Perbadingan Wasiat Wajibah di Indonesia dan Mesir
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Waris di Indonesia dan Beberapa Negara
Dosen Pengampu
Prof. Dr. H. M. Fahmi Al Amruzi, M.Hum Dr. H. Sukris Sarmadi, SH., MH.
Disusun oleh Ishlah Farid
NIM. 210211050112
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
PASCASARJANA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
TAHUN 2021/2022 M
A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, pada tahun 2021 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 272,23 juta jiwa dan sebanyak 236,53 juta jiwa (86,88%) beragama Islam.1 Oleh karena itu negara Indonesia tidak bisa lepas dari ajaran Islam, hal ini bisa dilihat dari Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan juga Kompilasi Hukum Islam. Selain Indonesia, negara yang menerapkan ajaran hukum Islam adalah negara-negara yang berada di Timur Tengah, termasuk Mesir.
Negara Mesir memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah perkembangan Islam. Karakter agama Islam mempunyai peranan khusus di Mesir, terutama pada kehidupan dan perkembangan gerakan nasional Mesir.2 Selain itu, Mesir juga dikenal sebagai negara Timur Tengah pertama yang melakukan reformasi dalam hukum keluarga, hal ini berawal ketika para reformis menyadari bahwa prinsip-prinsip hukum keluarga yang terdapat pada mazhab tertentu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat Mesir. Untuk itu, pada tahun 1915 dibentuklah sebuah panitia yang dipimpin oleh Rektor Universitas al-Azhar, Syaikh al-Maraghi, untuk mereformasi hukum keluarga di Mesir. Pada 1920, hukum keluarga pertama berlaku di Mesir. Antara tahun 1920-1952 telah terjadi perubahan penting dalam prinsip-prinsip hukum keluarga dengan lahirnya beberapa undang-undang,3 salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1946 tentang Wasiat.
Wasiat mempunyai arti sebagai pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.4 Dalam wasiat, dikenal juga wasiat yang diwajibkan atau disebut wasiat wajibah.
Wasiat wajibah pertama kali muncul di Mesir melalui Undang-Undang Hukum Waris tahun 1946 untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yang tidak memperoleh hak
1https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/30/sebanyak-8688-penduduk-indonesia-beragama-
islam#:~:text=Persentase%20Pemeluk%20Agama%2FKepercayaan%20di%20Indonesia%20(Juni%202021)&te xt=Berdasarkan%20data%20Direktorat%20Jenderal%20Kependudukan,86%2C88%25)%20beragama%20Isla. 2 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 34-35.
3 Khoiruddin Nasution, Pengantar Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: Academia + Tazaffa, 2010) hlm. 33.
4 Pasal 171 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
warisnya.5 Dalam Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawi al-arham atau terhijab oleh ahli waris lain.6 Wasiat wajibah dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang wajib kepada cucu yang terhalang menerima warisan karena ibu atau bapaknya meninggal terlebih dahulu sebelum kakek atau neneknya meninggal. Cucu tidak mendapat warisan jika bersama anak laki-laki, dan kedudukan cucu disini adalah sebagai zawi al-arham. Supaya ia memperoleh harta peninggalan kakeknya, maka ditempuhlah jalan wasiat wajibah.7
Berbeda dengan Mesir, Indonesia dalam penentuan siapa yang berhak menerima wasiat wajibah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)8, yang berhak menerimanya yakni orang tua angkat dan anak angkat, sedangkan cucu termasuk dalam ahli waris pengganti, di sinilah penulis tertarik untuk membahas mengapa adanya perbedaan penerapan konsep wasiat wajibah di Indonesia dan Mesir.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa wasiat wajibah di Indonesia diperuntukkan kepada orang tua angkat dan anak angkat sedangkan wasiat wajibah di Mesir diperuntukkan kepada cucu?
2. Apa persamaan serta perbedaan antara wasiat wajibah di Indonesia dan Mesir?
5 Fahmi Al Amruzi, Rekontruksi Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), h. 77.
6 Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’i, Hazairin dan KHI (Pontianak: Romeo Grafika, 2006), h. 98.
7 Anshary, Hukum Waris Islam Dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2013), h. 87.
8 Kompilasi Hukum Islam selanjutnya ditulis dengan KHI.
BAB II PEMBAHASAN
A. Wasiat dan Wasiat Wajibah di Indonesia dan Mesir
1. Wasiat
Wasiat berasal dari bahasa arab yakni al-washiyah, yang berarti perintah, pesan dan nasihat. Para Ulama fikih mengartikan wasiat dengan penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut meninggal atau wafat, baik harta berbentuk materi maupun harta berbentuk manfaat.9
Menurut para ahli fiqih, wasiat ialah pemberian hak milik secara secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa berupa barang, piutang atau manfaat. Sedangkan pengertian wasiat dalam KHI adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.10
Dasar Hukum wasiat terdapat pada Surah Al-Baqarah ayat 180:
´ح قا ع´ل´ى ال˚ ˚مت ¸ق ´˚ي
¸ِبل˚ ´م ˚ع˚ر˚و ¸ف
d tال´˚و ¸صي ة˚ ل¸ل´˚وال´¸دي˚ ¸ن ´وا˚ْل´ق´.˚رب´˚¸ي ´خ˝˚ْيا
´ح ´ض´ر ا´ ´ح ´د ˚ك ˚م ال˚ ´م ˚و ˚ت ا¸ ˚ن ت´.´ر´ك
´عل˚´ي ˚ك ˚م ا´¸ذا
˚كت¸ ´ب
Orang yang berwasiat sesuai Pasal 194 ayat (1) KHI disyaratkan telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan wasiat tersebut harus dibuat tanpa ada paksaan dari orang lain.
