Akibat Hukum perkawinan Campuran.................................................................. 7
Kesimpulan........................................................................................................................... 11
Perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah konsekuensi logis dari perkembangan jaman serta pesatnya perkembangan wisatawan yang datang ke Indonesia. Peristiwa perkawinan campuran yang demikian itu bukan saja merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan suatu permasalahan dan mempunyai akibat hukum yang bersifat keperdataan, akan tetapi juga menimbulkan permasalahan dan akibat hukum publik, terutama di bidang kewarganegaraan. Dalam perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing terdapat pertautan dua stelsel hukum yakni stelsel hukum Indonesia dan stelsel hukum Asing yang bersangkutan, dimana pertautan kedua stelsel hukum yang bersangkutan disebabkan oleh adanya perbedaan kewarganegaraan dari kedua belah pihak, sehingga perbedaan tersebut merupakan persoalan hukum perdata internasional, yaitu hukum manakah yang berlaku terhadap peristiwa hukum tersebut.1
Semakin berkembangnya kehidupan manusia saat ini harus pula diikuti dengan melengkapinya dengan perangkat hukum yang telah ada untuk dapat mengatur semua segi kehidupan dalam masyarakat baik masyarakat Nasional maupun masyarakat Internasional dan untuk mendapat kepastian hukum bagi orang Indonesia yang hendak melaksanakan perkawinan dengan orang asing. Lembaga perkawinan sangat penting bagi kehidupan manusia, bangsa dan negara, dan oleh karena itu sudah seharusnya negara memberikan suatu perlindungan yang selayaknya pada keselamatan perkawinan tersebut, Undang-undang yang mengatur tentang perkawinan secara Nasional yang berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia yaitu Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi dasar legalitas perkawinan campuran ?
2. Bagaimana akibat hukum dari Perkawinan Campuran ?
1 Rahmat Fauzi, DAMPAK PERKAWINAN CAMPURAN TERHADAP STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA, 2018
BAB II PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Perkawinan Campuran
1. Indonesia
Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Perkawinan antara 2 (dua) orang (laki-laki dan perempuan) yang mempunyai kewarganegaraan yang berbeda. Adapaun dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa hukum perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Dari definisi pasal 57 Undang Undang Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut: a) perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita; b) di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda; c) karena perbedaan kewarganegaraan; d) salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur kedua menunjukkan kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang kawin itu. Tetapi perbedaan itu bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena unsur ketiga karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat bahwa salah satu kewarganegaraan itu ialah kewarganegaraan Indonesia. Tegasnya perkawinan campuran menurut UU ini adalah perkawinan antar warganegara Indonesia dan warganegara asing. Karena berlainan kewarganegaraan tentu saja hukum yang berlaku bagi mereka juga berlainan.2
Berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia, dapat dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Perkawinan di luar wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan:
1)
Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah
2 Atas penjelasan tersebut dapat disimpulkan Perkawinan campuran adalah hubungan perdata yang merupakan bagian dari cakupan HPI. Hal ini dikarenakan perkawinan campuran mengandung unsur asing dimana akan terdapat dua kewarganegaraan yang berbeda. Unsur asing inilah yang menjadikan hubungan tersebut bersifat Internasional sehingga menjadi hubungan Perdata Internasional.
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
b. Perkawinan di wilayah Republik Indonesia.
1) Perkawinan antara 2 (dua) orang di wilayah Indonesia yang berbeda kewarganegaraan dan salah satunya Warga Negara Indonesia, disebut perkawinan campuran. Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menyatakan : “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
2) Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menyatakan :
“(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4) Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.”
Perkawinan antara 2 (dua) orang (laki-laki dan perempuan) yang berbeda kewarganegaraan, dan salah satu adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang dilangsungkan di Kedutaan Besar Negara Asing di Indonesia, pada dasarnya dianggap sebagai perkawinan yang dilangsungkan di luar wilayah Indonesia.
