FINAL TEST
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
SKS / Prodi : 3/S2 Hukum Keluarga Islam
Hari/Tanggal : Sabtu, 25 Desember 2021
Waktu Kuliah : Pukul 10.15-13.15 Wita
Dosen Pengasuh : Dr. Fatrawati Kumari, M.Hum.
Semester : Ganjil 2021-2022
Nama Mahasiswa : Marzuki Na’ma
NIM : 210211050114
1. Inti Persamaan Pemikiran Suhrawardi, Al- Kindi, Ibnu Thufail dan Ibnu Sina terletak pada Allah itu Haq, kekal dan maha kuasa. Tetapi untuk perbedaannya hanya terletak pada isi kandungan dalil yang mana akan di uraikan dibawah ini.
a. Ibnu Sina dan Suhrawardi
Persamaan :
1. Prinsip proses pelimpahan Akal-Akal pengikut peripatetik dan Suhrawardi berlangsung menurun, dari posisi yang tertinggi menuju ke posisi yang rendah.
2. Wajibul wujud mesti satu Dia adalah Nur Al-anwar, Nur Al-mujarrod, tidak mungkin ada sekutu bagi-Nya.
3. Dalam sistem yang dipakai dalam teori dari keduanya; posisi Nur Al-aqrob alam pemikiran falsafi Suhrawardi setara dengan posisi Wajib Al-wujud li ghoirihi dan Mumkin Al-wujud li dzatihi dalam sistem emanasi Ibnu sina.
4. Keduanya mengakui adanya Tuhan dengan menggunakan istilah yang berbeda.
5. Ruh/jiwa adalah unit/makhluk tersendiri, memiliki wujud tersendiri pula, dan sebenarnya memiliki alam tersendiri pula.
Perbedaan :
1. Pada proses emanasi peripatetik, kemunculan Akal-Akal terhenti pada akal kesepuluh sedangkan pada proses pancaran Suhrawardi kemunculan Akal-Akal terus berlangsung hingga menghasilkan pancaran yang sangat banyak.
2. Dalam proses emanasi filsuf muslim, terjadinya dunia berasal dari Akal bulan, karena mereka mengikuti sistem kosmologi ptolemi, sementara dalam sistem pancaran Suhrawardi, dunia yang terindera timbul akibat dari meredupnya dunia cahaya dan berubah menjadi dunia materi, dunia kegelapan.
3. Konsep emanasi Ibnu Sina menggunakan kata Akal yang selalu berpikir tentang diri-Nya untuk menyebut Tuhan, sedangkan Akal dalam teori iluminasi Suhrawardi digantikan dengan istilah cahaya, Nur Al-anwar yang merupakan sumber dari segala sumber yang ada.
4. Kaum iluminasionis yang diwakili oleh Suhrawardi biasa dipandang sebagai pengikut Plato, sementara kaum peripatetik yang diwakili oleh Ibnu Sina biasa dipandang sebagai pengikut Aristoteles.
5. Kaum Iluminasionis manganggap deduksi dan pemikiran rasional tidak cukup untuk studi filsafat, terutama yang menyangkut kebijaksanaan ilahiyya (Hikmah Muta’aliyyah) , jalan hati, asketisme, penyucian jiwa harus dijalani jika seseorang ingin menyingkapkan realitas batin, sementara itu kaum peripatetik menyandarkan diri pada deduksi.
6. Ruh/jiwa menurut Ibnu Sina, terdapat hubungan kausalitas antara ruh/jiwa dan tubuh, artinya ruh adalah unit tersendiri dari badan dan keduanya saling merespons dalam keberadaannya.
7. Ruh/jiwa menurut Suhrawardi sebagai sesuatu (makhluk) yang terbelenggu dalam tubuh atau badan dan berusaha untuk memisahkan diri untuk kembali ke alamnya sendiri (malakut).
b. Al-Kindi
Tuhan menurut Al-Kindi adalah wujud yang haq (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karenanya Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya.
Untuk membuktikan wujud Tuhan ia menggunakan tiga jalan, yaitu :1) Barunya alam; 2) Keanekaragaman dalam wujud; dan 3) Kerapian alam.