Berdasarkan Pasal 171 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang dapat menerima wasiat adalah orang atau lembaga. Ada beberapa pengecualian mengenai penerima wasiat, yaitu:
a. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris (Pasal 195 ayat 3 KHI);
b. Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya (Pasal 207 KHI).
c. Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut (Pasal 208 KHI). Batasan wasiat adalah maksimal 1/3, boleh kurang namun tidak boleh lebih dari 1/3,
serta tidak boleh melebihi jumlah ahli waris yang setara/sederajat dengannya.
9 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1926.
10 Adnan Qohar, A. Choiri, M. Muslih, Hukum Kewarisan Islam, Keadilan dan Metode Praktis Penyelesaiannya (Yogyakarta: Pustaka Biru, 2011), h.63.
2. Wasiat Wajibah di Indonesia
a. Dasar Hukum Wasiat Wajibah di Indonesia
Wasiat wajibah di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Persoalan tentang wasiat wajibah berada diantara wasiat dan warisan. Dikatakan demikian karena pewaris tidak pernah secara ekplisit mewasiatkan kepada siapa sebagian dari harta warisannya harus diserahkan, akan tetapi ada pihak tertentu yang mendapat bagian dari harta peninggalan pewaris, sekalipun ia bukan berkedudukan sebagai ahli waris. Wasiat wajibah pada dasarnya tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik dan baru muncul dalam kitab-kitab fikih kontemporer. Peraturan wasiat wajibah muncul pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Mesir yang menetapkan cucu yang terhijab anak laki-laki yang tidak berhak mendapatkan harta warisan melalui proses hukum waris.11
KHI mengatur wasiat wajibah bukan untuk cucu yang terhijab anak laki-laki seperti yang berlaku di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir, namun ditujukan kepada anak angkat dan orang tua angkat. Hal ini dikarenakan Indonesia sendiri menempatkan cucu sebagai ahli waris pengganti. Wasiat wajibah di Indonesia yang ditujukan kepada anak angkat dan orang tua angkat sebagai persoalan baru yang muncul dalam beberapa kasus dalam keluarga di Indonesia.
Di Indonesia wasiat wajibah diatur dalam Pasal 209 KHI yang berbunyi:
1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
b. Orang yang Berhak Mendapatkan Wasiat wajibah di Indonesia
Berdasarkan KHI, yang berhak menerima wasiat wajibah adalah orang tua angkat dan anak angkat.12
c. Besaran Wasiat wajibah di Indonesia
Bagian untuk penerima wasiat wajibah di Indonesia diatur dalam KHI yaitu sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta peninggalan.13
11 Fahmi Al Amruzi, Rekontruksi Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam, h. 129.
12 Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
13 Ibid.
3. Wasiat Wajibah di Mesir
a. Dasar Wasiat Wajibah di Mesir
Peraturan tentang wasiat wajibah di Mesir diatur dalam Qanun al-Wasiyah Raqm 71 Li Sanah 1946 Pasal 76 sampai dengan pasal 79.
Adapun kandungan pokok dari Undang-Undang Wasiat Wajibah Mesir Nomor 71 tahun 1946 tersebut adalah sebagai berikut:
1) Apabila mayit tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak laki-lakinya yang telah mati diwaktu dia asih hidup atau mati bersamanya sekalipun secara hukum, warisan dari peninggalannya seperti bagian yang berhak diterima oleh si anak laki-laki ini seandainya anak laki-laki ini hidup di waktu ayahnya mati. Maka wajiblah wasiat wajibah untuk keturunan anak laki-laki ini dalam peninggalan harta ayahnya menurut bagian anak laki-laki ini dalam batas-batas sepertiga; dengan syarat keturunan dari anak laki-laki ini bukan pewaris dan si mayit tidak pernah memberikan kepadanya tanpa imbalan melalui tindakan lain apa yang wajib diberikan kepadanya. Dan bila apa yang diberikan kepadanya itu kurang dari bagiannya maka wajiblah baginya wasiat dengan kadar yang menyempurna-kannya. Wasiat demikian diberikan kepada golongan tingkat pertama dari anak-anak laki-laki dari anak-anak perempuan dan kepada anak laki-laki dari anak-anak laki-laki dari garis laki-laki dan seterusnya ke bawah;dengan syarat setiap pokok (yang menurunkan) menghijab cabang (keturunannya) bukan menghijab cabang pokok yang lain dan bagian setiap pokok dibagikan kepada cabangnya. Dan bila pembagian warisan itu turun ke bawah seperti halnya kalau pokok atau pokok-pokok mereka yang sampai kepada si mayyit itu ati sesudah si mayyit dan kematian mereka (pokok-pokok) dalam keadaan tertib seperti tertibnya tingkat-tingkat.
