MATA KULIAH Studi Kitab Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam |
DOSEN PENGAMPU 1. Prof. Dr. FAUZI ASERI, MA |
PERADABAN ISLAM DI MASA DAULAH ABBASIYAH
OLEH AGUNG SANTOSO NIM : 210211050109
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN PASCASARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunianya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Studi Kitab Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam program Pascasajrana dalam Prodi Hukum Keluarga tahun 2021 di UIN Antasari Banjarmasin, dengan judul “PERADABAN ISLAM DI MASA DAULAH ABBASIYAH”
Bahwa penulis sadari didalam tulisan ini tentunya belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat untuk membangun dan memperbaiki sangatlah diharapkan demi kesempurnaan makalah yang disajikan penulis ini, dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis terlebih lagi para pembaca pada umumnya.
Wassalam
Agung Santoso
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2 BAB II PEMBAHASAN
A. Berdirinya Daulah Abbasiyah.............................................................. 3
B. Perkembangannya Daulah Abbasiyah.................................................. 5
C. Keruntuhan Daulah Abbasiyah........................................................... 11
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN 24 DAFTAR PUSTAKA 26
BAB I PENDAHUAN
A. Latar Belakang Masalah1
Daulah Abbasiyah adalah rentang sejarah yang sangat panjang dari sebuah sistem pemerintahan Islam yang berlangsung selama 524 tahun. Daulah ini, dengan segala peristiwa-peristiwa besar yang dilaluinya, telah mewarnai perjalanan sejarah umat Islam Sejak mulai berdiri pada tahun 132 H dan berakhir tahun 656 H. Daulah Abbasiyah telah dipimpin oleh 37 khalifah yang silih berganti menjalankan estafet kepemimpinan dengan beragam kepribadian, gaya kepemimpinan, dan kebijakan-kebijakannya
Daulah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad ini telah membentangkan sayap kekuasaanya sampai ke Asia Tengah, ke wilayah yang disebut dengan Transoxania (Moa wara An-Nahr), Daulah ini juga masih tetap eksis, meskipun ada beberapa daulah-daulah kecil lain yang berdiri di wilayah Maghribi dan di wilayah lainnya. Pada masa-masa akhirnya, daulah ini juga bersentuhan dengan Kesultanan Salmk atau Daulah Bani Saljuk, dengan beragam corak dan pola Interaksinya
Sebagai sebuah pemerintahan dengan rentang waktu yang cukup panjang Daulah Abbasiyah juga mengalami masa keemasan dan masa kegelapan Pada masa keemasan, khalifah dari daulah ini begitu besar perannya dalam ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. DI Baghdad misalnya, berdiri Baitul Hikmah, sebuah perpustakaan yang cukup besar, dengan beragam jenis ilmu pengetahuan yang ada dalam jutaan koleksi buku dan manuskripnya. Belum lagi peninggalan peninggalan dalam bentuk artefak-artefak sejarah yang memberikan gambaran betapa pada masa lalu daulah ini begitu memiliki pengaruh besar di dunia Islam.
Daulah Abbasiyah runtuh seiring dengan invasi Hulagu Khan, seorang pemimpin bangsa Mongol yang dikenal mempunyai misi menguasai negeri-negeri Muslim, Keruntuhan daulah ini adalah tragedi besar dalam sejarah Islam. Apalagi Baghdad sebagai mercusuar peradaban Islam pada masa itu, lkut diluluhlantak kan.
1 Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Bangkit Dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah, Pustaķa Al-Kautsar- 2000, cover belakang,
B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah sebagai berikut:
1. Kapan berdirinya Daulah Abbasiyah?
2. Bagaimana Perkembangan Daulah Abbasiyah?
3. Kapan runtuhnya Daulah Abbasiyah?
C. Tujuan
Dalam rangka melakukan tugas makalah Studi Kitab Sejarah
Pemikiran Dan Peradaban Islam dengan judul “PERADABAN ISLAM DI MASA DAULAH ABBASIYAH”, maka penyusunan makalah ini adalah pendekatan historis atau pendekatan sejarah, hal ini sangat relevan dengan judul penelitian.
BAB II PEMBAHASAN
A. Berdirinya Daulah Abbasiyah.2
Sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah tentu tidak terlepas dari sejarah kemunduran Daulah Umayyah. Sejarah kemunduran Daulah Umayyah berawal dari bobroknya akhlak para pemimpin Daulah Bani Umayyah. Empat pengganti khalifah setelah Muawiyah dan Abd. Malik kecuali Marwan yang menjadi khalifah terakhir terbukti tidak cakap atau bisa dikatakan tidak bermoral. Bahkan para khalifah sebelum Hisyam pun, yang dimulai oleh Yazid I lebih suka berburu, pesta minum, tenggelam dalam alunan musik dan puisi ketimbang membaca Alquran atau mengurus persoalan Negara. Berpoya-poya dalam kemewahan,oleh karena meningkatnya kekayaan dan melimpahnya budak menjadi fenomena umum. Bahkan keluarga khalifah tidak lagi berdarah Arab murni, Yazid III (744 M.) adalah khalifah pertama yang lahir dari seorang budak. Perilaku buruk kelas penguasa hanyalah gambaran kecil dari keburukan moral yang bersifat umum.
