Minggu, 07 November 2021

MENGHITUNG BESARAN NAFKAH ISTRI PASCA PERCERAIAN

 

MENGHITUNG BESARAN NAFKAH ISTRI PASCA PERCERAIAN

Oleh: A. Syafiul Anam, Lc

A.    PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan salah satu ibadah yang disyariat dalam agama islam yang sangat sakral dan suci. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 2, dijelaskan bahwa; “perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Salah satu tujuan dari pernikahan adalah terciptanya keluarga yang penuh ketentraman, penuh kasih sayang dan penuh cinta yang biasa disebut dengan rumah tangga sakinah, mawaddah, warrahmah.

Tujuan dan cita – cita sebuah pernikahan akan terwujud ketika suami dan istri menjalankan kewajibannya masing-masing. Dengan melaksanakan kewajiban masing-masing, maka hak yang harus diterima oleh pasangan suami istri pasti juga akan terpenuhi. Pada kehidupan nyata, banyak perkawinan yang tidak berakhir dengan bahagia dan jauh dari cita-cita perkawinan itu sendiri. Diantara penyebab ketidakharmonisan dalam rumah tangga adalah perlakuan kekerasan dari suami kepada istrinya yang membuat seorang istri tidak sanggup lagi untuk hidup bersama dengan suaminya. Angka kekerasan terhadap istri menurut Komnas Perempuan pada tahun 2020 adalah sejumlah 3.221 kasus[1]. Suami dengan perlakuan kasar terhadap istrinya tentunya akan menimbulkan penderitaan baik secara fisik ataupun mental yang mengakibatkan suatu sikap bagi perempuan untuk mengakhiri perkawinannya di Pengadilan Agama dengan cara mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama (Cerai Gugat).

Cerai gugat adalah cerai yang diajukan oleh pihak istri. Gugatan cerai yang diajukan oleh seorang perempuan ke pengadilan Agama kebanyakannya diputus dengan putusan talak ba’in sughra dengan konsekwensi talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas isterinya meskipun dengan masa Iddah[2]. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)[3], talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam Iddah. Kategori talak ba’in sughra, yaitu:

a.                Talak yang terjadi qobla al-dukhul;

b.               Talak dengan tebusan atau khuluk; dan

c.                Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Salah satu akibat dari sebuah perceraian adalah pembebanan nafkah kepada mantan suami untuk diberikan kepada mantan istri baik dalam cerai talak maupun cerai gugat. Dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, terkait nafkah setelah perceraian antara suami isteri telah diatur dalam Pasal 41 Huruf c UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Lebih jelas lagi, Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018 poin 3 Hasil Pleno Kamar Agama mengenai Kewajiban suami akibat perceraian terhadap istri yang tidak nusyuz, mengakomodir Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum, maka isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah dan nafkah Iddah, sepanjang tidak terbukti nusyuz[4]. Sehingga berdasarkan SEMA tersebut, tidak menutup kemungkinan dalam perkara Cerai Gugat pihak Penggugat (istri) memperoleh mut’ah dan nafkah Iddah dari suaminya sepanjang terbukti tidak Nusyuz.

Terkait metode atau cara pembayaran nafkah istri pasca perceraian dalam cerai gugat, Mahkamah Agung telah mengelurkan pedoman melalui SEMA No 02 tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2019 sebagai Pedoman tugas bagi Aparat Pengadilan tentang rumusan Kamar Agama, bahwa dalam rangka melaksanakan PERMA No 3 tahun 2007 tentang pedoman mengadili Perkara Perempuan berhadapan dengan hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka apabila ada pembebanan kewajiban bagi suami dalam cerai gugat seperti nafkah Iddah dan lainnya, maka amarnya dapat dirumuskan dengan “yang dibayar sebelum tergugat mengambil akta cerai.