2) Apabila mayit mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dengan wasiat yang melebihi bagiannya maka kelebihan wasiat itu merupakan wasiat ikhtiyariyyah. Dan bila ia mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang kurang dari bagiannya maka wajib disempurna-kan. Bila ia mewasiatkan kepada sebagian orang yang wajib diwasiati dan tidak kepada sebagian yang lain maka orang yang tidak mendapatkan wasiat itu wajib diberi kadar bagiannya. Orang yang tidak diberi wasiat wajibah dikurangi bagiannya dan dipenuhi bagiano-rang yang mendapat wasiat yang kurang dari apa yang diwajibkan dari sisanya sepertiga. Bila hartanya kurang maka diambilkan dari bagan
orang yang tidak men-dapat wasiat wajibah dan dari orang yang mendapat wasiat ikhtiyariyyah.
3) Wasiat wajibah didahulukan atas wasiat-wasiat yang lain. Bila mayit tidak mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dan dia mewasiatkan kepada orang lain maka orang yang wajib diberi wasiat wajibah itu mengambil kadar bagiannya dari sisa dari sepertiga harta peninggalan bila sisa itu cukup; bila tidak maka dari sepertiga dari bagian yang diwasiatkan bukan dengan wasiat wajibah.14
b. Orang yang Berhak Mendapatkan Wasiat Wajibah di Mesir
Pendapat Jumhur Ulama menyatakan bahwa mewasiatkan sebagian harta benda kepada seseorang keluarga dekat maupun jauh, tidak diwajibkan oleh syariat, kecuali bagi orang yang mempunyai tanggungan hak dengan orang lain yang tidak dapat diketahui selain oleh dia sendiri atau mempunyai amanat-amanat yang tidak diketahui orang (saksi).15
Sebagai contoh, misalnya, bila (A) yang akan mati mempunyai anak laki-laki bernama
(B) dan cucu laki-laki dari anaknya (F), yaitu si (C), yang (F) ini mati sewaktu (A) masih hidup, maka (A) tidak wajib berwasiat kepada (C). setelah (A) mati harta peninggalannya seluruhnya diterima oleh (B). sedangkan si (C) tidak menerima harta peninggalan sedikitpun, baik dari jalan pusaka karena terhalang oleh si (B), maupun wasiat, karena tiada ketentuan untuk diberinya wasiat. Berhubung ketiadaan (C) menerima peninggalan yang disebabkan kematian ayahnya (F) mendahului kematian kakeknya (A) itu merupakan suatu kecemasan, maka Undang-Undang mengobati kekecewaan tersebut dengan apa yang disebut dengan wasiat wajibah.16
Dengan memperhatikan contoh di atas maka dapat diambil ketetapan bahwa orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah cucu laki-laki maupun perempuan baik dari garis laki-laki maupun garis perempuan yang orang tuanya telah meninggal mendahului atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya.
c. Besaran Wasiat Wajibah di Mesir
Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir Nomor 71 tahun 1946 menetapkan besarnya wasiat wajibah ialah sebesar yang diterima oleh orang tuanya. Sekiranya orang tuanya masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi 1/3 harta peninggalan dan harus memenuhi 2 syarat:
14 Sukris Sarmadi, Dekontruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam,
(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), h. 144.
15 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1994) h. 63.
16 Ibid.
1) Cucu tersebut bukan termasuk orang yang berhak menerima pusaka.
2) Si mati (ayahnya) tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang telah ditentukan kepadanya.17
Contoh dari pemberlakuan hukum wasiat wajibah di Mesir. Seorang mati meninggalkan 2 orang anak laki-laki dan cucu-cucu garis perempuan yang ibunya lebih dahulu mati dari pada yang mewariskan, maka cucu tersebut menurut ketentuan wasiat wajibah Mesir menerima 1/5 bagian, yakni sebesar bagian ibunya andai kata ibunya masih hidup. Karena pewarisnya terdiri dari 2 orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka bagian mereka masing-masing adalah 2:2:1 (2/5, 2/5, 1/5 bagian). Jadi, cucu dari pewaris mendapatkan bagian 1/5 yang dimana dia menggantikan posisi ibunya.
4. Teori Istihsan
Secara harfiah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya al- Mustashfa, istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.18
Menurut Abdul Karim Zaidan, membagi istihsan menjadi dua, pertama istihsan dalam arti upaya pemindahan hukumnya dan kedua istihsan dari segi sandaran dalilnya. Bagian pertama yaitu pemindahan hukum kulli (universal; umum) kepada juz’i (partikular). Misalnya transaksi jual beli selalu harus ada barang jika tidak ada maka ia dianggap batal (dalil kulli;umum) namun hukum juga membolehkan jual beli salam yaitu suatu transaksi yang barangnya kemudian diantarkan. Pada saat transaksi tidak ada barang tetapi hanya sifat barang yang disampaikan. Inilah dimaksud terjadi pemindahan hukum kepada juz’i (partikular). Kemudian yang kedua adalah berdasarkan sandaran dalil yaitu norma dasar hukum Al-Qur’an yang dianggap lebih kuat dari dalil lain misalnya mengambil kebaikan dari sesuatu yang dibolehkan. Menurut teks yang banyak dalam Al-Quran adalah kemaslahatan makai ia boleh diambil suatu kemaslahatan selama tidak ada dalil yang melarangnya.