Perkawinan yang dianggap sebagai perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia tersebut, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan campuran tersebut belum diakui oleh hukum Indonesia. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal pihak mempelai yang berkewarganegaraan Indonesia di Indonesia (sesuai dengan ketentuan dalam pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Proses pencatatan perkawinan yang diatur oleh undang-undang itu sendiri antara 2 (dua) orang yang berbeda kewarganegaraan, pada prinsipnya tidak menjadikan perkawinan itu tidak sah, karena proses pencatatan adalah proses administratif. Namun dalam hukum nasional Indonesia, proses pencatatan ini telah menjadi bagian dari hukum positif, karena hanya dengan proses ini, maka masing-masing pihak diakui segala hak dan kewajibannya di muka hukum.
2. Malaysia
Hukum Perkawinan di Malaysia juga mengharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan perkawinan. Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah Akad Nikah. Proses pencatatan ada tiga jenis diantaranya :
Pertama,untuk yang tinggal di negeri masing-masing pada dasarnya pencatatan dilakukan segera setelah selesai akad nikah, kecuali Kelantan yang menetapkan tujuh hari setelah akad nikah dan pencatatan tersebut disaksikan oleh wali, dua orang saksi dan pendaftar. Sebagaimana dalam UU Pulau Pinang Pasal 22 Ayat 1 dinyatakan :
Selepas sahaja akad nikah sesuatu perkahwinan dilakukan, pendaftar hendaklah mencatat butir-butir yang ditetapkan dan ta'liq yang ditetapkan atau ta'liq lain bagi perkahwinan didalam daftar perkahwinan.
Kedua,orang asli Malaysia yang melakukan perkawinan dikedutaan Malaysia yang ada diluar negeri. Proses pencatatan secara prinsip sama dengan proses orang Malaysia yang melakukan perkawinan di negaranya. Perbedaanya adalah hanya pada petugas pendaftar, yakni bukan oleh pendaftar asli yang diangkat oleh negara, tetapi pendaftar yang diangkat di kedutaan atau konsul Malaysia di Negara yang bersangkutan. Sebagaimana dalam UU Pulau Pinang Pasal 24 Ayat 1 dinyakatakan :
Tertakluk kepada subsyeksen. (2) perkahwinan boleh diakadkan mengikuti hukum syara oleh pendaftar yang dilantik dibawah seksyen.
Dalam Pasal 28 Ayat 3 dinyatakan :
“Dikedutaan Suruhanjaya Tinggi atau pejabat konsul Malaysia dimana-mana Negara yang telah memberitahu kerajaan Malaysia tentang bentahannya terhadap pengakad nikahan perkahwinan di kedutaan Suruhanjaya Tinggi atau pejabat konsul itu.”
Ketiga : Orang Malaysia yang tinggal di luar negeri dan melakukan perkawinan tidak di kedutaan atau konsul Malaysia yang ada di Negara bersangkutan. Prosesnya pria yang melakukan perkawinan dalam masa enam bulan setelah akad nikah, mendaftarkan kepada pendaftar yang diangkat oleh kedutaan dan konsul terdekat. Apabila yang bersangkutan pulang ke Malaysia sebelum habis masa enam bulan maka boleh juga mendaftar di Malaysia. Ketentuan ini berdasarkan UU Serawak pasal 29 ayat 1, UU Kelantan dan UU Negerisembilan.3
3. Bruneai Darussalam
Brunei Darussalam merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang melakukan pembaharuan hukum keluarga di negaranya. Dalam MIB (Melayu Islam Beraja) sebagai ideologi negara Brunei, termaktub di dalamnya penetapan madzhab Syafi’i (dari sisi fikihnya) dan ahl sunnah wal jama’ah (dari sisi akidahnya).4 Maka dari sini dapat terlihat jelas bahwa fikih yang dianut oleh Brunei berdasarkan pada madzhab Syafi’i. Demikian halnya dengan produkproduk hukum Brunei yang berdasarkan atas madzhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan produkproduk hukum Brunei yang berdasarkan atas madzhab Syafi’i. Namun, sejalan dengan berkembangnya zaman tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan untuk melakukan pengembangan dan pembaharuan karena dirasa ketentuan hukum
3 Hamdani, makalah Hukum Keluarga dimalaysia, dalam program doktoral, 2012, hal 8
4 Ulin Nadya Rifatur Rohmah, Miftahul Huda, Ketentuan Hukum Keluarga di Bruneai Darusslam dan Indonesia, hal 4
klasik sudah tidak mampu menjawab persoalan dalam konteks modern ini. Salah satu contoh produk pembaharuan Brunei ialah Perintah Darurat (Undang-undang Hukum keluarga Islam) tahun 1999 yang mengatur masalah institusi keluarga khususnya terkait perkawinan dan perceraian.