Meskipun dasar hukum pemberlakuan Kedudukan SEMA diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). SEMA, berdasarkan Undang-Undang tersebut dapat kita golongkan sebagai aturan kebijakan (bleidsregel) berperan untuk mengisi kekosongan hukum terhadap materi yang belum diatur dalam undang-undang. Dimasa lampau SEMA selain dipergunakan dalam memberikan petunjuk, arahan, larangan, maupun perintah, SEMA juga digunakan Mahkamah Agung dalam memecahkan persoalan hukum terkait peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan rakyat Indonesia saat itu. Dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, SEMA yang didasari ketentuan pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung memiliki kekuatan hukum mengikat dan dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan[5].

      PERMA dan SEMA yang telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung tentu saja harus menjadi pedoman bagi Hakim dalam mengadili perkara di Pengadilan. Sehingga cukuplah dengan PERMA dan SEMA tersebut Hakim memberikan hak-hak kepada istri yang mengajukan gugatan cerai selama istri tersebut tidak Nusyuz dan tamkin melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri. Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah ketentuan Nusyuz istri dan pedoman untuk menentukan jumlah nafkah kepada istri pasca perceraian serta masalah yang dihadapi dalam menentukan nafkah kepada istri pasca perceraian.

 

 

 

B. PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN NUSYUZ

1. Bahasa

Kata nusyuz (نشوز) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata nasyzu (نشز) yang artinya tempat yang tinggi (المكان المرتفع)[6]. Dan nusyuz juga bermakna berdiri, yaitu orang yang tadinya duduk lalu berdiri, disebut melakukan nusyuz. Di dalam Al-Quran Al-Karim disebutkan lafadz nusyuz dengan makna bangun berdiri dari duduk.

وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا

Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah (QS. Al-Mujadilah: 11)

Sedangkan secara bahasa wanita yang melakukan nusyuz disebut dalam kalimat (نَشَزَتِ الْمَرْأَةُ بِزَوْجِهَا عَلَى زَوْجِهَا), maksudnya adalah istri berperilaku lebih tinggi dari suaminya, atau istri itu telah membuat marah suaminya dan keluar dari ketaatan kepada suaminya.

2. Istilah

Sedangkan pengertian nusyuz dalam istilah ilmu fiqih, para ulama punya definisi yang berbeda-beda redaksinya.

a. Jumhur Ulama

Definisi nusyuz menurut jumhur ulama selain Al-Hanafiyah, yaitu mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah adalah[7] :

خُرُوجُ الزَّوْجَةِ عَنِ الطَّاعَةِ الْوَاجِبَةِ لِلزَّوْجِ

Keluarnya istri dari kewajiban taat pada suaminya

b. Al-Hanafiyah

Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah punya definisi yang agak berbeda dari jumhur ulama[8].

خُرُوجُ الزَّوْجَةِ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا بِغَيْرِ حَقٍّ

Keluarnya istri dari rumah suaminya tanpa hak

Umumnya para ulama menyebutkan bahwa nusyuz itu hanya mungkin dilakukan oleh istri kepada suaminya, dan tidak bisa sebaliknya. Sebab nusyuz itu lawan dari taat, dan yang wajib taat adalah pihak istri kepada suami. Dan ketika kewajiban untuk taat ini tidak dikerjakan oleh istri, saat itu dia telah melakukan nusyuz.

Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa nusyuz mungkin saja dilakukan suami kepada istrinya. Salah satu yang berpendapat seperti itu adalah Asy-Syarqawi. Namun beliau mengakui bahwa nusyuz suami kepada istrinya sangat tidak populer dan kasusnya amat jarang terjadi.

KHI sebagai pedoman untuk mengadili bagi Hakim di lingkungan Peradilan Agama telah menjelaskan kewajiban seorang istri dalam pasal 83 sebagai berikut:

Bagian Keenam

Kewajiban Isteri

Pasal 83

1)     Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.

2)     Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Dalam pasal selanjutnya KHI juga telah memberikan pedoman dalam menentukan Nusyuz tidaknya seorang istri

Pasal 84

1)     Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah

2)     Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

3)     Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz

4)     Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.

Dua pasal KHI ini sudah cukup memberikan petunjuk bagi Hakim untuk menentukan Nusyuz tidaknya seorang istri. Seorang istri akan dianggap Nusyuz apabila istri tersebut tidak berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam. Dengan pedoman ini seorang hakim dituntut untuk berijtihad ketika menilai apakah perbuatan istri termasuk perbuatan Nusyuz atau tidak.