Metode istihsan sangatlah efektif untuk membedah persoalan wasiat wajibah, baik dalam studi hukum Islam tekstual dalam ranah Al-Qur’an dan hadis maupun studi terhadap pendapat hukum dikalangan yuris Islam klasik yang tidak ditemukan istilah wasiat wajibah. Bahkan dalam legislasi modern hukum Islam di Timur Tengah wasiat wajibah berbeda objeknya dengan yang ada pada Kompilasi Hukum Islam. Pada studi wasiat wajibah di Timur Tengah, wasiat wajibah ditujukan untuk kepentingan para cucu pancar perempuan. Tetapi di
17 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 64.
18 Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h.111.
Indonesia objeknya justru berbeda, di mana wasiat wajibah ditujukan untuk anak angkat. Antara orang tua angkat dengan anak angkat tidak memiliki hubungan darah (genetik). Perbedaan objek tersebut didasari oleh cara pandang yuris Islam modern maupun adanya konflik yang terjadi dalam problem sosial umat Islam kajian baru dalam hukum Islam di Indonesia.
Bagian pertama dari Istihsan adalah dari segi sandaran dalilnya yaitu pemindahan hukum kulli (universal;umum) kepada juz’i (partikular). Dalam masalah wasiat, dalil teks normatif dalam terdapat pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180.
Kebanyakan para sahabat antara lain Abu Bakar, Ali, Ibn Umar dan Mazhab Sunni yang empat termasuk Imam Syafi'i berpendapat bahwa hukum wajib ini telah di-mansukh-kan (dihapus) dengan turunnya ayat-ayat al-Mawaris seperti Surat Al-Nisa ayat 11, 12 dan 176 yaitu ayat yang secara khusus menyentuh peruntukan bagian-bagian yang telah ditetapkan atas waris-waris dalam pembahagian harta pusaka. Oleh sebab itu, perintah wajib tersebut telah dihapus (mansukh) dan mereka beranggapan hanya menjadi anjuran saja lagi.
Berbeda dengan pendapat di atas, maka berdasarkan nash tersebut, Ibnu Hazm memandang hukum wasiat adalah wajib atas setiap orang yang meninggalkan harta. Ibnu Hazm berpendapat demikian, karena ia mengacu pada nash secara tekstual (zhahir), yang menyatakan kewajiban berwasiat. Karena kewajiban wasiat tersebut berlaku bagi setiap orang yang meninggalkan harta, maka apabila seseorang meninggal dunia dan orang tersebut tidak berwasiat, hartanya haruslah disedekahkan sebagian untuk memenuhi kewajiban wasiat tersebut. Karena yang berhak menetapkan urusan-urusan kaum muslimin adalah penguasa dan urusan wasiat termasuk salah satu urusan pada diri setiap muslim, maka dalam hal ini penguasa haruslah bertindak untuk memberikan sebagian harta peninggalan sebagaimana tersebut di atas guna memenuhi kewajiban wasiat. Berdasarkan pemikiran Ibnu Hazm tersebut, maka muncullah istilah wasiat wajibah.
Teori Ibn Hazm tentang kewajiban wasiat adalah kewajiban setiap orang yang memiliki harta benda untuk berwasiat kepada kerabat dekat dan orang lain sesungguhnya semata-mata didasarkan pada tekstual normatif ayat. Dengan kata lain, teori ini tidak didasarkan pada teori istihsan maupun maqosidu al-syariah. Pendapat di atas tidak dapat diasumsikan sebagai sumber inspirasi para yuris Islam dalam menetapkan wasiat wajibah maupun yang terjadi di Indonesia. Sebab objeknya berbeda jauh dengan objek yang terjadi pada wasiat wajibah di Timur Tengah maupun yang ada di Indonesia. Di samping itu, turunnya ayat wasiat lebih dahulu dari ayat kewarisan (an-Nisa ayat 11, 12 dan 176). Di mana kewajiban wasiat terjadi
karena soal kewarisan belum diatur oleh al-Qur’an. Dalam konteks ini, wasiat merupakan alternatif sebelum turunnya aturan tentang hukum kewarisan.
Berdasar pemahaman tersebut diatas, kaidah istihsan tentang kemungkinan pemindahan hukum kulli (universal; umum) kepada juz’i (partikular) adalah lebih objektif karena pandangan suatu maslahat atau baik. Metode ini secara mudah dipahami bahwa teks al- Baqarah 180 tetap memiliki eksistensinya bukan dimansukh (dihapus) oleh ayat kewarisan (Al-Nisa 11, 12 dan 176), tetapi ayat tersebut menjadi kulli (universal). Sedangkan Al-Nisa 11,12 dan 176 tentang kewarisan adalah juz’i (partikular). Ia menjadi lex spesialis bagi mereka yang berketurunan tanpa melarang orang untuk berwasiat semasa hidupnya dengan batas kadar tertentu.