Selain itu, pada saat Hisyam Bin Abdul Malik memerintah pada tahun 105-125 H./723-742 M. Daulah Islam telah mengalami kemerosotan dan melemah. Hal ini terjadi karena fanatisme antara orang-orang Arab Selatan dan Arab Utara, secara khusus Khurasan. Apalagi setelah Hisyam wafat pada tahun 125 H./742 M., penguasa setelah itu yakni Walid Bin Yazid Bin Abdul Malik dikenal sebagai sosok yang menuruti hawa nafsunya dan tindakan-tindakan yang tidak pantas, sehingga banyak manusia yang jengkel terhadapnya. Dalam buku Imam al-Suyuthi bahkan dijelaskan
2 Iqbal , Peranan Daulah Abbasiyah Terhadap Peradaban Dunia , Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, IAIN Palangka Raya, Volume 11, Nomor 2, Desember 2015, h 270-272
bahwa ia merupakan khalifah yang fasik, peminum khamar, dan banyak merusak aturan-aturan Allah. Oleh karena itu, secara diam-diam masyarakat membaiat sepupunya Yazid Bin Walid yang dikenal sebagai sosok yang shaleh. Dan Walid pun terbunuh pada bulan Jumadil akhir tahun
126 H. Pada saat Yazid berkuasa, ternyata masalah tidak juga terselesaikan. Gejolak dan pemberontakan terjadi di mana-mana. Tidak ada kata tunggal di kalangan Bani Marwan. Orang-orang Hismh memberontak, disusul kemudian oleh penduduk Palestina. Meskipun pemberontakan ini berhasil diredam ternyata muncul lagi konflik baru antara Qaisiyyah dan Yamaniyah terutama di Khurasan.
Melihat keadaan semakin kacau, keluarga Abbas pun memanfaatkan situasi dan bergabung dengan pendukung Ali dengan menekankan hak keluarga Hasyim. Dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan menampilkan diri sebagai pembela sejati agama Islam, para keturunan Abbas segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah. Seruan dan gerakan untuk membangun pemerintah Bani Abbas semakin santer pada masa itu dengan kufah sebagai sentralnya dan menyebar ke Khurasan. Penyeru utama pembentukan pemerintahan Abbasi adalah Muhammad Bin Ali Abdullah Bin al-Abbas. Ia meninggal pada tahun 124 H./741 M. yang kemudian digantikan oleh anaknya Ibrahim. Pada masa ini muncul gerakan Abu Muslim Khurasani, salah seorang penyeru pendirian pemerintahan Bani Abbasi.12 Hal itulah yang terjadi silih berganti pada akhir masa Daulah Umayyah. Kejatuhan Daulah Umayyah semakin dekat ketika terbentuk koalisi antara kekuatan Syiah, Khurasan, dan Abbasiyah, yang dimanfaatkan oleh kelompok terakhir untuk kepentingan mereka sendiri. Koalisi ini dipimpin oleh Abu al-Abbas, cicit al-Abbas, paman Nabi. Di bawah kepemimpinannya, Islam revolusioner bangkit menentang tatanan yang ada dengan menawarkan gagasan teokrasi, dan
janji untuk kembali kepada tatanan ortodoksi. Pada 9 Juni 747M./130 H, pemberontakan dimulai ketika seorang pendukung Abbasiyah Abu Muslim seorang budak Persia yang telah dimerdekakan mengibarkan bendera hitam, yang pada awalnya merupakan warna bendera Muhammad, tapi kini menjadi lambang Abbasiyah.
Gerakan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasiyah pun semakin kuat. Pada tahun 129 H./ 446 M. mereka memproklamirkan berdirinya pemerintahan Abbasiyah. Namun Marwan menangkap pemimpinnya yang bernama Ibrahim lalu dibunuh. Setelah dibunuh, pucuk gerakan diambil alih oleh saudaranya yang bernama Abul Abbas al-Saffah yang berangkat bersama-sama dengan keluarganya menuju Kufah. Kemudian dia dibaiat sebagai khalifah di Kufah pada tahun 132 H./ 749
M. Bani Abbasiyah berhasil menaklukkan Khurasan dan Irak. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Abbasiyah dan pasukan Marwan Bin Muhammad di Sungai Zab (antara Mosul dan Arbil). Marwan dan pasukannya kalah dalam peperangan yang terjadi pada 131 H./ 748 M. Pasukannya lari ke berbagai penjuru hingga akhirnya dia dibunuh oleh pasukan Bani Abbasiyah pada tahun 132 H./ 749 M. Dengan kematiannya, maka pemerintahan Umayyah hancur dan awal pembentukan Daulah
Abbasiyah.
B. Perkembangannya Daulah Abbasiyah 3
Dalam perkembangannya Daulah Abbasiyah dibagi menjadi lima periode yakni:
1. Periode Pertama (750 M. -847 M.), yang para khalifah Abbasiyah berkuasa penuh.
2. Periode Kedua (847 M. - 945 M.) disebut periode pengaruh Turki.
3. Periode Ketiga (945 M. - 1055 M.) pada masa ini daulah Abbasiyah
3 Ibid, h 272-277
di bawah kekuasaan Bani Buwaihi.
4. Periode Keempat (1055 M.-l194 M.) dalam periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Saljuk atas Daulah Abbasiyah.
5. Periode Kelima (1194 M.-1258 M.) periode ini khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Daulah tertentu, mereka merdeka berkuasa akan tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah adalah tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu engetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Sebenarnya zaman keemasan Bani Abbas telah dimulai sejak pemerintahan khalifah Abu-Jafar al-Mansur serta pada masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M.), akan tetapi popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa khalifah Harun al-Rashid (786-809 M.) dan putranya al-Ma’mun (813- 833 M.). Kekayaan banyak dimanfaatkan Harun al-Rashid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Khalifah-khalifah Bani Abbas secara terbuka mempelopori perkembangan ilmu pengetahuan dengan mendatangkan naskah-naskah kuno dari berbagai pusat peradaban sebelumnya untuk kemudian diterjemahkan, diadaptasi dan
iterapkan di Dunia Islam. Para ulama Muslim yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan baik agama maupun non agama juga muncul pada masa ini. Perkembangan pesat peradaban juga didukung oleh kemajuan ekonomi imperium yang menjadi penghubung Dunia Timur dan Barat. Stabilitas politik yang relatif baik terutama pada masa Abbasiyah awal ini juga menjadi pemicu kemajuan peradaban Islam.