 

B. PERHITUNGAN NAFKAH ISTRI PASCA PERCERAIAN:

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 03 Tahun 2018 Hasil Pleno Kamar Agama, isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan nafkah madhiyah, nafkah, iddah, mut‟ah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz”[9].

Dalam menentukan besaran nafkah kepada istri pasca perceraian, Mahkamah Agung juga telah memberikan pedoman sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 03 Tahun 2018 Hasil Pleno Kamar Agama pada point 2 menyebutkan bahwa: 2. nafkah madhiyah, nafkah, iddah, mut‟ah, dan nafkah anak menyempurnakan rumusan Kamar Agama dalam SEMA Nomor: 07 Tahun 2012 angka 16 sehingga berbunyi: “Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut‟ah, dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup isteri dan/atau anak”.

Pedoman yang diberikan oleh Mahkamah Agung tentu saja sangat membantu hakim dalam menentukan besaran nafkah bagi istri pasca perceraian. Sehingga ketika Hakim menentukan nafkah istri pasca perceraian, Hakim harus menggali kemampuan ekonomi suami dan kebutuhan dasar hidup isteri dan anak.

 

1.     Nafkah Mut’ah

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 disebutkan:

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: (a) memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.

Ada beberapa kaidah tentang mut’ah sebagai berikut:

تجـب عليــه لزوجـة موطوءة المتــعـة

Wajib memberi mut’ah kepada isteri yang dicerai.[10]

 

وتجـب المتــعة لمـوطـوءة طلـقـت بـائنـا أو رجـعية

 Bagi isteri yang diceraikan dan telah disetubuhi, baik talak bain maupun raj’ii harus diberi mut’ah.[11]”.

Mut’ah dalam hukum Islam pada dasarnya merupakan sarana yang disediakan oleh Islam bagi suami istri yang akan bercerai sebagai obat pelipur lara bagi istri yang bercerai serta media untuk tetap dapat menyambung silaturahmi di antara mantan suami dan mantan isteri, sehingga Mut’ah tidak dapat dipandang hanya sebagai pemberian yang bernilai ekonomis belaka, melainkan juga pemberian dengan misi tetap menyambung silaturahmi setelah tidak terikat perkawinan resmi. Islam sangat menganjurkan bahkan mewajibkan kepada para suami yang menikahi isterinya dengan cara yang baik dan bila ingin melepasnya (mentalaknya) harus dengan cara yang baik pula, salah satunya dengan memberikan Mut’ah.

Pembebanan Mut’ah bukanlah sebuah penghukuman terhadap suami yang akan bercerai dengan isterinya namun merupakan suatu perbuatan baik yang disyariatkan oleh Islam kepada para suami yang akan bercerai dengan isterinya. Pemberian Mut’ah adalah upaya untuk menyingkirkan dampak-dampak buruk akibat perceraian yang muasalnya memang sudah dibenci oleh Allah swt.;

Menimbang, bahwa berkenaan dengan jumlah Mut’ah yang berhak diterima oleh seorang istri akan ditetapkan secara patut (ma’ruf) dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

 

a.     Kemampuan finansial yang faktual dari suami.

Dalam menentukan kemampuan finansial suami, Hakim harus mengetahui pendapatan suami dan pengeluaran yang dilakukan oleh suami untuk memenuhi kewajibannya. Setelah pendapatan suami dikurangai dengan pengeluaran suami, maka akan diperoleh pendapatan bersih yang bisa disimpan oleh suami. Pendapatan bersih yang bisa disimpan oleh suami inilah yang nantinya digunakan untuk menghitung besaran mut’ah yang akan diterima oleh istri.

b.     Lamanya perkawinan (baca: lamanya tinggal bersama sehingga terjadi mu’asyarah bil ma’ruf) dan kebaikan isteri;

Lamanya perkawinan juga harus menjadi pertimbangan dalam menentukan besaran mut’ah yang akan diterima oleh istri. Semakin lama perkawinan maka sudah sepantasnya seorang istri akan memperoleh nafkah mut’ah yang lebih banyak. Sebaliknya semakin cepat masa atau waktu perkawinan maka semakin sedikit pula nafkah yang diperoleh istri. Hal ini disebabkan karena ketika hidup bersama dan dalam keadaan baik-baik saja, istri akan mengabdikan hidupnya kepada suami.

c.     Pemenuhan kebutuhan atau nafkah wajib yang dilakukan oleh suami kepada istri ketika masih berumah tangga dan jumlah keturunan.

