Sabtu, 12 Maret 2022

Filosofika Sumber Hukum Islam

 

MATA KULIAH

Filsafat Hukum Islam

DOSEN PENGAMPU

1.     Dr. Rahmat Solihin, M.Ag.

2.     Dr. Budi Rahmat Hakim, S.Ag. MHI.

 

 

 

 

 

FILOSOFIKA SUMBER HUKUM ISLAM

OLEH

Marzuki Na’ma

NIM : 210211050114

 

 


 

 

 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

BANJARMASIN

PASCASARJANA

 

 

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

TAHUN 2021


KATA PENGANTAR

 

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan berkah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga makalah yang berjudul Filosofika Sumber Hukum Islam ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

 

 

Penyaji/Penulis

 

 

 

Marzuki Na’ma

 



BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Pemikiran filosofis dalam hukum Islam merupakan kajian penting dalam perumusan dan penerapan hukum Islam, terutama dalam kegiatan istinbath hukum bagi para mujtahid atau bagi siapa saja yang mendalami ilmu fiqih dengan segala seluk beluknya. Dilihat dari segi kepentingannya dalam istinbath, filsafat hukum Islam ini memang tidak menempati urutan teratas sebagaimana ilmu ushul fiqh, karena ia lebih merupakan pelengkap dan pembantu ilmu ushul fiqh serta suatu ilmu dengan gaya berpikir filosofis sehingga memberi keyakinan kepada umat Islam bahwa hukum Islam adalah hukum yang memastikan maslahat di balik sebuah istinbath-istinbath hukum. Akan tetapi keberadaannya bukannya tidak penting, karena dengan mengetahui tatacara dan kefilosofisan hukum Islam seorang mujtahid akan terarah dan terfokus dalam menemukan jawaban permasalahan fiqh yang muncul dan memotivasi untuk mengamalkannya. Lebih jauh dengan ilmu ini akan lebih memudahkan bagi seorang mujtahid dalam mencari jawaban yang nantinya akan lebih diperkuat dengan aplikasi ushul fiqh.[1]

Ada dua tema besar berkaitan dengan sumber hukum Islam perspektif filsafat hukum Islam, yaitu: Pertama, tema tentang wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi sumber rujukan tertulis bagi pelaku hukum Islam. Dan yang kedua yaitu, tema tentang fungsi akal dalam memahami dan melakukan penggalian hukum Islam dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

1.     Wahyu sebagai Sumber Hukum Islam

Setiap ajaran tentunya terdapat hukum-hukum yang mengikat para pemeluknya. Dalam agama Islam, terdapat beberapa sumber hukum yang mengatur tindak-tanduk pemeluknya (muslim) dalam kegiatannya menjadi seorang hamba dan khalifah di Bumi. Sumber hukum Islam merupakan dasar utama untuk mengambil istinbat hukum. Oleh karenanya segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan haruslah berdasarkan pada sumber hukum tersebut.

Sumber hukum pertama adalah al-Qur’an yaitu wahyu atau kalamullah yang sudah dijamin keontentikannya dan juga terhindar dari intervensi tangan manusia. Sehingga dengan penyucian tersebut meneguhkan posisi al-Qur’an sebagai sumber hukum yang utama.

Oleh karena itu, sebagai sumber utama hendaklah ia memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Sudah selayaknya jika al-Qur’an bersifat dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis dalam arti al-Qur’an dapat diterapkan dimanapun, dan kapanpun, serta kepada siapapun. Kebenaran al-Qur’an dapat dibuktikan dengan realita atau fakta yang telah terjadi. Terakhir, al-Qur’an tidak diragukan kebenarannya serta tidak akan terbantahkan. Dalam eksistensinya, sumber hukum dalam Islam tidak hanya al- Qur’an saja, melainkan juga Hadis. Hadis sebagai sumber sekunder hukum-hukum Islam, sumber ini bukan berfungsi sebagai penyempurna al-Qur’an melainkan sebagai penyempurna pemahaman manusia akan maqasid al-Syari’ah. Karena al-Qur’an sudah sempurna akan tetapi pemahaman manusia tidak sempurna, sehingga dibutuhkan penjelas (bayan) sebagai tindakan penjabaran tentang sesuatu yang belum dipahami secara seksama.[2]