Sejarah menyebutkan bahwa puncak zaman keemasan Baghdad terjadi selama masa kekhalifahan Harun al-Rasyid (786-809 M.) Meskipun usianya kurang dari setengah abad, Baghdad pada saat itu muncul menjadi pusat dunia dengan tingkat kemakmuran dan peran internasional yang luar biasa. Baghdad menjadi saingan tunggal bagi Bizantium. Kejayaannya berjalan seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibu kotanya. Saat itulah Baghdad menjadi kota yang tidak ada bandingannya di sekitar Jazirah Arab.15 Istana kerajaan dengan bangunan-bangunan tambahan untuk para harem, pembantu laki-laki dan pejabatpejabat khusus menempati sepertiga Kota Lingkaran itu. Bagian yang paling mengesankan adalah ruang pertemuan yang dilengkapi dengan karpet, gorden dan bantal terbaik dari Timur. Selain itu, zaman Harun al-Rasyid merupakan zaman kebangkitan intelektual. Gerakan intelektual itu ditandai oleh proyek penerjemahan karya-karya berbahasa Persia, Sansekerta, Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri tentang ilmu pengetahuan, filsafat, atau sastra yang tidak terlalu banyak. Orang Arab Islam yang memiliki keingintahuan yang tinggi dan minat belajar yang besar segera menjadi penerima dan pewaris peradaban bangsa-bangsa yang lebih tua dan berbudaya yang mereka taklukkan atau yang mereka temui.17 Selain mempelajari dan menyerap ilmu pengetahuan dari bangsa lain. Khalifah Abu- Jafar al-Mansur membangun perpustakaan Baitul Hikmah, salah satu perpustakaan yang amat terkenal dan berkelas dunia. Perpustakaan
tersebut mencerminkan peranan ilmu di dunia tanpa dapat diketahui batasannya, dan salah satu perbendaharaan ilmiah yang paling bernilai dalam pemikiran Islam.
Selain itu, budaya India pun turut andil dalam mempengaruhi pembentukan budaya universal Islam Persia, terutama yang menjadi sumber inspirasi pertama dalam bidang mistisisme dan matematika. Sekitar 154 H./771 M., seorang pengembara India memperkenalkan naskah astronomi ke Baghdad yang berjudul Siddhanta (bahasa Arab Sidhind), yang atas perintah al-Manshur kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Bin Ibrahim al-Fazari (meninggal antara 796 M.-806 M.), yang kemudian menjadi astronom Islam pertama. Bintang memang telah menarik minat orang Arab sejak dulu, tapi mereka baru melakukan kajian ilmiah tentang perbintangan pada masa ini.19 Pengembara India itu juga membawa sebuah naskah tentang matematika yang darinya bilangan- bilangan yang di Eropa disebut sebagai bilangan Arab dan yang oleh orang Arab disebut bilangan India (Hindia) yang masuk ke dunia Arab. Belakangan pada abad ke 9 M., orang India juga memberi sumbangan penting terhadap ilmu matematika Arab, yaitu sistem desimal.
Al-Ma'mun, pengganti Harun al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku- buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli, Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Permulaan lahirnya ilmu pengetahuan sebenarnya telah lahir pada masa-masa sebelum Daulah Abbasiyah yang lebih
tepat pada masa Yunani kuno, akan tetapi keilmuan-keilmuan ini berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah. Jika diteliti sebenarnya ilmu telah ada pada permulaan manusia atau lebih tepat pada zaman manusia purba. Pada masa ini manusia telah menemukan besi, tembaga, dan perak untuk berbagai peralatan. Baru setelah itu muncul keilmuan di Yunani.21 Dengan pendirian perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena selain terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Pada pemerintahan al-Makmun, untuk memfokuskan penerjemahan naskah-naskah asing, maka dibentuk badan penerjemah dan pensyarah serta para penjual kertas untuk menjaga agar naskah kuno itu tidak sampai punah dan dipindahkan ke bahasa Arab. Ketua para penerjemah adalah Hunayn Bin Ishaq, seorang sarjana terbesar dan figur terhormat pada masanya. Salah satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani adalah Abu Yahya Bin al-Bathriq (wafat antara tahun 796 M.-806 M.) yang dikenal karena menerjemahkan karya-karya Galen dan Hippocrates (w.436 S.M.) untuk al-Manshur dan karya Ptolemius, Quadripartitum untuk khalifah lainnya. Dalam menerjemahkan naskah-naskah, Khalifah al-Makmun menentukan penanggung jawab pada setiap bahasa sebagai pengawasan terhadap siapa yang menerjemahkan buku-buku kunonya, memberikan gaji kepada mereka di setiap bulannya sebesar 500 Dinar (setara dua kilo gram emas). Dengan mempelajari kitab-kitab Yunani Daulah Abbasiyah dapat membangun peradaban Islam yang agung dan membawa Islam mencapai masa keemasan khususnya bidang keilmuan, akan tetapi imperium ini
runtuh pada awal abad ke-13 setelah terjadi perang antar saudara yang berlarut- larut, dan banyak pemberontakan yang terjadi. Pada permulaan Daulah Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang pesat di seluruh negara islam sehingga lahir sekolah-sekolah yang tersebar di kota-kota sampai desa. Peradaban Islam megalami puncak kejayaan pada masa Daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju. Selama pemerintahan al- Mutawakkil, di kota mereka berdiri sekolah filsafat dan kedokteran yang pada awalnya berada di Iskandariyah, kemudian dipindahkan ke Antiokia. Bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Pada masa ini Ilmu dan metode tafsir mulai berkembang terutama dua metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi Dalam bidang hadits mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis, sehingga kita kenal dengan klasifikasi hadits Shahih, Dhaif, dan Maudhu. Selain itu berkembang juga ilmu pengetahuan agama lain seperti ilmu Alquran, qira’at, fiqh, kalam , bahasa dan sastra. Empat mazhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa Abbasiyah ini Imam Abu Hanifah yang meninggal di Baghdad tahun 767 M. adalah pendiri madzab Hanafi. Imam Malik Bin Anas yang banyak menulis hadits dan pendiri Maliki itu wafat di Madinah pada tahun 796 M. Muhammad Bin Idris al-Syafi’i yang meninggal di Mesir tahun 819 M. adalah pendiri madzhab Syafi’i dan Ahmad Bin Hanbal pendiri madzhab Hanbali meninggal dunia tahun 855 M. Baghdad sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasiyah yang didirikan oleh khalifah al-Mansur mencapai puncak kejayaan di masa al-Rasyid walau kota itu belum lima puluh tahun dibangun. Kemegahan dan kemakmuran tercermin dari istana khalifah, kemewahan istana muncul terutama dalam upacara-upacara penobatan khalifah, perkawinan, keberangkatan berhaji, dan jamuan untuk para duta negara asing.