Dalam melaksanakan pernikahan, Brunei mewajibkan pendaftaran yang dilakukan oleh pegawai pencatat, walaupun pendaftaran dilakukan sesudah akad nikah. Pada Pasal 11 (1) Undang-Undang Brunei Tahun 1999 menjelaskan bahwa perkawinan yang tidak mengikuti atau bertentangan dengan UU tersebut tidak dapat dicatatkan menurut cacatan resmi. Namun, jika bertentangan dengan UU tetapi di sisi lain sesuai dengan hukum Islam, maka perkawinan dapat didaftarkan secara resmi melalui proses Pengadilan. Demikian bagi pihak yang yang melakukan pernikahan tetapi tidak mendaftar, maka termasuk pelanggaran yang dapat dihukum.
B. Akibat Hukum Perkawinan Campuran di Indonesia
Aturan hukum tentang kewarganegaraan Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dengan disahkannya Undang Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran Republik Indonesia. Undang Undang yang baru ini menggantikan Undang Undang N0.62 Tahun 1958 yang sangat diskriminatif. UndangUndang Kewarganegaraan yang baru ini telah diberlakukan oleh Presiden sejak tanggal 1 Agustus 2006. Dalam penjelasan undang-undang kewarganegaraan yang baru disebutkan bahwa, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 secara filosofis, yuridis,dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegararaan Republik Indonesia. Secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung ketentuan ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasia, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antara warga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah Undang- undang Dasar Sementara 1950 yang sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959 yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara. Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya
persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan jender5.
Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam undang-undang ini adalah;
1. Asas ius Sanguinis, adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas Ius soli, secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Undang-undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride)
ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan pengecualian.
Persoalan yang sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. Undang-undang kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan yang dalam undang-undang tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan karena untuk tetap tinggal di Indonesia orang tuanya harus terus menerus memperpanjang izin tinggalnya. Persoaan lainnya apabila perkawinan orang tua putus, ibu akan kesulitan mendapatkan pengasuhan anak yang Warga Negara Asing.
Undang-undang Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 tidak lagi mengatur demikian. Khusus untuk anak-anak yang lahir dari pasangan yang melakukan perkawinan campuran, Berdasarkan Pasal 6 diberikan kebebasan untuk berkewarganegaran ganda sampai anak-anak tersebut berusia 18 tahun atau sampai mereka menikah. Setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah anak-anak tersebut harus memilih kewarganegaraannya, apakah mengikuti ayahnya atau menjadi WNI.
5 Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung, 1993, Hal 103
Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Undang-Undang Kewarganegaran ini juga mengatur bahwa anak yang sudah lahir sebelum undang-undang ini disahkan dan belum berusia 18 tahun dan belum menikah adalah termasuk Warga Negara Indonesia. Caranya dengan cara mendaftarkan diri kepada Menteri melalui pejabat atau perwakilan Republik Indonesia paling lambat empat tahun setelah undang-undang Kewarganegaraan ini disahkan.6
Anak yang memperoleh kewarganegaraan ganda tersebut tidak hanya diperoleh oleh anak yang lahir dari perkawinan yang sah, tetapi kewarganegaraan ganda juga berlaku untuk anak luar kawin, yaitu anak Warga Negara Indonesia yang lahir diluar perkawinan yang sah yang diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia (Pasal 5).