1.1.      Alqur’an

Al-Qur'an secara bahasa berasal dari kata qara'a – yaqra'u – qira'atan – qur'anan, yakni sesuatu yang dibaca atau bacaan. Sedangkan secara istilah merupakan Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan sampai kepada kita secara mutawatir serta membacanya berfungsi sebagai ibadah.[3]

Selain sebagai firman Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur'an juga sebagai mukjizat daripada Nabi Muhammad SAW. Mukjizat  sendiri  berarti  sesuatu  yang melemahkan atau perkara yang keluar dari kebiasaan ( amru khariju lil'adah ). Dikatakan sebagai mujkizat karena pada saat itu masyarakat Arab Jahiliyah pandai dalam membuat sastra Arab (syair), sastra Arab pada saat itu berada dalam puncak kejayaan sehingga membuat manusia berbondong-bondong, berlomba-lomba dalam membuat syair, dan syair yang terbaik akan ditempel di dinding Ka'bah dan membuat yang bersangkutan merasa sombong.[4]

Setelah datangnya al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW. Masyarakat Arab terkagum-kagum dan takjub akan lantunan yang  terdapat  pada  al-Qur'an, mereka mengatakan bahwa al-Qur'an adalah buatan Nabi  Muhammad SAW.  Bukan  firman dari Allah SWT. akan tetapi itu  semua tidak benar karena Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang ummi  (tidak dapat membaca dan  menulis) dan  dibantah oleh  al-Qur'an. Jika memang benar al-Qur'an adalah syair buatan manusia (Muhammad SAW.) maka masyarakat jahiliyah dituntut untuk membuat syair yang seindah seperti al-qur'an, dan terbukti mereka tidak sanggup. Firman Allah swt.

وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”[5]

Turunnya al-Qur'an tidaklah sekali dalam bentuk mushaf yang terdapat pada saat ini, melainkan al-Qur'an turun secara periodik atau bertahap. Tujuan dari turunnya yang bertahap ini dimaksud agar memperbaiki umat manusia, diantaranya sebagai penjelas, kabar gembira, seruan, sanggahan terhadap musyrikin, teguran dan juga ancaman. Akan tetapi ada perbedaan pendapat dikalangan ulama berkenaan dengan proses turunnya al- Qur'an, ada pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur'an turun pada malam hari (lailatu al-qadar), ada pula pendapat yang mengatakan bahwa turunnya al-Qur'an melalui tiga proses tahapan. Tahap pertama diturunkan di Lauh al-Mahfudz, kemudian diturunkan ke langit pertama di Bait al-Izzah, dan terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur dan sesuai kebutuhan serta peristiwa yang sedang terjadi atau dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW.[6]

Merujuk pada pembahasan para ulama', sebagian dari mereka ada yang membagi hukum yang terkandung dalam al-Qur'an menjadi tiga,[7] sebagaimana pernyataan Wahbah Zuhaili di dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiyi yang juga dikutip oleh Ernawati, diantaranya:[8]

a)           Hukum Akidah (I'tiqadiyah) ialah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan manusia kepada Allah swt. dan juga kepada para Malaikat, Kitab, Rasul, serta hari akhir.

b)          Hukum Etika (Khuluqiyyah) adalah suatu perilaku yang berkaitan dengan kepribadian diri. Diantaranya kejujuran, rendah hati, sikap dermawan dan menghindari sifat-sifat buruk pada dirinya seperti halnya dusta, iri, dengki, sombong.

c)           Hukum Amaliyah (Amaliyah) suatu perilaku sehari-hari yang berhubungan dengan sesama manusia. Hukum Amaliyah dibagi menjadi dua bagian, yakni: Pertama, muamalah ma'a Allah atau pekerjaan yang berhubungan dengan Allah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, dan lain sebagainya; Kedua, muamalah ma'a an- Naas atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan manusia baik secara pribadi maupun kelompok. Contohnya, kontrak kerja, hukum pidana, dan lain sebagainya.