Demikianlah kemajuan peradaban Islam pada masa Daulah
Abbasiyah. Selain apa yang diungkapkan terdahulu, masih banyak kemajuan-
kemajuan dalam bidang lain, seperti bidang kedokteran, filsafat, sastra yang melahirkan ulama-ulama terkemuka seperti Ibnu Sina, al-Kindi, al-Ghazali, al- Farabi, dan lain-lain.
C. Keruntuhan Daulah Abbasiyah 4
Degenerasi & keruntuhan kekuasaan Abbasiyah yang merupakan benih dari kehancuran dunia Islam terjadi dengan siklus sebab- akibat seperti yang dirasakan oleh Daulah-Daulah masa lalu. Perselisihan Internal, seperti kegagalan khalifah untuk menggabungkan kawasan kewenanganya, tradisi mencari kesenangan yang melanda keluarga kerajaan, dll. Selain itu, ada juga bahaya dari luar, misalnya masuknya tentara salib ke zona Islam dan penyerangan terhadap angkatan bersenjata Mongol yang dikomando oleh Hulagu Khan. Pada jurnal ini penulis memamparkan sebab-sebab Degenerasi dan jatuhnya Daulah Abbasiyah serta dinamikanya. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Daulah Abbasiyah Kebesaran, dan gemerlapanya Baghdad sebagai pusat kekusaan Abbasiyah seakan-akan hanyut oleh Sungai Tigris, setelah kota itu dibakar oleh angkatan bersenjata Mongol di bawah inisiatif Hulagu Khan pada tahun 1258. Semua pemukiman termasuk istana emas diratakan dengan tanah oleh tentara Mongol, tidak hanya itu angkatan bersenjata Mongol juga menghancurkan perpustakaan yang menjadi salah satu fasilitas penyimpanan informasi, dan menghabiskan buku-buku di dalamnya. Pada tahun 1400 M kota itu juga diserang oleh pasukan Timur Lenk, dan pada tahun 1508 M kota itu diserang oleh pasukan Samawi. Ada beberapa aspek yang mengakibatkan stagnasi dan kemusnahan Daulah Abbasiyah. Biasanya ahli sejarah mengkatagorisasikan faktor ini kedalam
4 Nuril Fathiha, PERADABAN ISLAM MASA DAULAH ABBASIYAH (PERIODE KEMUNDURAN), ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah, Volume 17, No 1, Maret 2021, h 2-7
2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor Internal
Seperti yang ditemukan dalam periodisasi Khalifah Abbasiyah, unsur-unsur penyebab stagnasi (kemunduran) tidak muncul secara tiba-tiba. Benihnya pada saat itu tampak jelas pada periode sebelumnya, karena pemimpin pada periode ini sangat tangguh, sehingga benih-benih teresebut tidak memiliki kesempatan untuk berkreasi (berkembang).
Dalam sejarah kedaulatan Bani Abbas tampak jika penguasa para menteri kuat mereka condong akan berperan sebagai kepala Pegawai Sipil, sebaliknya jika pemimpin lemah, mereka akan berkuasa mengendalikan roda pemerintahan. Hal yang mendasari runtuhnya kekuasaan Abbasiyah pada fase disintegrasi yakni lemah dan tidak berdayanya Khalifah yang dipilih, sehingga tidak mampu mengentrol wilayah yang dimpimpinya, dan berdampak munculnya perselisihan dalam lingkup politik. Politik pusat pemerintah telah berpindah ke wilayah-wilayah kecil dikarenakan berada digenggaman pemimpin yang lemah. Akhirnya eksitensi kedaulatan pusat menjadi hilang perananya, sehingga Khalifah sebatas lambang belaka saja.
Perubahan dari masa jayanya menuju masa kemunduran Abbasiyah dimulai dari perbuatan khalifah al-Makmun (813-833). yang menobatkan saudara kandungnya al-Muktashim (833-842) sebagai penerusnya agar menghindari penguasaan Persia yang telah membuat kewalahan pemerintahan Daula Abbasiyah.
Ketika al-Muktashim menjadi pemimpin, dia mengalihkan ibu kota Daula Abbasiyah dari Baghdad ke kota Samarra sekitar 75 km hulu sungai Tigris dengan membangun kediaman raja- raja dan penginapan militer. Pada saat itu menghadirkan 250.000
tentara Turki untuk tinggal di penginapan militer. Demikian juga sebagian dari kastil yang dibuatnya diberikan kepada para pemimpin klan Turki. Untuk memperkuat pemerintahannya, ia merancang angkatan bersenjata yang terbentuk dari budak Turki.
Orang Turki yang dikenal dengan jiwa militernya semakin menunjukkan kegemilangan mereka di lingkup militer. Oleh karena itu, pangkat tertinggi di militer diberikan kepada mereka sehingga secara bertahap angkatan bersenjata Timur Tengah dan Persia didorong mundur dan digantikan oleh angkatan bersenjata Turki, hal ini menyebabkan komponen angkatan bersenjata Arab dan Persia meninggalkan pemerintahan pusat dan membangun pemerintah di zona yang terbebaskan dari pemerintah pusat .