Berdasar itu pula, fenomena umum dari makna wasiat dalam Islam tersebut menginspirasikan para yuris modern di Timur Tengah untuk mengarahkan wasiat itu pada para cucu pancan Perempuan yang dalam sistem pembagian kewarisan mereka idak mendapatkannya dikarenakan dianggap dzawil arham. Sementara di Indonesia, melewati Pasal 129 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, wasiat wajibah ditujukan untuk anak angkat. Di Indonesia sengaja objek wasiat wajibah tidak ditujukan kepada para cucu pancar perempuan dikarenakan mereka telah memperoleh warisan atas ijtihad tentang ahli waris pengganti.
Bagian yang kedua dari istihsan adalah berdasarkan sandaran dalil yaitu norma dasar hukum Al-Qur’an yang dianggap lebih kuat dari dalil lain misalnya mengambil kebaikan dari sesuatu yang dibolehkan. Seperti dalam kasus anak angkat, dalil pada surat Al-Nisa ayat 11, 12 dan 176 tidak memberikan hak kepada anak angkat maka dengan mengambil dalil Al- Baqarah 180 adalah menguatkan kemungkinan diberlakukannya wasiat wajibah terhadap orang yang dalam pemeliharaan yaitu anak angkat.
Konteks selanjutnya, anggapan baik (istihsan) adalah kebaikan yang ditunjang oleh norma-norma tekstual ayat. Dan menurut teks yang banyak dalam Al-Qur’an adalah kemaslahatan maka ia boleh diambil untuk suatu kemaslahatan selama tidak ada dalil yang melarangnya.
Memberikan wasiat wajibah kepada para cucu pancar perempuan seperti yang terjadi di Timur Tengah sangatlah maslahat sebab mereka tidak memperoleh bagian waris. Demikian pula memberikan wasiat wajibah terhadap anak angkat dipandang baik bagi kehidupan mereka bahkan oleh lingkungan sosial. Sedang kebaikan itu dianjurkan Tuhan dan tidak terlarang melakukannya.
Maka terhadap norma yang ada pada Pasal 209 ayat (2) tentang penunjukan objek wasiat wajibah terhadap anak angkat adalah baik. Meskipun analisis terhadap teknis terhadapnya masih perlu dipertanyakan untuk mencapai kesempurnaan kebaikan itu. Apakah hanya dengan norma Pasal 209 KHI sudah mencukupi untuk pengaturan pemberian wasiat wajibah ataukah justru merugikan pihak-pihak tertentu dalam kewarisan.19
B. Analisis Komparatif Wasiat wajibah dalam Hukum Indonesia Dan Mesir
1. Analisis Wasiat Wajibah dalam Hukum Indonesia
Wasiat wajibah di Indonesia merupakan hal yang baru, karena telah diatur dalam KHI yang merupakan salah satu rujukan dalam penerapan hukum Islam di Indonesia. Wasiat wajibah diatur dalam Pasal 209 KHI. KHI sendiri telah hadir dengan konstruksi baru dalam konsepnya dengan membawa modifikasi dari wasiat wajibah untuk mengembangkan sistem kewarisan di Indonesia, aturan barunya dengan memasukkan anak angkat dalam kelompok orang yang bisa mendapatkan bagian warisan dari harta warisan orang tua angkatnya maupun sebaliknya.
Dalam Pasal 171 huruf (c) KHI ada beberapa alasan yang menyebabkan seseorang itu bisa menyebabkan ia mendapatkan hak dari harta warisan yang ditinggalkan. Adapun alasan- alasan tersebut adalah:
a. Hubungan darah;
b. Hubungan Perkawinan;
c. Memerdekakan budak.
Jika kita melihat dari ketiga alasan di atas, maka cucu masuk ke dalam ahli waris yang memiliki hubungan darah dengan si mati, akan tetapi dalam kenyataannya di Indonesia cucu tidak mendapatkan harta warisan dari si mati melalui jalur wasiat wajibah, karena di Indonesia orang-orang yang berhak mendapakan wasiat wajibah hanya anak angkat dan orang tua angkat saja, sedangkan cucu tidak mendapatkannya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari kedudukan antar keduanya, yakni:
a. Kedudukan anak angkat dan orang tua angkat dalam Kompilasi Hukum Islam Kedudukan anak angkat dan orang tua angkat dalam hukum kewarisan menurut KHI
secara tegas telah diatur dalam Pasal 209. Secara umum dapat dikatakan bahwa status anak angkat dan orang tua angkat yang diatur dalam KHI tetap sebagaimana status asalnya, yaitu hanya mempunyai hubungan nasab dengan orang tua kandungnya sama dengan pendapat para
19 Fahmi Al Amruzi, Rekontruksi Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam, h. 94.
ulama ahli fikih, karenanya dia hanya mempunyai hubungan waris dengan mereka. Dengan demikian terlihat bahwa pengangkatan anak tidaklah merubah status dan kedudukan serta hubungan nasab yang telah ada sebelumnya.