1.2.      Hadist

Secara etimologi Hadis berasal dari kata (Hadasa) artinya al-jadid “sesuatu yang baru” atau khabar “kabar”.[9] Maksudnya jadid adalah lawan dari al-qadim (lama), seakan-akan dimaksudkan untuk membedakan al-Qur'an yang bersifat qadim.[10]

Sedangkan khabar maksudnya berita, atau ungkapan, pemberitahuan yang diungkapkan oleh perawi hadis dan sanadnya bersambung selalu menggunakan kalimat haddatsana (memberitakan kepada kami).[11]

Secara terminology, definisi hadis mengalami perbedaan redaksi dari para ahli hadis, namun makna yang dimaksud adalah sama. Al-Ghouri memberi definisi sebagai berikut;

“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat.”[12]

Maksud dari qaul (perkataan) adalah ucapan, dan fi'il (perbuatan) ialah perilaku nabi yang bersifat praktis, dan taqrir (keputusan) sesuatu yang tidak dilakukan nabi tetapi nabi tidak menginkarinya, dan sifat maksudnya adalah ciri khas dari kepribadian nabi. Selain pengertian hadis di atas, istilah hadis juga sering disamakan dengan istilah Sunnah, khabar, dan atsar, sebagaimana berikut;

a.      Sunnah

Kata Sunnah berarti jalan yang terpuji. Sunnah ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik, atau akhlaq, serta perilaku kehidupan baik sebelum diangkat menjadi Rasul (seperti mengasingkan diri yang beliau lakukan di Gua Hira') atau setelah kerasulan beliau. Adapun menurut “Ulama' Fiqh”, Sunnah merupakan segala sesuatu yang datang dari Nabi yang bukan fardlu dan tidak wajib.[13]

Dari definis diatas keduanya mempunyai nilai yang sama, yakni sama-sama disandarkan kepada dan bersumber dari Nabi saw. jika dari fungsinya Ulama' hadis mempertegas bahwa Nabi saw. sebagai teladan kehidupan. Adapun Ulama fiqh berpendapat bahwa Nabi saw sebagai syar'i yakni sumber hukum Islam.

b.     Khabar

Secara bahasa Khabar artinya al-Naba' (berita). Selain itu khabar juga berarti hadis, sebagai mana telah dijelaskan di atas. Khabar berbeda dengan hadis, hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi, sedangkan khabar ialah berita yang datang selain dari Nabi. Maka dapat disimpulakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadis.[14]

c.      Atsar

Secara etimologi atsar berarti “sisa atau suatu peninggalan” (baqiyat al-Syai). Sebagaimana dikatan di atas bahwa atsar adalah sinonim dari hadis, artinya ia mempunyai arti dan makna yang sama. Selain itu atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi'in, yang terdiri dari perkataan atau perbuatan.[15]

Mayoritas Ulama' lebih condong atas pengertian khabar dan atsar untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw dan demikian juga kepada Sahabat dan tabi'in.[16]

Jika ditinjau dari segi makna hadis, maka hadis dapat di bagi menjadi tiga, yaitu Hadis Qauli, Hadis Fi'li, dan Hadis Taqriri. Adapun macam-macam hadis jika ditinjau dari segi penyandarannya maka ada dua macam, yakni Hadis Nabawi (yang disandarkan kepada Nabi) dan Hadis Qudsi (yang disandarkan kepada Tuhan/ Allah).

2.     Akal dan Ijtihad Hukum

a.     Pengertian Akal

Akal adalah suatu ukuran untuk menetapkan ahliyah pada diri seseorang. Akal setiap orang diciptakan berbeda-beda. Menurut Asy‘ariyah,[17] tidak menjadi pedoman pada akal saja tanpa mendengar, dan jika ada mendengar, maka menjadi pedoman tanpa akal. Oleh karenanya, maka tidak akan diketahui iman, jujur, adil, dan berbuat baik adalah perbuatan baik dan tidak akan diketahui hal-hal yang berlawanan dengan semuanya adalah perbuatan buruk. Tidak sah iman kanak-kanak dengan semata-mata mereka punya akal. Orang-orang yang tidak sampai dakwah kepadanya lalu ia lalai daripada iktikad (tidak punya akidah yang benar) sampai ia meninggal dunia, maka orang tersebut dianggap berhalangan (uzur). Demikian juga jika ia beriktikad dengan iktikad syirik sebelum sampai dakwah kepadanya, itupun dianggap berhalangan. Ketika diukur dengan mendengar, maka yang baik adalah semua perbuatan yang diperintahkan untuk dikerjakan dan yang buruk adalah semua perbuatan yang dilarang untuk dikerjakan. Hal ini karena akal tidak terbebas dari keinginan-keinginan hawa nafsu. Sebab begitu manusia lahir, bersamanya ada hawa nafsu.[18]