Untuk anak luar kawin, terdapat beberapa aspek hukum, yaitu dari aspek ketentuan Undang Undang Perkawinan dan dari ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan kerabat ibunya. Jika anak tersebut mendapat pengakuan dari ayahnya dan dikaitkan dengan ketentuan hukum perdata maka anak tersebut secara perdata punya hubungan hukum dengan ayah tapi tidak dengan keluarga ayahnya. Pengakuan tersebut harus dibuatkan dengan suatu akte.7
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak- anak hasil perkawinan campuran dan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan sang anak. Dengan demikian orang tua tidak perlu lagi repot-repot mengurus izin tinggal bagi anak- anaknya. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 6 Undang Undang No. 12 Tahun 2006, bahwa dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak:
a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing.
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dengan ibu Warga Negara Indonesia.
6 Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, Citra Adytia Bakti, Bandung, 2006, hal 6
7 Ibid, Hal 13
c. Anak yang lahir dari tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga Negara Indonesia.
d. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegraannya,kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
e. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum menikah diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Anak yang tersebut di atas berakibat berkewarganegraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Terobosan lain dari Undang-undang Kewarganegaraan ini adalah anak yang berkewarganegaran ganda berhak mendapatkan akte kelahiran di Indonesia dan juga akte kelahiran dari Negara lain dimana anak tersebut diakui sebagai warga Negara. Dengan demikian anak tersebut berhak mendapat pelayanan publik di Indonsia seperti warga Negara lainnya termasuk untuk mengenyam pendidikan. Hal ini berbeda dengan Undang-undang Kewarganegaran yang lama, jangankan untuk mendapatkan akte kelahiran, malah anak tersebut diusir secara paksa dari wilayah Indonesia apabila izin tinggalnya telah melewati batas ketentuan. 8
Secara subtansial dan konseptual, Undang Undang No.12 Tahun 2006 ini mencerminkan usaha serius Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi kepentingan kaum perempuan yang menikah dengan Warga Negara Asing dan anak-anak dari hasil perkawinan campuran dan telah menghapus aturan kewarganegaraan yang bersifat diskriminatif.
Selanjutnya terhadap orang-orang yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaran dari suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewaganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58 Undang-Undang perkawinan).
Berdasarkan Pasal 19 Undang Undang No.12 tahun2006, Warga Negara Asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi Warga Negara Indonesia di hadapan pejabat, pernyataan tersebut dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di
8 Ibid, hal 14
wilayah Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turur atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut.
Selanjutnya Pasal 26 Undang Undang No.12 Tahun 2006, mengatur bahwa. Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. Laki-laki warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut.9
9 Samsiar, Jurnal Ilmu Hukum, Perkawinan Campuran dan Akibat Hukumnya
Perkawinan antara 2 (dua) orang (laki-laki dan perempuan) yang mempunyai kewarganegaraan yang berbeda, berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia, dapat dilaksanakan dengan melihat 2 (dua) hal, yaitu :
1. Perkawinan di luar wilayah Negara Republik Indonesia
2. Perkawinan di wilayah Republik Indonesia.
Akibat dari suatu hukum perkawinan campuran berdasarkan kepada Aturan hukum tentang kewarganegaraan Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran Republik Indonesia. Undang – Undang yang baru ini menggantikan UU N0.62 Tahun 1958 yang sangat diskriminatif. UndangUndang Kewarganegaraan yang baru ini telah diberlakukan oleh Presiden sejak tanggal 1 Agustus 2006.
Dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2006 Berdasarkan Pasal 6 diberikan kebebasan untuk berkewarganegaran ganda sampai anak-anak tersebut berusia 18 tahun atau sampai mereka menikah. Setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah anak-anak tersebut harus memilih kewarganegaraannya, apakah mengikuti ayahnya atau menjadi WNI. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir , Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung, 1993 Fauzi, Rahmat, Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Status Kewarganegaraan Anak
Menurut Hukum Positif Indonesia, 2018
Hamdani, makalah Hukum Keluarga dimalaysia, dalam program doktoral, 2012
Harpen, Libertus Jehani dan Atanasius, Hukum Kewarganegaraan, Citra Adytia Bakti, Bandung, 2006
Samsiar, Jurnal Ilmu Hukum, Perkawinan Campuran dan Akibat Hukumnya
Ulin Nadya Rifatur Rohmah, Miftahul Huda, Ketentuan Hukum Keluarga di Bruneai Darusslam dan Indonesia
0 comments:
Posting Komentar