Meskipun pengangkatan ini tidak merubah status anak tersebut, akan tetapi hal tersebut tidaklah mengurangi nilai dan makna pengangkatan anak tersebut. Pasal 209 KHI dengan tegas mengatur tentang orang tua angkat mewajibkan untuk melakukan wasiat wajibah demi kemaslahatan anak angkatnya sebagaimana orang tua angkat telah menerima pembebanan tanggung jawab untuk mengurus dari segala kebutuhan anak angkatnya. Jadi, meskipun anak angkat secara dalil naqli tidak mendapatkan harta peninggalan orang tua angkatnya, namun dari segi kemaslahatan terutama demi anak tersebut yang secara emosional dan sosial begitu dekat hubungannya dengan orang tua angkatnya, tanggungjawab orang tua angkat tetap ada.
Konsep yang mendasar dari Pasal 209 KHI adalah wasiat mengutamakan orang lain yang bukan ahli waris, dalam hal ini adalah anak angkat dan orang tua angkat.
b. Kedudukan Cucu dalam Kompilasi Hukum Islam
Dalam KHI cucu dimasukkan sebagai ahli waris pengganti, KHI sendiri membuat hukum keluarga bagi umat Islam sebagian kecilnya masih menimbulkan pro-kontra. Salah satunya menyangkut persoalan ahli waris pengganti atau pergantian kedudukan ahli waris yang dalam ilmu hukum dikenal dengan plaatvervulling yang termuat dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam berbunyi:
1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Dari dua kedudukan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa perbedaan antar kedudukan keduanya berdasarkan hukum kewarisan Islam Indonesia itu sendiri yakni Kompilasi Hukum Islam, yang mana terdapat perbedaan antara pasal tentang wasiat wajibah dan pasal ahli waris pengganti yang keduanya berlaku di Indonesia.
Wasiat wajibah di Indonesia diatur dalam pasal 209 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Reformasi hukum keluarga yang digunakan di Indonesia sebagian besar tergantung pada hukum adat. Sesuai dengan hukum adat, umum dilakukan oleh keluarga Indonesia untuk mengadopsi anak laki-laki atau perempuan, untuk kemudian dimasukan ke dalam lingkungan keluarga mereka. Dalam masyarakat patrinial seperti masyarakat Batak, masyarakat matrinial seperti Minangkabau, lembaga adopsi sering dihubungkan dengan dominasi politis dari ayah dan ibu dalam keluarga. Lain lagi dalam masyarakat Jawa, adopsi diperbolehkan tidak hanya untuk anak laki-laki tetapi juga untuk anak perempuan. Dengan pertimbangan-pertimbangan moral sebagai alasan dalam pengangkatan anak, misalnya untuk menolong anak yatim, suatu keluarga dapat mengadopsi seorang anak dengan konsekuensi hukum bahwa anak tersebut, baik laki-laki maupun perempuan akan memperoleh hak yang sama dihadapan hukum sebagaimana anak yang sah.20
Berdasarkan pada praktek hukum yang ada tersebut, maka kemudian para ahli hukum Islam Indonesia merasa berkewajiban untuk menjembatani kesenjangan antara hukum Islam dengan hukum adat. Maka para ahli hukum Indonesia berusaha untuk mengakomodasikan sistem nilai yang ada dalam kedua hukum dengan jalan mengambil dari institusi wasiat wajibah yang berasal dari hukum Islam sebagai sarana untuk menerima fasilitas nilai moral yang ada dibalik praktek adopsi dalam hukum Adat. Usaha ini harus dilakukan karena fakta bahwa dalam semua masyarakat yang mempraktekan adopsi tersebut, orang tua angkat selalu memikirkan kesejahteraan dari anak angkatnya ketika mereka sudah meninggal. Inilah ide yang ada dibalik semangat untuk merekontruksi Kompilasi Hukum Islam sedemikian rupa yang mampu menerjemahkan wasiat sebagai alat untuk memperbolehkan anak angkat untuk mewarisi secara sah harta warisan orang tua angkatnya.21
2. Ketentuan Wasiat wajibah dalam Hukum Mesir
Mesir merupakan negara arab pertama yang melakukan reformasi dalam hukum keluarga. Sebagaimana yang dikutip oleh Sri Hidayati, Tahir Mahmood mengungkapkan sejarah reformasi hukum di Mesir dimulai sejak 1874, yakni sejak Mesir merdeka dari kekaisaran Ottoman. Adapun yang menjadi fokus pertama adalah reformasi di bidang administrasi peradilan pada 1875-1883 dengan dibentuknya Pengadilan Mukhtalai (campuran) dan Pengadilan Ahli (Nasional). Tidak lama kemudian, gerakan reformasi di berbagai bidang sosial-ekonomi diluncurkan di negara tersebut.22
20 Ratno Lukito, Pengumpulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), h. 52.
21 Ibid, h. 53.
22 Muhammad Reyhan Aldabena, Aplikasi Wasiat Wajibah Menurut Hukum Indonesia dan Mesir, (Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2019), h. 76.
Hukum wasiat wajibah diterapkan pertama di Mesir melalui perundang-undangan Hukum Waris tahun 1946 untuk menegakkan keadilan dan membantu para cucu yang tidak memperoleh warisan. Ketentuan hukum tentang wasiat wajibah ini bermanfaat untuk anak- anak dari anak-anak laki-laki terus kebawah dan juga untuk anak dari anak perempuan generasi pertama.