Dari informasi di atas, terlihat bahwa orang Turki dijaring oleh Khalifah al-Muktashim dalam sistem pemerintahan Abbasiyah untuk mendorong kemajuan Daulah Abbasiyah. Namun yang terjadi setalah al-Muktashim meninggal (842) kekuasaan diwariskan kepada pemimpin-pemimpin yang lemah. Seperti al-Mutawakkil (847-861) yang tidak mampu mengentrol orang-orang Turki dalam pemerintahan, dan malah yang timbul perselisihan yang berkepanjangan dengan orang- orang Turki tersebut.
Dengan begitu, otoritas orang-orang Turki dalam sistem kekuasaan Abbasiyah tidak ada seorangpun dari para pemimpin yang bisa mengendalikannya. Misalnya seperti Khalifah al-Mutawakkil (847-861) yang mencoba untuk mengedalikan kekuasaan dan dominasi orang-orang Turki itu, namun takdir berkata lain malah Ia wafat ditangan anak kadungnya sendiri yang bernama al-Muntasir dengan bantuan orang-orang Turki.
Namun pada masa pemerintahan al-Radhi (ke-20) membuat
sebuah struktur jabatan yang dikenal dengan istilah Amir Umara yang bertugas sebagai pemilih dan pelantik pegawai pemerintahan. Struktur ini dibentuk bertujuan agar membatasi popularitas orang Turki dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah. Namun hasilnya sangat nihil, sehingga popularitas serta dominasi orang turki dalam sistem pemerintahan tidak dapat dibatasi. Tidak sampai disitu saja Khalifah al- Mustakfi (ke-22) memohon bantuan kepada Bani Buwaihi agar menekan mereka. Sambutan yang begitu meriah yang dilukukan khalifah pada saat itu dalam rangka menyambut kedatangan Bani Buwaihi. Hal ini tentu dengan harapan agar terjalin kerja sama yang baik antara Bani Buwaihi dengan Bani Abbasiyah guna memajukan Daulah Abbasiyah serta mengusir dominasi & popularitas bangsa Turki pada saat itu. Berkat bantuan dari khalifah Ahmad ibn Buwaihi mampu menekan dan menyngkirkan keberadaan orang-orang Turki dari wilayah kekuasaan Abbasiyah. Akan tetapi dengan keberadaan pemimpin Abbasiyah pada masa ini begitu lemah serta ditambah dengan pemimpin Bani Abbasiyah yang tidak memiliki kekuatan untuk menakan pengaruh Buwaihi. Sehingga harapan untuk mewujudkan Daulah Abbasiyyah yang maju hanyalah angan-angan belaka saja.
Diamana pada saat itu pemimpin Abbasiyyah yang terlalu berharap kepada Bani Buawaihi tidak mampu menolong kekusaan meraka yang sudah lumpuh. Malahan dengan keadaan pemimpin Abbasiyah yang begitu lemah hanya menjadi lambang belaka saja yang tak mampu malakukan tindakan tegas terhadap gerakan Bani Buwaihi yang malakukan pemaksaan tergadap rakyat agar mengikuti paham Syi’ah.
Timbul suatu pertanyaan besar dibenak kita, kanapa pada masa Daulah Abbasiyah yang terpilih sebagai calon pemimpin adalah khalifah-khalifah yang lemah dan tidak ada satu orangpun
yang sanggup mengambil posisi dari khalifah-khalifah tersebut untuk menggantikan posisi mereka sebagai khalifah Abbasiyah. Ternyata alasannya adalah karena orang-orang Islam pada saat itu menganut suatu paham yang beranggapan bahwasannya kedudukan seorang Khalifah itu merupakan hak suci masyarakat Arab. Sehingga apa bila kedudukan tersebut diambil alih oleh orang lain maka dunia akan hancur, matahari tidak akan terbit & hujanpun tidak akan pernah turun.
Jadi, sekalipun orang Arab Quraisy tersebut tidak begitu kuat maka mereka akan tetap dibaiat menjadi pemimpinAbbasiyah sekalipun hanya sabagai boneka yang tak mampu malukakan apapun. Dari kenyataan otentik di atas, bisa dilihat bahwa Khalifah Daulah Abbasiyah yang tidak berdaya kepada Bani Buwaihi & tidak bisa menangani mereka, sehingga terjadi perselisihan antara pemimpin Daula Abbasiyah yang tidak kuat dan Bani Buwaihi yang menyebabkan kemunduran peradaban Islam ketika kekuasaan Abbasiyah dikuasai oleh Bani Buwaihi. Berdasarkan fakta sejarah di atas, bisa dilihat bahwa Khalifah Daulah Abbasiyah yang tidak berdaya kepada Bani Buwaihi & tidak bisa menangani mereka, sehingga terjadi perselisihan antara pemimpin Daula Abbasiyah yang tidak kuat dengan pemimpin Bani Buwaihi yang menyebabkan kemunduran peradaban Islam ketika kekuasaan Abbasiyah dikuasai oleh Bani Buwaihi.
Bahkan demonstrasi intimidasi oleh Bani Buwaihi terhadap masyarakat untuk tetap berpegang pada paham Syiah tidak dapat dipengaruhi oleh para pemimpin. Tughrul Bek dari Turki Saljuk yang mengambil sikap Ahlus Sunnah waj Jama'ah begitu bersemangat untuk menghanguskan serta melawan kegiatan & peraturan yang diterapkan Bani Buwaihi tersebut. Maka Tughrul Bek-pun mengunjungi Baghdad guna menyelesaikan permesalahan keunggulan Bani Buwaihi tersebut
atas permintaan langsung dari pemimpin Abbasiyah al-Qaim (ke-26). Dia mampu mengambil alih kembali ibu kota Baghdad serta meringkus & dan mamasukan Malik ar-Rahim (1058) pemimpin terakhir Bani Buwaihi hingga iapun wafat dalam penjara .