Jumlah keturunan selama berumah tangga juga menjadi hal yang diperhitungkan. Semakin bayak keturunan atau anak yang dimiliki oleh suami dan istri dalam sebuah keluarga maka semakin besar pula besaran nafkah mut’at yang akan diterima oleh istri. Hal ini berbeda dengan pemenuhan kebutuhan atau nafkah wajib yang dilakukan oleh suami kepada istri, semakin suami melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi nafkah wajib kepada istri maka jumalh mut’ah yang diterima oleh istri akan semakin sedikit karena semasa hidup bersama, suami telah melaksanakan kewajibannya, sebaliknya ketika suami tidak melaksanakan kewajibannya ketika berumah tangga, maka besaran mut’ah yang akan diterima oleh istri juga akan semakin besar.

Setelah Hakim bisa menemukan nilai dari faktor-faktor diatas maka besaran nilai Mut’ah bisa dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Mut’ah = m

Jumlah keturunan dan pemenuhan kebutuhan yang dilakukan oleh suami = …%

Penghasilan yang dapat disisihkan = p

Lama suami istri tinggal bersama (saling melayani satu sama lain) = h

m = …% x p x h

Contoh:

-        Jumlah keturunan suami istri ada 4 (empat) anak dan selama hidup bersama suami telah memenuhi nafkah wajib kepada istri maka besaran presentasi yang dipakai adalah 15% (besaran presentasi ini disesuaikan dengan rasa keadilan Hakim dengan berpatokan pada jumlah anak dan pemenuhan nafkah wajib ketika berumah tangga)

-        Penghasilan suami setelah dikurangi dengan kebutuhan: Rp500.000,00

-        Lama pernikahan dimana istri melaksanakan kewajibannya (bisa menggunakan perhitungan tahun atau bulan disesuaikan dengan rasa keadilan) misal 60 bulan

 

m = …% x p x h

M = 15% x 500.000 x 60

M = Rp4.500.00,00

 

2.     Nafkah Iddah:

Nafkah iddah tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan pangan, melainkan juga sandang (kiswah) dan tempat tinggal (maskan) sebagaimana maksud pasal 149 huruf b Kompilasi Hukum Islam, maka besaran nafkah iddah selama harus memenuhi komponen nafkah iddah sebagai berikut:

A.    Nafkah Pangan

·     Rumusan variabel-variabel yang mempengaruhi besaran nafkah pangan adalah sebagai berikut:

a)     Jumlah nafkah yang harus dibayar = µ

b)     Biaya makan perhari = α

c)     Jumlah hari masa iddah = h

Dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

[ µ = α x h ]

·     Penentuan besaran makan perhari dilakukan dengan cara menjumlahkan biaya makan wajar dalam satu hari didaerah tersebut. Selain itu data dari BPS juga bisa dijadikan sebagai acuan biaya makan selama sehari.

·     Jumlah hari masa iddah ditentukan dengan jenis masa iddah yang harus dijalani oleh istri pasca perceraian.

·     Contoh perhitungan

µ = Rp30.000,00 x 90 hari

µ = Rp2.700.000,00 (dua juta tujuh ratus ribu rupiah) untuk 3 bulan.

B.    Nafkah Sandang (kiswah)

kiswah adalah pakaian yang dikenakan untuk menutup aurat. Pemberian kiswah kepada istri yang telah bercerai merupakan tuntunan syariah yang dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban suami terhadap istri yang telah bercerai agar mantan istrinya tetap menutup aurat sesuai ketentuan syariat;

Nafkah kiswah ini tidak harus berupa pakaian baru setiap bulan, namun dapat berupa perawatan pakaian yang telah dimiliki istri seperti biaya laundry atau jasa pencucian pakaian (cuci dan setrika) tiap bulannya. Sehingga ketika diperoleh biaya perawatan pakaian setiap bulannya maka cukup dikalikan 3 (bulan) atau disesuaikan dengan lamanya masa tunggu bagi mantan istri.