Pada dasarnya menurut konsideran Undang-Undang Wasiat Mesir, berwasiat adalah suatu tindakan alternatif, yaitu suatu tindakan yang timbul dari dalam diri pewasiat sendiri tanpa paksaan dari pihak lain. Bahkan penguasa atau hakim sekalipun tidak dapat memaksa seseorang untuk berwasiat. Akan tetapi, Undang-Undang Wasiat Mesir menetapkan bahwa wasiat dapat diwajibkan berdasarkan hukum perundang-undangan, meskipun si mayit tidak menghendakinya.
Peraturan wasiat wajibah di Mesir, ternyata diperuntukkan pada orang-orang yang memiliki nasab kepada pewaris, namun dalam perhitungan bagian waris mereka tidak mendapatkannya karena terhalang oleh ahli waris yang lebih tinggi derajatnya. Hal yang mendasari bahwa wasiat wajibah di Mesir diperuntukkan pada orang-orang yang memiliki nasab kepada pewaris, dalam hal ini adalah cucu, cucu mendapatkan wasiat wajibah berdasarkan dengan keadaan sosiologis masyarakat Mesir itu sendiri.23
Perkembangan hukum di Mesir ditandai dengan perubahan besar yang menandai perkembangan hukum Islam dan masyarakat muslim Mesir. Di antara perubahan itu adalah perubahan orientasi masyarakat muslim dari urusan ibadah dan urusan muamalah, sehingga hukum Islam mencakup urusan ibadah dan muamalah. Tidak hanya itu, hukum selalu berkembang sesuai waktu dan tempat. Hukum di Mesir dipengaruhi oleh dunia Barat Eropa yang juga menyerap hukum Barat-sekuler, tidak lepas dari faktor sosio-politis Mesir itu sendiri.24
Berdasarkan prinsip kemaslahatan, pemberian sebagian harta peninggalan kepada cucu yang dilakukan berdasarkan prinsip wasiat wajibah, dikarenakan adanya pertimbangan kemungkinan timbulnya penderitaan pada cucu yang terhalang untuk mewarisi peninggalan kakek atau neneknya karena ada saudara-saudara orang tua mereka. Oleh karena itu, untuk mengurangi penderitaan lebih lanjut yang disebabkan kematian ayah atau ibu mereka yang semasa hidupnya melindungi dan memlihara mereka, maka Undang-Undang Wasiat Mesir menetapkan pembagian sebagian harta peninggalan kakek atau neneknya bagi mereka melalui jalan atau jalur wasiat wajibah.
23 Muhammad Reyhan Aldabena, Aplikasi Wasiat Wajibah Menurut Hukum Indonesia dan Mesir, h. 79.
24 Ibid.
Di samping itu pertimbangan lain bahwa tidak jarang ayah atau ibu mereka yang meninggal terlebih dahulu sebelum kakek atau nenek mereka tersebut ikut membangun kehidupan rumah tangga kakek atau neneknya. Karena itulah sudah sepantasnya jika jerih payah si mayit tersebut dibalas dengan pemberian melalui jalan wasiat wajibah kepada keturunan yang ditinggalkannya. Adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut, pada prinsipnya ditujukan untuk menjaga kemaslahatan cucu di kemudian hari.
3. Persamaan dan Perbedaan Wasiat Wajibah Indonesia dan Mesir
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan persamaan dan perbedaan antara wasiat wajibah Indonesia dan Mesir.
a. Persamaan Wasiat Wajibah di Indonesia dan Mesir
Dari paparan mengenai wasiat wajibah, baik di Indonesia maupun Mesir, mempunyai beberapa persamaan, yaitu:
1) Memberlakukan Undang-Undang Wasiat Wajibah
Kedua negara, baik Indonesia maupun Mesir, masing-masing mempunyai Undang- Undang sendiri yang mengatur tentang wasiat wajibah dalam hukum kewarisannya, wasiat wajibah di Indonesia diatur dalam Pasal 209 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam dan Mesir mengaturnya dalam Qanun al-Wasiyah Raqm 71 Li Sanah 1946 Pasal 76 sampai 79.
2) Tujuan Pemberlakuan Undang-Undang Wasiat
Jika ditinjau secara futuristik, tujuan pemberlakuan undang-undang yang mengatur masalah wasiat wajibah memiliki tujuan yang sama, yaitu keduanya sama-sama berjalan demi tujuan utama yaitu menjaga keadilan dan kesejahteraan terhadap hak-hak perorangan yang tidak mendapatkan harta warisan.
3) Besarnya Bagian Wasiat Wajibah
Untuk besarnya bagian wasiat wajibah, Indonesia dan Mesir menetapkan jumlah maksimal untuk penerima wasiat wajibah adalah 1/3 dari harta peninggalan si mayit, untuk besarnya bagian ini diatur sendiri dalam Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam untuk Indonesia dan Pasal 76 Qanun al-Wasiyah Raqm 71 Li Sanah 1946 untuk Mesir.
b. Perbedaan Wasiat Wajibah di Indonesia dan Mesir
Perbedaan wasiat wajibah di Indonesia dan Mesir adalah sebagai berikut:
1) Penerima Wasiat wajibah
Perbedaan yang pertama terdapat dalam penerima wasiat wajibah itu sendiri, wasiat wajibah di Indonesia diperuntukkan untuk anak angkat dan orang tua angkat, hal ini sesuai dengan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
Sedangkan Wasiat wajibah di Mesir hanya diperuntukkan kepada cucu, yakni keturunan dari anak perempuan pada tingkat pertama, serta cucu keturunan anak laki-laki dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. Hal ini sesuai dengan Pasal 76 Qanun al-Wasiyah Raqm 71 Li Sanah 1946.