Sama halnya dengan kehadiran Bani Buwaihi, bagitu pula dengan hadirnya Turki Saljuk dalam sistem kekuasaan Abbasiyah. Dengan berhasilnya mengatasi permasalahan dengan Bani Buwaihi. Peluang untuk menduduki jabatan dalam pemerintah Abbasiyah terbuka lebar untuknya. Tidak hanya sebatas diangkat sebagai Amir Umara saja, melainkan pada saat itu juga Tughrul Bek diberi gelar yakni yang berarti penguasa timur dan barat (Sulthan wa al-Malik al-Syarqi wa al-Gharbi).
Khalifah al-Qaim merancang sebuah strategi yang berbeda dengan para pemimpin sebelumnya. Dimana berusaha menjalin hubungan yang harmonis antara orang-orang yang membantu memajukan kembali Daulah Abbasiyah. Dengan tujuan agar mereka mau membantu mamajukan kembali Daulah Abbasiyah seperti masa kejayaannya dulu. Hal inipun dapat berlangsung dengan baik pada priode ini. Yakni dengan dibuktikan adanya hubungan yang harmonis antara pemimpin al-Qaim dengan orang Turki Saljuk.Ketika masa kepemimpinan Alp Arselan, Iya membaiat Nizamul Muluk untuk menjabat sebagai wazir, sedangkan al-Qaim hanya sebagai lambang belaka. Dengan dipilihnya Nizamul Muluk sebagai Wazir mampu mengantarkan kejayaan pada Daulah Abbasiyah sebagaimana masa kejayaannya dulu.
Salah satu karya Nizamul Muluk yang diberikan untuk orang Muslim yakni Universitas Nizamiyah yang terletak di Baghdad mampu dijalankan secara maksimal guna menjadi wadah untuk menimba ilmu pengetahuan keislaman. Imam Ghozali pun pernah
menjadi Rektor di Universitas ini.
Tidak sebatas itu saja dengan adanya Madrasah-madrasah Nizamiyah tersebut sangat membantu dalam menyebarkan dan menyiarkan serta memperkokoh pandangan Sunni dalam teologi Asy’ari dan pandangan Syafi’I dalam bidang fiqih. Namun hal ini tidak berlangsung lama, dimana Nizamul Muluk dibunuh oleh orang-orang Syiah yang tidak senang dengan dirinya. Iya tewas ditangan pasukan Hasan ibn Sabbah ketika iya melakukan perjalanan dari Isfahan ke Baghdad dalam rangka menyiarkan ajaran Syiah fatimiyah bertepatan dengan usianya yang ke 74 tahun.
Sesuai dengan alur sejarah yang dipaparkan di atas dapat dipahami bawa perselisihan yang terjadi antara pemimpin penguasa Abbasiyah dengan orang Turki Seljuk tidak berlangsung pada masa ini, berdasarkan hal tersebut membuka peluang bagi pemimpin Abbasiyah & Turki Seljuk untuk memajukan peradaban Islam pada ada masa Abbasiyah. Hal ini pernah dilakukan sebelumnya sebagaimana pada periode awal yakni pemimpin Abbasiyah melakukan kerjasama dengan orang Persia. Malahan Pada Fase ini terjadi konflik antar sekte Syiah dengan Abbasiyah sebagaimana kasus- kasus sebelumnya. Seperti terbunuhnya tokoh sunni Nizamul Muluk. Adapun yang menjadi dasar terjadinya pembunuhan terhadap Nizamul Muluk dikarenakan dulu Tughrul Bek dari Turki Saljuk yang berhaluan Sunni mampu menguasai ibu kota Baghdad dan dia menahan penguasa Bani Buwaihi hingga ia tewas dalam penjara.
Dari sudut pandang lain, ada yang beranggapan bahwasannya penyebabnya adalah dikarenakan beliau menganut paham ideologi Asy’ari & bermazhab fiqh Syafii berusaha menyebarluaskan ajaran tersebut di Universitas Nizamiyah, sedangkan penguasa fatimiyah
tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Nizamul Mulk. Dan pada akhirnya Iya tewas ditangan salah seorang dari pasukan Hasan ibn Sabbah yang ingin menyiarkan pemahaman Syi’ah Fatimiyah di Baghdad.
Pada akhir kepemimpinan al-Muktasim (1242-1258) perselisihan Sunni-Syiah masih terus berlanjut. Iya yang menganut paham Sunni ikut serta dalam perselisihan dengan menteri al Alqamy yang menganut Syi’ah. Oleh sebab itu al-Muktasim yang memaksa rakyatnya agar mengikuti aliran sunni membuat al-Alqamy berapi-api dan ia meminta pertolongan Khulagu Khan guna melawan al-Muktasim.
Khulagu Khan datang dengan pasukannya ke Baghdad bertepatan dengan tanggal 10 Februari 1258. Iya menyuruh Khalifah agar menyerukan kepada seluruh lapisan rakyat untuk menyerah. Dan pada saat itu pula terjadi suatu peristiwa yang begitu menegangkan yakni terjadinya pembunuhan secara besar-besaran terhadap rakyat di ibukota Baghdad yang dilakukan oleh Khulagu Khan. Berkisaran antara
1.800.000 jiwa tewas di tangan tentaranya, termasuk Al muktasim & alAlqamy juga tewas pada saat. Dalam tempo satu minggu kota Baghdad pun hancur dan rata dengan tanah. Selain dari kelemahan Khalifah, terdapat faktor internal lain yang melatarbelakangi kemunduran Daulah Abbasiyah, faktor-faktor tersebut memiliki keterkaitan satu dangan yang lain. Adapun faktor-faktor yang dimaksud:
a) Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan;
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan Persia. Kemitraan itu dibujuk oleh takdir yang sebanding dari dua Daulah tersebut selama Bani Umayyah memimpin. Keduanya dianiaya. Sesudah Khalifah Abbasiyah didirikan, Bani Abbas melindungi koalisi. Menurut Ibn Khaldun,
ada dua tujuan di balik pemerintahan Bani Abbas untuk memilih orang Persia dari pada Badui. Pertama-tama, sulit bagi orang Badui untuk gagal mengingat Umayyah. Saat itu mereka adalah penghuni bintanglima (Ras no satu). Kedua orang Badui itu sendiri dipisahkan oleh kehadiran asabiyah (leluhur). Oleh karena itu, Khalifah Abbasiyah tidak dilaksanakan di atas asabiyah konvensional.