C.    Nafkah Tempat Tinggal (maskan)

Maskan adalah tempat tinggal yang disediakan suami kepada istri yang bercerai. Nafkah tempat tinggal bukan berarti suami harus membelikan rumah kepada istri, namun nafkah maskan adalah biaya yang diperlukan oleh istri untuk mendapatkan tempat tinggal.

Ketika bercerai dengan suaminya, seorang istri bisa saja masih tetap tinggal dirumah bersama, selain itu istri juga bisa tinggal bersama dengan kedua orangtuanya. Jika kondisinya seperti itu maka besaran jumlah nafkah maskan adalah biaya yang diperlukan untuk merawat rumah tersebut seperti biaya listrik, air, iuran kebersihan dan biaya lain yang mungkin menjadi pengeluaran rutin dalam rumah tersebut.

Ketika istri tidak tinggal dirumah bersama atau tidak lagi tinggal dengan orangtuanya sehingga harus mengontrak atau menyewa rumah selama masa iddah, maka nafkah yang diterima oleh istri adalah biaya sewa atau kontrak rumah ditambah dengan biaya lain yang mungkin timbul karena menempati rumah tersebut.

Setelah diketahui jumlah nafkah pangan, kiswah dan maskan maka besaran nafkah Iddah adalah jumlah dari ketiga nafkah yang telah ditentukan tadi. Dengan menemukan besaran biaya hidup istri selama masa iddah, selanjutnya Hakim akan mempertingkan kemampuan suami. Jika dirasa kemampuan suami jauh dari besaran nafkah yang telah dihitung maka hakim bisa mempertimbangkan untuk mengurangi besaran nafkah iddah yang harus diterima oleh istri. Sebaliknya jika kemampuan suami lebih besar atau dirasa cukup untuk memenuhi nafkah iddah sesuai dengan jumlah yang telah dihitung, maka Hakim bisa menentukan bahwa besaran nafkah Iddah sesuai dengan besaran nafkah yang telah dihitung.

 

 

3.     Nafkah Anak

Hal pertama yang harus diperhatikan dalam menentukan nafkah anak adalah berhak tidaknya istri menerima nafkah anak. Istri berhak mengelola dan menerima nafkah anak dari suami ketika ditemukan fakta bahwa anak secara nyata berada dalam asuhan istri, sebagaimana ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 Tahun 2016. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf (c) juga dinyatakan bahwa “biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya”;

Hikmah dari diwajibkannya seorang ayah untuk menafkahi anak adalah agar seorang ayah dapat tetap menjalin ikatan batin yang kuat dengan anaknya, sekalipun telah terjadi perceraian antara suami isteri tersebut dan anak diasuh oleh ibu anak tersebut. Dengan memenuhi nafkah anaknya, maka seorang ayah akan terbiasa berkomunikasi dan memantau perkembangan anaknya serta mempererat hubungan interpersonal antara ayah dengan anak. Dengan demikian, maka akan sangat mudah bagi seorang ayah memantau perkembangan anaknya sekaligus memberikan arahan, motivasi, dan petunjuk hidup yang berguna bagi anaknya kelak. Dengan demikian, menafkahi anak tidak semata-mata berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomis belaka, menafkahi anak, lebih dari itu, merupakan representasi dari kesadaran akan tanggung jawab seorang ayah untuk memenuhi kebutuhan anak sembari mendidik dan mengajarkannya nilai-nilai kehidupan. Bagaimanapun ayah adalah madrasah kehidupan terbaik baik anak-anaknya;

 

3.1  Biaya hidup layak anak

Terkait dengan besaran nafkah anak yang perlu ditetapkan, Hakim perlu mempertimbangkannya secara cermat dengan memperhatikan kriteria atau standar hidup layak, hal mana dapat dilihat dari upah minimum Kabupaten.