2) Kedudukan Cucu
Undang-Undang Mesir menetapkan cucu sebagai satu-satunya orang yang berhak menerima wasiat wajibah, akan tetapi kedudukan cucu pancar laki-laki seakan mendapatkan tempat yang lebih tinggi daripada cucu pancar perempuan, ini dibuktikan dengan cucu pancar laki-laki ke bawah tetap mendapatkan jaminan bahwa dirinya akan menerima wasiat wajibah, sedangkan cucu pancar perempuan, yang berhak menerimanya hanya cucu pancar perempuan generasi pertama.
Berbeda dengan Mesir, cucu di Indonesia akan mendapatkan bagian warisannya melalui jalur pergantian ahli waris atau biasa disebut ahli waris pengganti. Di Indonesia cucu tidak mendapatkan wasiat wajibah, melainkan cucu mendapatkan warisan melalui jalur ahli waris pengganti. Indonesia lebih mementingkan kemaslahatan, dengan cara tidak membedakan antara cucu pancar laki-laki maupun perempuan dengan tujuan untuk melindungi kesejahteraan cucu pancar perempuan.
A. Kesimpulan
BAB III PENUTUP
Wasiat wajibah di Indonesia diperuntukkan untuk anak angkat dan orang tua angkat, pernyataan ini didasarkan pada problematika yang terjadi dalam hukum wasiat di Indonesia, perubahan dan pertumbuhan masyarakat yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat Indonesia, sehingga berimplikasi pada tuntutan atas hukum yang mengakomodir problematika yang dihadapi masyarakat Indonesia. Cucu tidak dimasukkan ke dalam wasiat wajibah karena permasalahan kesejahteraan cucu sendiri di Indonesia dianggap telah selesai dengan adanya peraturan tentang ahli waris pengganti yang telah diatur dalam Pasal 185 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam. Berbeda dengan Indonesia, Mesir hanya memasukkan cucu sebagai penerima wasiat wajibah, karena Mesir mengkhawatirkan kedudukan cucu yang tidak mendapatkan harta warisan, selain itu sebagai bentuk perlindungan hak atas harta peninggalan bagi keluarga, kerabat yang tidak menerima warisan karena sebab tertentu.
Adapun persamaan antara konsep wasiat wajibah di Indonesia dan Mesir antara lain Kedua negara menggunakan konsep wasiat wajibah dalam hukum kewarisannya, Wasiat wajibah di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan Mesir mengaturnya dalam Qanun al-Wasiyah Raqm 71 Li Sanah 1946, Keduanya menitikberatkan Wasiat Wajibah untuk memperoleh keadilan terhadap hak-hak perorangan yang tidak mendapatkan harta warisan, Untuk besarnya Wasiat Wajibah, baik di Indonesia maupun di Mesir, kedua negara menetepkan bahwa wasiat wajibah maksimal berjumlah 1/3 dari harta peninggalan pewaris. Perbedaannya yaitu, wasiat wajibah di Indonesia diperuntukkan untuk anak angkat dan orang tua angkat dan wasiat wajibah di Mesir hanya diperuntukkan kepada cucu, yakni keturunan dari anak perempuan pada tingkat pertama, serta cucu keturunan anak laki-laki dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki, Mesir tidak menerapkan yang namanya ahli waris pengganti atau pergantian ahli waris, sedangkan Indonesia menerapkannya.
B. Daftar Pustaka
· Al Amruzi, Fahmi, Rekontruksi Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), h. 77.
· Aldabena, Muhammad Reyhan, Aplikasi Wasiat Wajibah Menurut Hukum Indonesia dan Mesir, (Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2019), h. 76.
· Anshary, Hukum Waris Islam Dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2013), h. 87.
· Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1926.
· Lukito, Ratno, Pengumpulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), h. 52.
· Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 34-35.
· Muslih, M., Adnan Qohar, A. Choiri, Hukum Kewarisan Islam, Keadilan dan Metode Praktis Penyelesaiannya (Yogyakarta: Pustaka Biru, 2011), h.63.
· Nasution, Khoiruddin, Pengantar Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: Academia + Tazaffa, 2010) hlm. 33.
· Sarmadi, Sukris, Dekontruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), h. 144.
· Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1994) h. 63.
· Praja, Juhaya S., Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h.111.
· Zahari, Ahmad, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’i, Hazairin dan KHI
(Pontianak: Romeo Grafika, 2006), h. 98.
· https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/30/sebanyak-8688-penduduk- indonesia-beragama- islam#:~:text=Persentase%20Pemeluk%20Agama%2FKepercayaan%20di%20Indonesia% 20(Juni%202021)&text=Berdasarkan%20data%20Direktorat%20Jenderal%20Kependuduk an,86%2C88%25)%20beragama%20Isla.
· Kompilasi Hukum Islam
0 comments:
Posting Komentar