Walaupun bagitu, keinginan orang Persia tidak dapat terpenuhi semua. Mereka mendambakan sebuah kerajaan dengan para penguasa dan pekerja dari Persia juga. Kemudian orang- orang Badui menganggab darah yang ada di tubuh mereka darah suci (istimewa) dan mereka memandang rendah golongan 'ajam di dunia Islam. Ortodoksi publik ini tampaknya diizinkan untuk berkembang oleh pembesar pemerintahan. Kemudian, para penguasa mengaktualisasikan pengaturan penaklukan lainnya. Budak Persia atau Turki dijadikan pekerja atau tentara. Al-Mu'tasim (218-227 H) sebagai pemimpin memberi Turki kesempatan luar biasa untuk memasuki otoritas publik.
Mereka didelegasikan untuk menjadi orang-orang terkemuka di pemerintahan, diberi kastil dan rumah di kota. Mereka juga menjadi dominan dan membanjiri tempat mereka tinggal (al-Isy, 2007 , pp. 102-104).
Sesudah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang pemimpin yang tidak berdaya, naik kursi, kekuatan angkatan bersenjata Turki semakin membumi, mereka menentukan pilihan untuk mencari tahu siapa yang ditunjuk sebagai Khalifah. Sejak saat itu otoritas Bani Abbas benar-benar tamat. Angkatan digenggam oleh Turki. kedudukan ini kemudian diambil oleh Bani Buwaih, Persia pada periode ketiga (334-447), dan kemudian dipindahkan ke garis salju,
Turki pada periode keempat (447-590 H).
b) Hadirnya Daulah-Daulah kecil yang memerdekakan diri;
Daerah kekuasaan Abbasiyah dari periode awal hingga keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai negara, misalnya Turki, Maroko, Suriah, Irak, Mesir, Persia, , dan India. Meskipun sebenarnya banyak zona tidak dibatasi oleh Khalifah secara asli, wilayah ini sangat dipengaruhi oleh perwakilan pemimpin yang dikendalikan. Ikatan dengan pemimpin hanya ditandai dengan penyetoran upeti.
Bisa dibayangkan bahwa pemimpin Bani Abbas sangat senang dengan pengakuan yang nyata dan penyetoran upeti. Alasannya bahwa para pemimpin tidak cukup mampu untuk menundukan mereka, tingkat keyakinan bersama di antara para penguasa dan kepala otoritas publik begitu minim dan lebih jauh lagi para penguasa Abbasiyah lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan budaya di samping masalah-masalah pemerintahan dan perluasan wilayah. Selain itu, motivasi utama di balik mengapa banyak kabupaten menjadi otonom adalah terjadinya perselisihan atau pertempuran kekuatan di pemerintahan pusat yang dilancarkan oleh Persia dan Turki. Dampaknya, daerah-daerah tertentu di perbatasan lepas dari tangan penguasa Bani Abbas seperti Thahiriyyah di Khurasan, Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani, Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko, dan Yang mengaku sebagai Khalifah: Umuwiyah di Spanyol dan Fatimiyyah di Mesir.
c) Kemerosotan perekonomian Pada periode awal,
Bani Abbas adalah pemerintahan yang kaya. Pemasukan uang lebih banyak dari pada yang dipakai, jadi Baitul Mal penuh dengan kelimpahan. Perekonomian rakyat mengalami kemajuan, khususnya di bidang pertanian, jual beli dan industri. Namun
demikian, setelah mengalami penurunan politik, perekonomian juga mengalami penurunan yang luar biasa. Sesudah khalifah memasuki masa keruntuhan ini, penghasilan negara berkurang sementara konsumsi meningkat lebih banyak.
Penurunan penghasilan negara diakibatkan oleh menyempitnya daerah intensitas, kegaduhan timbul dimana- mana sehingga berdampak pada perekonomian rakyat, dipersedikitnya pungutan dari masyarakat dan banyaknya kerajaan- kerajaan kecil yang memproklamirkan kemerdekaannya sendiri dan tidak mau mebayar upeti. Sementara itu, penggunaan yang begitu banyak hal ini dikarenakan keberadaan khalifah dan otoritas yang selalu bermegah-megahan. Jenis penggunaan semakin berbeda dan beraneka ragam dan otoritas menjadi buruk yakni banyaknya pejabat yang korupsi. Perekonomian yang tidak teratur diakibatkan oleh keadaan politik yang tidak stabil. Begitupun sebaliknya, melemahnya politik Abbasiyah diakibatkan oleh kondisi ekonomi yang buruk dan tidak teratur. Kedua hal tersebut memiliki keterkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
d) Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme keagamaan;
Ketidak capaian keinginan Persia untuk menjadi penguasa yang maksimal, akhirnya menimbulkan rasa kekesalan yang kemudian memotivasi sebagaian diantara mereka untuk menyiarkan pemahaman Mazdakisme Manuisme, dan Zoroasterisme. Gerakan ini dikenal dengan gerakan zindiq, dengan adanya gerakan ini keyakinan para khalifah mulai tergoyahkan. Perjuangan keras yang dilakukan Khalifah Al Mansur untuk melenyapkan pasukan zindiq, tidak sebatas itu saja Beliau juga membantai khawarij yang menegakkan Negara Shafriyah di
Sajalmasah pada tahun 140 H. Al-Mahdi yang menggantikan posisi ayahnya (al-Manshur) sebagai khalifah berikutnya. Iapun melajutkan misi ayahnya untuk memberantas orang-orang zindik. Selain itu Ia juga melakukan mihnah guna menghilangkan bid’ah.