Dalam menentukan besaran nafkah anak maka Hakim bisa memperkirakan kebutuhan dasar seorang anak (kebutuhan primer) yaitu sandang, dan pangan menurut tabel berikut:

 

No.

Komponen Kebutuhan

Estimasi Nilai Satuan

Jumlah Satuan

Total

1

Pangan (makan dan minum)

Rp 18.000,00

30

Rp 540.000,00

2

Pangan (susu formula)

Rp 70.000,00

4

Rp 280.000,00

3

Sabun mandi, shampo, dan lainnya

Rp 80.000,00

1

Rp 80.000,00

4

Sandang (pakaian)

Rp 100.000,00

1

Rp 100.000,00

5

Suplemen dan obat-obatan

Rp 100.000,00

1

Rp 100.000,00

6

Popok

Rp 50.000,00

3

Rp 150.000,00

Jumlah Kebutuhan dasar setiap bulan

Rp 1.250.000,00

 

Ketika sudah menemukan kebutuhan dasar seorang anak maka Hakim bisa mempertimbangkan kemampuan suami untuk memenuhi kebutuhan anak. Jika suami dianggap kurang mampu dan istri dianggap mampu maka beban nafkah anak bisa saja dibagi kepada ayah dan ibu si anak, sebagaimana ketentuan UU Perkawinan

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a.      Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

b.     Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

 

 

 

3.2  Peningkatan biaya nafkah yang dibebankan kepada ayah

Sudah merupakan fakta umum (notoir feiten) yang tidak perlu dibuktikan lagi bahwa perbandingan riil dengan nilai nominal mata uang mengalami perubahan atau fluktuasi, dimana nilai riil mata uang selalu mengalami penyusutan atau penurunan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, nominal pembebanan nafkah anak tidak dapat ditetapkan sama mulai dari bulan dan tahun pertama pembebanannya sampai pada tahun terakhir berlakunya pembebanan tersebut. Hakim harus menilai nilai nominal pembebanan tersebut harus mengikuti perkembangan pendapatan Ayah atau batas minimal perkembangan nilai mata uang dunia.

Untuk menentukan jumlah peningkatan akibat fluktuasi nilai uang, Mahkamah Agung telah memberikan pedoman dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan yang salah satu poinnya merekomendasikan “amar mengenai pembebanan nafkah anak hendaknya diikuti dengan penambahan 10% - 20% dari jumlah yang ditetapkan di luar biaya pendidikan dan kesehatan’’.

Dalam memberikan pedoman, Mahkamah Agung memberikan batasan Minimal dan Maksimal sehingga Hakim harus menentukan sendiri batasan yang sesuai dengan kondisi Ayah dalam memberikan nafkah kepada anak.

Besaran kenaikan akibat inflasi juga bisa disesuaikan dengan besaran kenaikan UMK dalam kabupaten tersebut. Misal UMK Kabupaten Tanah Bumbu mengalami kenaikan setiap tahun sebagaimana matriks berikut:

No.

Tahun

Besaran UMK

Kenaikan (%)

1

2016

Rp 2.035.000,-

-

2

2017

Rp 2.258.000,-

11

3

2018

Rp 2.454.671,-*

8,7

4

2019

Rp 2.651.781*

8,03

5

2020

Rp 2,886,366

8,85

6

2021

Rp 2,886,366 **

0

*Mengikuti Upah Minumum Provinsi (UMP)

**Tidak terjadi kenaikan UMP maupun UMK di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2021 dengan pertimbangan masih mewabahnya Covid-19

Tabel diatas menunjukkan bahwa peningkatan UMK Kabupaten Tanah Bumbu naik antara 8,03%-11% setiap tahun. Peningkatan UMK ini dapat dirata-ratakan menjadi (8,03%+11%): 2 = 9,52% dan jika dibulatkan maka nilai yang sesuai adalah 10%. Kenaikan jumlah nafkah anak sebesar 10% sejalan dengan SEMA yang telah menentukan bahwa jumlah kenaikan akibat inflasi antara 10%-20%. Jika nilai yang diperoleh adalah 15% maka Hakim bisa menentukan presentasi kenaikan nafkah setiap tahunnya sebesar 15%.