Penggunaan konsep bahwa alam ini baru sebagai dalil adanya Allah telah dikenal dalam kalangan Mutakallimin sebelum Al-Kindi. Perbedaannya hanya terletak pada isi kandungan dalil tersebut tidak pada dasarnya ejaannya. Menurut Al-Kindi bahwa segala sesuatu dalam alam ini dengan sendirinya ada yang mendahului. Dengan demikian alam ini ada sebab bagi adanya. Hal ini berarti alam ini ada permulaannya baik dari segi gerak maupun dari segi zaman. Dari segi gerak, karena gerak pada wataknya mengikut jisim karena tidak mungkin adanya gerak jika tidak ada jisim yang bergerak. Dengan demikian gerak juga baru dan ada titik awalnya. Sedangkan dari segi zaman, karena zaman adalah ukuran gerak dan juga baru seperti gerak. Jadi jisim, gerak dan zaman tidak dapat saling mendahului dalam wujud dan semuanya itu ada secara bersamaan. Ini berarti alam ini baru dan karena itu ada penciptanya.
c. Ibnu Thufail
Tuhan adalah penyebab awal dari segala penyebab. Ia Maha Kuasa, Maha Mengetahui terhadap perbuatan-Nya, serta Maha Bebas dalam segala kehendak-Nya. Tuhan adalah pemberi wujud kepada semua mahluk. Tetapi Ia tidak mungkin dirasai dan dikhayalkan, karena khayalan hanya mungkin mengenai hal-hal indrawi. Ia adalah keseragaman dan keanekaragaman dan kekuatan yang tersembunyi dan yang ganjil, suci dan tidak trelihat. Dialah “Sebab Pertama” atom “Pencipta Dunia”
Menurut Ibnu Thufail, alam dan Tuhan sama-sama kekal. Tetapi Ia juga membedakan kekekalan dalam essensi dan kekekalan dalam waktu. Ibnu Thufail percaya bahwa Tuhan ada sebelum adanya alam dalam hal essensi, tetapi tidak dalam hal waktu. Alam bukanlah sesuatu yang lain dari Tuhan, dan sebagai penampakan diri dari essensi Tuhan. Karena itu alam tidak akan hancur pada hari penentuan. Kehancuran alam berupa keberalihan kepada pihak lain, dan bukan merupakan kehancuran sepenuhnya. Alam terus berlangsung dalam suatu bentuk lain. Alam juga bersifat qadim, karena tidak mungkin alam diciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Ibnu Thufail berpendapat bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal. Dia mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia itu bukanlah sesuatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya, yang sifat esensinya merupakan penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh Al-Ghazali, Ibnu Thufail memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari Penentu. Kehancuran berupa keberalihannya menjadi bentuk lain bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti berlangsung dari satu bentuk kebentuk lain, sebab kehancurannya tidak sesuai dengan keberadaan mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan peringatan dan pengejawantahan kekal. Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam waktu dan bahwa Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu.
2. Inti Perbedaan pemikiran Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd
2.1. Alam Kadim
Menurut keyakinan Al-Ghazali dan teolog muslim, alam diciptakan oleh Allah dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada (al-ijad min al-adam, creatio xe nihilo). Penciptaan dari tiada menjadi adalah yang menunjukkan adanya pencipta. Karena yang ada dengan sendirinya tidak memerlukan pencipta. Karena argumen itulah alam harus diciptakan oleh pencipta dari tiada menjadi ada. Sedangkan, menurut filosof muslim, alam adalah sesuatu yang qadim dalam artian alam ini diciptakan dari sesuatu yang sudah ada. Menurut pandangan Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah salah memahami pemikiran filosof muslim yang lain, Ibnu Rusyd berpandangan bahwa tidak ada seorangpun filosof muslim yang berpandangan bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah sebagai pencipta, akan tetapi yang mereka maksud adalah yang berubah menjadi ada dalam bentuk lain dan qadim dalam artian tidak didahului oleh zaman atau waktu. Dalam mengartikan Qadim juga terdapat perbedaan antara teolog muslim dan filosof muslim. Menurut teolog muslim qadim berarti sesuatu yang ada tanpa sebab dan tanpa pencipta, sedangkan menurut filosof muslim, qadim berarti sesuatu yang kejadiannya tidak didahului oleh waktu.
Dalam Fashl al-Maqäl, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara teolog muslim dan Filosof muslim tentang qadimnya alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik. Lebih lanjut dikatakannya, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:
a. Jenis pertama, wujudnya ada karena berasal dari sesuatu yang lain, ada penciptanya dan dari meteri tertentu. Wujud ini didahului oleh zaman. Jenis pertama ini adalah sesuatu yang dapat dirasakan dan diketahui dengan indra manusia seperti air, udara, tumbuh-tumbuhan, bumi, hewan dan lain sebagainya. Wujud ini semuanya sepakat disebut sebagai hal baru atau muhdastah.
b. Jenis kedua adalah jenis yang berlawanan dengan jenis pertama, yaitu wujudnya tidak karena sesuatu dan tidak dari sesuatu, wujudnya tidak didahului oleh zaman. Wujud ini hanya dapat diketahui dengan proses berfikir dan tidak dapat diindera oleh manusia. Ia adalah yang menciptakan segala sesuatu dan memeliharanya. Wujud ini disebut sebagai qadim, dan wujud qadim ini adalah Allah.