Namun semua itu tak bisa menghentilkan gerakan mereka. Perselisihan diantara orang beriman dengan pasukan zindik terus berlangsung hingga sampai terjadi pertumpahan darah antara kedua golongan.
2. Faktor Eksternal
Oleh ahli sejarah mengklasifikasikan mejadi dua faktor ekternal yang mengikabtkan kemunduran Daulah Abbasiyah, yakni adanya perang salib & adanya penyerangan yang dilakukan bangsa Mongol
a) Perang Salib
Pemusnahan angkatan bersenjata Romawi menanam benih penghinaan dan kebencian Kristen terhadap Muslim. Kebencian ini bertambah sehabis Daulah Seljuk yang mengambil alih Baitul Maqdis merealisasikan beberapa pedoman yang dirasa sangat berat bagi umat Kristiani yang perlu melakukan perjalanan kesana. Pada tahun 1095, Paus Urbanus II memerintahkan pada semua lapisan umat Kristen Eropa untuk mengadakn perang suci, perang ini dikenal dengan Perang Salib. Pertempuran ini banyak menelan korban dan meraka berhasil mangusai sebahagian wilayah kekuasaan Islam. Setalah perang ini usai (1097-1124 M) mereka mampu menduduki wilayah Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.
b) Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan berakhirnya Daulah
Abbasiyah
Awalnya orang-orang Mogolia merupakan suku-suku kecil
yang kemudian dirangkul oleh Jengis Khan. Mereka berasal dari Asia Tengah. Wilayah pelosok di China. Orang-orang Mongolia mengambil alih wilayah-wilayah Asia Tengah khurasan dan Persia serta menguasai Asia Kecil, ini merupakan awal dari runtuhnya Baghdad dan pemimpin Islam. Terdapat seuatu altimatum yang dikirim oleh Hulagu Khan kepada Khalifah untuk mundur dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Namun khalifah mengabaikan begitu saja hal tersebut. Sehingga pada tahun 1258, Hulagu Khan merobohkan tembok ibu kota. Disamping itu Al- Mu’tashim tunduk dan berangkat ke base pasukan Mongolia.
Kemudian para fuqaha dan penguasa keluar, berselang sepuluh hari merekapun dibunuh. Kota Baghdad hancur dan dibumihanguskan. Pembunuhan dan pembantain dilakukan kurang lebih selama 40 hari. Khalifah Al-Mu’tashim terbunuh & hal ini menandai akhir dari Daulah Abbasiyah.
BAB III KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan-pemaparan sebelumnya dalam pembahasan ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdirinya Daulah Abbasiyah sendiri tidak lepas dari runtuhnya Daulah Umayyah. Daulah Umayyah runtuh akibat permasalahan internal, yaitu tidak mapannya para khalifah dalam memimpin Daulah Umayyah. Khalifah pada masa akhir Daulah Umayyah hanya mementingkan kehidupan dunia tanpa memikirkanaturan agama. Hal ini menimbulkan kemarahan publik sehingga hal inipundimanfaatkan oleh keturunan Bani Abbas untuk menarik simpati masyarakat dengan cara bergabung dengan kelompok pendukung Ali dan membesarkan nama mereka dengan menyatakan sebagai pembela Nabi dan agama. Dengan usaha ini pada akhirnya Daulah Umayyah dapat diruntuhkan dan berdirilah Daulah Abbasiyah.
2. Masa kejayaan Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809 M.). Ilmu pengetahuan begitu berkembang, apalagi dengan gerakan penerjemahan naskah-naskah Yunani. Hal inipun pada akhirnya melahirkan para ulama-ulama handal, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina. Selain itu dibangun pula perpustakaan Baitul Hikmah pada masa Abu Ja’far Al-Manshur sehingga ilmu pengetahuan berkembang pesat seperti filsafat, matematika dan sastra. Selain itu masih banyak lagi ilmu yang berkembang pada masa tersebut sehingga zaman ini disebut sebagai “ The Golden Age”.
3. Bahwasannya penyebab stagnasi kebudayaan Islam pada pemerintahan Daulah Abbasiyah karena kekuasan dikendalikan oleh para pemimpin yang lemah & tak berdaya. Di genggaman tangan para penguasa yang tak berdaya posisi politik sentral tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, ekonomi tidak bisa berkembang dan meraka juga tidak mampu mengatasi perselisihan Sunni Syi’ah dan konflik-konflik lainnya yang kemudian menimbulkan konflik berkepanjangan.Walaupun ada yang meranggapan banyak yang menjadi sebab-musabab dari kemunduran Daulah Abbasiyah, seperti kekuasaan yang begitu luas, atau karena minimnya anggaran belanja negara, namun yang paling berpengaruh disebabkan oleh diangkatnya pemimpin-pemimpin yang lemah dan tidak berdaya serta banyaknya konflik-konflik yang terjadi. Semua yang menjadi sebab-musabab kemunduran akan menjadi hilang dan sirna apabila pemimpin yang dibaiat merupakan orang yang tangguh dan mampu menjalankan semua tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA
v Iqbal , Peranan Daulah Abbasiyah Terhadap Peradaban Dunia , Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, IAIN Palangka Raya, Volume 11, Nomor 2, Desember 2015
v Nuril Fathiha, Peradaban Islam Masa Daulah Abbasiyah (Periode Kemunduran), Istoria: Jurnal Pendidikan dan Sejarah, Volume 17, No 1, Maret 2021
v Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Bangkit Dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah, Pustaķa Al-Kautsar-2000
0 comments:
Posting Komentar