Setelah menentukan jumlah nafkah anak yang dibebankan kepada mantan suami atau ayah dan juga telah menentukan besaran kenaikan nafkah tersebut, maka selanjutnya Hakim bisa membuat tabel penambahan besaran nafkah yang dibebankan kepada suami. Misalnya tabel berikut[12]:

No.

Tahun

Jumlah nafkah 1 orang anak

Peningkatan (%) per tahun

1.

2021

Rp. 1.250.000,00

-

2.

2022

Rp. 1.375.000,00

10%

3.

2023

Rp. 1.512.500,00

10%

4.

2024

Rp. 1.663.750,00

10%

5.

2025

Rp. 1.830.125,00

10%

Jumlah nafkah yang dibebankan kepada ayah adalah nafkah dasar sebagai biaya hidup bagi anak. Sehingga Hakim juga harus menjelaskan bahwa diluar biaya itu, Ayah juga harus memperhatikan biaya lain seperti biaya kesehatan dan biaya pendidikan.

 

 

-        Menentukan besaran penghasilan suami

Masalah utama bagi hakim dalam menentukan nafkah istri pasca perceraian adalah menentukan jumlah penghasilan atau pendapatan suami. Penentuan nafkah ini akan jauh lebih sulit dalan perkara Cerai Gugat verstek. Beberapa usaha yang bisa dilakukan oleh Hakim sebagai upaya untuk mengetahui besaran pendapatan suami adalah sebagai berikut:

1.     Berpedoman pada slip gaji suami

2.     Melihat kebiasaan nafkah suami ketika masih hidup harmonis dengan istri, bisa dengan bukti transfer yang diterima oleh istri

3.     Menyesuaikan dengan penghasilan orang yang seprofesi dengan suami, bisa dengan melihat data BPS.

4.     Semaksimal mungkin menggunakan fakta di persidangan untuk menentukan penghasilan suami.

5.     Menggunakan besaran UMK dimana suami tinggal.

 

-        Gugatan Nafkah Mut’ah dan Iddah Setelah Terjadi Perceraian

Kewajiban suami telah dijelaskan dalam pasal 34 Undang- Undang Perkawinan No.1 tahun1974 ayat (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Hal ini sejalan dengan al-quran surat Al-Baqarah ayat 233

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).

Dewasa ini banyak sekali suami yang tidak melaksanakan kewajibannya dan tidak pula menceraikan istrinya. Sehingga istri tersebut harus mencari kejelasan statusnya dengan mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama. Seorang istri yang mengajukan gugatan cerai di pengadilan karena suaminya tidak melaksanakan kewajibannya tentu saja juga berhak untuk memperoleh nafkah pasca perceraian seperti mut’ah dan iddah. Hakim tidak boleh mengabaikan hal tersebut yang mengakibatkan istri tidak mendapatkan nafkah yang layak dari suami ketika masih hidup berumah tangga dan ketika bercerai dengan suaminya.

Ketika terjadi perceraian dengan putusan pengadilan dan ikatan perkawinan istri dengan suami telah putus, maka tidak ada lagi pintu atau jalan bagi istri untuk memperjuangkan hak nafkahnya, baik nafkah iddah ataupun nafkah mut’ah. Hal itu disebabkan karena Hukum di Indonesia tidak secara jelas mengatur gugatan nafkah mut’ah ataupun nafkah iddah yang berdiri sendiri. Gugatan nafkah ini biasanya hanya menjadi gugatan asesoir dalam permohonan cerai talak suami ataupun gugatan cerai istri. Oleh karenanya seorang Hakim harus benar-benar memastikan seorang istri mendapatkan haknya pasca perceraian meskipun untuk menjamin hal tersebut, Hakim memerlukan usaha ekstra dan waktu yang tidak sebentar.