c. Wujud ketiga adalah wujud yang berada diantara wujud pertama dan kedua yang telah dijelaskan diatas. Dalam satu sisi wujud ini tidak didahului oleh waktu atau zaman namun disisi lain, wujud ini ada karena diciptakan oleh sang pencipta. Wujud dalam kategori ini adalah alam semesta. Alam semesta mempunyai kesamaan dengan jenis pertama dalam hal wujud dan bentuknya dapat kita ketahuai dengan indera, dapat kita lihat dan dapat kita rasakan. Sedangkan kesamaan dengan jenis kedua jika dilihat dari sisi bahwa wujud ini tidak didahului oleh waktu atau zaman. Oleh karena terdapat perbedaan dalam memandang jenis ketiga ini, apakah dia masuk ke dalam kategori pertama atau masuk dalam kategori kedua. Bagi yang mengutamakan kemiripannya dengan yang kedua karena tidak didahului oleh waktu, maka golongan ini akan mengatakan bahwa alam ini qadim. Kelompok yang lebih mengutamakan kemiripannya dengan yang pertama karena bisa diindera maka kelompok ini akan mengatakan bahwa alam ini adalah baharu. Menurut Ibnu Rusyd alam ini tidak benar-benar baharu dan tidak benar-benar qadim. Karena yang qadim, adanya tanpa sebab dan tidak diciptakan dan bahkan dialah yang akan menciptakan dan yang baharu pasti didahului oleh zaman10.
2.2. Allah Tidak Mengetahi Perincian (parsial) yang Terjadi
Dalam kitabnya Tahafaut al-Falasifah, Al-Ghazali berpendapat bahwa filosof muslim beranggapan bahwa Allah tidak mempunyai pengetahuan tentang sesuatu yang juzi’yyat atau sesuatu yang parsial di alam ini. Menurut Ibnu Rusyd pemahaman Al-Ghazali tentang pemikiran filosof muslim tidak benar dan salah serta tidak sesuai dengan apa yang dipahami oleh filosof muslim. Ibnu Rusyd menegaskan bahwa filosof muslim tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Al-Ghazali. Pemahaman filosof muslim tentang pengetahuan Allah adalah pengetahuan Allah tentang hal juzi’yyat atau parsial ini berbeda dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah adalah pengetahuan yang bersifat qadim, Allah mengetahuai segala seuatu di alam ini sekecil apapun yang terjadi. Pengetahuan manusia terhadap sesuai ini merupakan akibat sedangklan pengetahuan Allah berbentuk sebab. Bahkan menurut Ibnu Rusyd pengetahuan Allah ini tidak bisa disamakan atau dikatakan dengan pengentahuan parsial dan pengetahuan universal. Dalam artian Juz’i adalah yang ada di alam yang berbentuk materi dan hanya dapat ditangkap dengan indera. Sedangkan pengetahuan kully sifatnya abstrak dan hanya dapat diketahui dengan rasio dan akal.
2.3. Kebangkitan Jasmani di Akhirat.
Permasalahan ketiga dimana Al-Ghazali mengkafirkan filosof muslim adalah terkait kebangkitan manusia di akhirat nanti. Al-Ghazali beranggapan bahwa para filosof meyakini tidak ada kebangkitan jasmani di akhirat kelak. Ibnu Rusyd berpendapat ahwa sikap Al-Ghazali yang mengatakan bahwa filosof muslim telah kafir karena beranggapan seperti itu tidaklah tepat. Karena persoalan kebangkitan manusia di akhirat nanti sejak zaman dahulu memang diperselisihkan oleh para ulama dan ulama belum bersepakat terkait hal tersebut. Oleh karena itu, ulama atau filosof yang berusaha menjawab dan berijtihad dalam persoalan tersebut dan kemudian salah saat berijtihad maka ulama dan filosof tersebut harus dimaafkan. Bahkan agama islam mengajarkan bahwa apabila seseorang benar-benar berijtihad kemudian salah, maka orang tersebut tetap mendapatkan satu kebaikan atau pahala. Sebaliknya, jika ijtihad ulama dan filosof tersebut benar, maka harus dihormati dan menurut ajaran agama islam dia akan mendapatkan 2 pahala atau kebaikan. Menurut Ibnu Rusyd yang harus dikafirkan adalah golongan yang mengingkari adanya kebangkitan manusia di akhirat nanti dan berkeyakinan tidak ada kehidupan setelah kematian. Sedangkan perbedaan pendapat tentang kondisi manusia ketika bangkit, apakah yang dibagkitkan jasmaninya atau rohaninya tidak layak untuk dikafirkan.
