Minggu, 07 November 2021

Apakah peralihan agama atau murtad bisa dijadikan alasan untuk menggugat cerai?

 Apakah peralihan agama atau murtad bisa dijadikan alasan untuk menggugat cerai?

 

Oleh : Marzuki Na’ma, S. Kom


 

Murtad (riddah) adalah keluar dari Islam lalu menjadi kafir lagi dan memutuskan Islam.[1] Murtad itu adakalanya dengan ucapan, adakalanya dengan perbuatan, dan adakalanya dengan keyakinan. Masing-masing dari tiga macam ini mengandung masalah-masalah yang hampir tidak terbatas jumlahnya.[2]

Syarat-syarat kemurtadan berdasarkan kesepakatan para ulama bisa dinyatakan sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu baligh, berakal sehat, inisiatif sendiri tanpa paksaan (unsur kesengajaan), mengetahui kondisi dan hukum kekafiran.[3]

Pengaruh kemurtadan terhadap perkawinan menurut kalangan ahli fikih sependapat bahwa jika salah satu dari pasangan suami istri murtad dan keluar dari Islam, maka keduanya harus dipisah. Orang yang murtad dilarang mendekati pasangannya dalam bentuk khalwat, hubungan intim, atau sejenisnya.[4]

ketika istri hendak mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama dengan Alasan Murtad saja ternyata tidak bisa, karena menurut KHI pasal 116 huruf h yang berbunyi: “Perceraian dapat terjadi karena alasan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Jadi apabila rumah tangga mereka masih harmonis maka tidak dapat dijadikan alasan perceraian.

Ternyata disini terdapat gesekan hukum antara KHI dengan Ulama Fiqih. Orang yang murtad dilarang mendekati pasangannya dalam bentuk khalwat, hubungan intim, atau sejenisnya.[5]

Kalau kita telusuri KHI pasal 116 huruf h menjelaskan ketika salah seorang murtad, akan tetapi keluarganya masih dalam keadaan harmonis maka tidak akan bisa dijadikan alasan untuk perceraian karena terdapat kata-kata “menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga”. Sehingga menurut Penulis hal ini sangat bertentangan dengan syariat islam.

Status hukum perkawinan yang salah satu pihak murtad menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah dikembalikan kepada agama yang dianut para pihak, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) yang menentukan: ”Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.[6]

Di dalam Al-Qur’an juga dijelaskan dalam surah Al-Baqarah Ayat 221 :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

Artinya : Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.

Sehingga bisa diambil kesimpulan. Apabila seseorang ingin menggugat cerai dengan alasan peralihan agama atau murtad maka harus ditambah dengan ketidakharmonisan dalam rumah tangga, ataupun dengan alasan lain seperti tidak adanya nafkah ataupun membiarkan istrinya selama 6 bulan lamanya. Sehingga alasan tersebut bisa diterima dalam Pengadilan Agama.

 



[1] Al-Imam Taqiyuddi Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), hal. 131.

[2] Al-Imam Taqiyuddi Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, hal. 132.

[3] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, shahih fikih sunnah, jilid 4, (Pustaka Azzam, 2007), hal. 246.

[4] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, shahih fikih sunnah, hal. 286.

[5] Ibid hal. 286

[6] Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1)

Ditulis Oleh : Marzuki Na'ma, S. Kom // November 07, 2021
Kategori:

0 comments:

Posting Komentar

 

Wikipedia

Hasil penelusuran

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.