 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

C.    PENUTUP

1.     Bahwa Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 03 Tahun 2018 poin 3 Hasil Pleno Kamar Agama yaitu mengenai Kewajiban suami akibat perceraian terhadap istri yang tidak nusyuz, mengakomodir Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum, maka isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan  mut’ah dan nafkah Iddah, sepanjang tidak terbukti nusyuz, dan hal sejalan dengan itu Mahkamah Agung melalui SEMA No 02 tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2019 sebagai Pedoman tugas bagi Aparat Pengadilan tentang rumusan Kamar Agama, bahwa dalam rangka melaksanakan PERMA No 3 tahun 2007 tentang pedoman mengadili Perkara Perempuan berhadapan dengan hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka apabila ada pembebanan kewajiban bagi suami dalam cerai gugat seperti nafkah Iddah dan lainnya, maka amarnya dapat dirumuskan dengan “yang dibayar sebelum tergugat mengambil akta cerai.

2.     Pasal 83 Kompilasi Hukum Islam telah menjelaskan kewajiban seorang istri dengan penjelasan bahwa Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam, dan ketika istri tidak melaksanakan kewajiban tersebut maka istri akan dianggap Nusyuz.

3.     SEMA Nomor: 07 Tahun 2012 angka 16 sehingga berbunyi: “Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut‟ah, dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup isteri dan/atau anak”. Untuk menentukan nominal nafkah istri pasca perceraian Hakim harus memperhatikan kemampuan ekonomi suami dan kebutuhan dasar istri dan/atau anak.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Akademika Pressindo, 2004;

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997;

Al Mughni Karangan Ibnu Qudamah juz 7 hal 6

Ad-dur Al-Mukhtar wa Raddul Muhtar karangan al-Hashkafi (w. 1088 H)

Ibnu-Katsir, Tafsiru al-quran al-adhim, Dar Thoyyibah Linnasyri Wattauzi’, Cetakan Kedua 1999

Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in disyarhi qurrati ala’in, Daar Ibnu Khazm, Cetakan Pertama

Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar al-Masyhur, Bughyatul Mustarsyidin, Dar al-Fikr, 1994 H,

Fathul Mu’in disyarhi qurrati ala’in, Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz, Daar Ibnu Khazm, Cetakan Pertama

Bughyatul Mustarsyidin, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar al-Masyhur, Dar al-Fikr, 1994 H,

PERMA No 3 tahun 2007 tentang pedoman mengadili Perkara Perempuan berhadapan dengan hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian

SEMA Nomor 03 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

HS Al-Hamdani, 1989. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani

M. Natsir Asnawi, Implementasi Jurimetri Dalam Penentuan Jumlah Nafkah Anak.

Irwan Adi Cahyadi, Jurnal Kedudukan SEMA dalam Hukum Positif Indonesia, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view diakses tanggal 17 Sept 2020 jam 15.35

https://nasional.tempo.co/read/1439271/komnas-perempuan-ada-299-911-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-sepanjang-2020/full&view=ok



[1] https://nasional.tempo.co

[2] HS Al-Hamdani, 1989. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani, hlm. 238

[3] Kompilasi Hukum Islam Pasal 119 Ayat (1) dan Ayat (2)

 

[4] Lihat SEMA Nomor 03 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan Hal 14 s/d 15.

 

[5] Lihat Irwan Adi Cahyadi, Jurnal Kedudukan SEMA dalam Hukum Positif Indonesia, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view diakses tanggal 17 Sept 2020 jam 15.35

 

[6] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997

[7] Al-Mughni, jlid 7 hal. 46

[8] Ad-dur Al-Mukhtar wa Raddul Muhtar, jilid 2 hal. 646

[9] SEMA No 03 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan Hal 14 s/d 15.

[10] Fathul Mu’in disyarhi qurrati ala’in, Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz, Daar Ibnu Khazm, Cetakan Pertama Halaman 490

[11] Bughyatul Mustarsyidin, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar al-Masyhur, Dar al-Fikr, 1994 H, Halaman 214

[12] M. Natsir Asnawi, Implementasi Jurimetri Dalam Penentuan Jumlah Nafkah Anak

Ditulis Oleh : Marzuki Na'ma, S. Kom // November 07, 2021
Kategori:

0 comments:

Posting Komentar

 

Wikipedia

Hasil penelusuran

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.