3. Tentang hubungan Ilmu dan Nilai serta keterkaitan dengan hubungan Nilai dan Agama.
a. Maksudnya adalah
Ilmu dan nilai adalah dua kata yang memiliki makna berbeda namun sebenarnya kedua makna kata tersebut saling melengkapi dan berhubungan erat dengan kepribadian seseorang. Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah nilai. Ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa "bumi yang berputar mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan nilai (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama.
Agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengamati alam dan menggunakan akal. Yang mana kedua hal ini merupakan landasan untuk membangun ilmu pengetahuan modern. Perintah mengamati berbagai fenomena alam menuntun manusia untuk berpikir secara empiris. Dan penggunaan akal sebagai dasar dalam berpikir secara rasional. Apabila ilmu dan agama dipisahkan maka akan terjadi malapetaka seperti teknologi nuklir yang digunakan sebagai senjata perang; penggunaan bahan bakar minyak yang tidak terkendali; sistem yang tidak memanusiakan manusia; dimana nantinya akan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri.
Antara Ilmu dan nilai serta hubungannya dengan agama sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran. Dari aspek sumber, filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama, yaitu akal atau rasio. Karena akal manusia terbatas, yang tak mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka kebenaran filsafat dan ilmu dianggap relatif, nisbi. Sementara agama bersumber dari wahyu, yang kebenarannya dianggap absolut, mutlak·. Dari aspek objek, filsafat memiliki objek kajian yang lebih luas dari ilmu. Jika ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia), maka filsafat menjangkau wilayah bail fisik maupun yang metafisik (Tuhan, alam dan manusia). Tetapi jangkauan wilayah metafisik filsafat (sesuai wataknya yang rasional-spikulatif) membuatnya tidak bisa disebut absolut kebenarannya. Sementara agama (baca: agama wahyu) dengan ajaran-ajarannya yang terkandung dalam kitab suci Tuhan, diyakini sebagai memiliki kebenaran mutlak. Agama dimulai dari percaya (iman), sementara filsafat dan ilmu dimulai dari keraguan. Ilmu, filsafat dan agama memiliki keterkaitan dan saling menunjang bagi manusia. Keterkaitan itu terletak pada tiga potensi utama yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, yaitu akal, budi dan rasa serta keyakinan.
b. Letak aksiologi ungkapan diatas.
Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik antara ilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi ke manipulasi” .
Pengaruh nilai aksiologi Ilmu dan Nilai serta hubungannya dengan agama yaitu sangat berdampak pada kehidupan sehari hari adalah dari dampak positifnya, yaitu berusaha keras untuk meraih kehidupan yang lebih baik yang mana bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai dalam mewujudkan manusia menjadi orang yang berpikir dengan ilmu tanpa melewati batasan agama.
c. Urgensi mengkaji aksiologi bagi ilmu pengetahuan saat ini
Dalam perspektif sosiologi, manusia disebut sebagai makhluk sosial. Ia tidak bisa hidup sempurna tanpa berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Untuk mempermudah mereka berinteraksi, maka diperlukan pengalaman dan pengetahuan yang memadai. Di sinilah peran ilmu menjadi penting bagi kehidupan masyarakat, yaitu dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Bila ditelusuri lebih jauh, secara jujur harus diakui bahwa ilmu pengetahuan telah bagitu banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Namun secara umum manfaat tersebut dapat dibagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu manfaat praktis dan manfaat akademis.
Secara praktis, manfaat ilmu pengetahuan adalah dapat mendatangkan/ memberikan kemaslahatan dan memberikan sejumlah kemudahan bagi kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, politik, transportasi, agama dan lain-lain. Di sisi lain dapat mendorong masyarakat mencapai tingkat kemajuan peradaban yang tinggi. Kemajuan yang dicapai manusia dalam bidang peradaban merupakan manfaat nyata yang diperoleh masyarakat. Manfaat praktis lainnya adalah adanya perubahan gaya hidup dan pola pikir masyarakat dari gaya hidup konvensional menuju gaya hidup yang lebih terbuka dan modern.
Secara akademis dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam batasan nilai ontologis. Dalam paradigma ontologi dapat mendorong terbentuknya wawasan spiritual keilmuan yang mampu mengatasi bahaya sekularisme terhadap ilmu pengetahuan.
Di sisi lain dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam batasan etimologis, yaitu mampu mendorong perkembangan wawasan intelektual keilmuan yang mampu membentuk sikap ilmiah yang berorientasi pada kebenaran hakiki. Begitu juga ia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang bernilai etis, yaitu dapat mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakat, seperti terbinanya pribadi atau masyarakat yang bermoral dan bertanggung jawab.
0 comments:
Posting Komentar