Sedangkan menurut Mahmud al-Dahlawi, orang-orang yang tidak sampai dakwah kepadanya, maka orang itu tidak dibebankan hukum kepadanya walaupun dia berakal. Oleh karena itu, jika berakal seorang perempuan yang hampir baligh dan dia tidak melakukan sesuatu yang dapat menjadi kafir, serta dia sudah menikah dengan seorang suami yang muslim dari dua ibu bapaknya yang muslim, dia tidak dihukum murtad dan tidak dianggap bercerai dengan suaminya. Dari sini dapat dipahami bahwa dia tidak dibebankan hukum kepadanya. Sebaliknya, jika dia melakukan hal-hal yang dapat menjurus seseorang menjadi kafir, dia dihukum murtad dan dianggap gugur nikah dengan suaminya. Dari sini diketahui bahwa akal menjadi pegangan dalam menetapkan suatu hukum. Apabila dia tidak beriktikad iman dan juga tidak beriktikad kafir, maka dia berhalangan. Apabila dia dibantu oleh Allah dengan cobaan dan diberikan kesempatan untuk menemukan akibat-akibat, maka dia tidak dianggap berhalangan, walaupun tidak sampai dakwah kepadanya. Ini seperti dikatakan oleh Abu Hanifah tentang safih (orang yang menghambur-hamburkan hartanya bukan pada jalan Allah), apabila ia telah berusia dua puluh lima tahun, maka hartanya tidak boleh lagi ditahan karena ia telah melewati masa-masa cobaan yang seharusnya ia telah bertambah kepintarannya dalam mengelola hartanya.[19]

b.     Akal dan Istinbath Hukum

Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif dalam sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukumpun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.

Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu di antara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, di mana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Agama mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada/manusia, dan kedua dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh pancaindera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah.[20]

Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul pertanyaan, pengetahuan mana yang lebih dipercaya, pengetahuan yang diperoleh melalui akal, pengetahuan melalui wahyu, atau pengetahuan yang diperoleh melalui kedua-duanya. Karena itu, masalah hubungan akal dan wahyu ini merupakan masalah yang paling masyhur dan paling mendalam dibicarakan dalam sejarah pemikiran manusia, telah lebih dua ribu tahun.[21]

Akan tetapi, meskipun demikian akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah Swt menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannyalah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.

Selanjutnya, istinbath berasal dari kata “nabth” yang berarti: “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbathialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.[22] Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum Islam, arti istinbathmenjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus istinbathadalah teks suci ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.

Upaya istinbath tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut ‘Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,[23] melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbath, yakni melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan melalui pengenalan maksud syariat.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath atau ijtihad adalah sebagai berikut:[24]

a.        Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan masalah hukum.

b.       Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.

c.        Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma‘, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan ijma’.

d.       Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbath hukum.

e.        Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.

f.         Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena Alquran dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dan lain-lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Ada dua tema besar berkaitan dengan sumber hukum Islam perspektif filsafat hukum Islam, yaitu: Pertama, tema tentang wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi sumber rujukan tertulis bagi pelaku hukum Islam. Dan yang kedua yaitu, tema tentang fungsi akal dalam memahami dan melakukan penggalian hukum Islam dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sumber hukum pertama adalah al-Qur’an yaitu wahyu atau kalamullah yang sudah dijamin keontentikannya dan juga terhindar dari intervensi tangan manusia. Sehingga dengan penyucian tersebut meneguhkan posisi al-Qur’an sebagai sumber hukum yang utama.

Sumber hukum dalam Islam tidak hanya al- Qur’an saja, melainkan juga Hadis. Hadis sebagai sumber sekunder hukum-hukum Islam, sumber ini bukan berfungsi sebagai penyempurna al-Qur’an melainkan sebagai penyempurna pemahaman manusia akan maqasid al-Syari’ah. Karena al-Qur’an sudah sempurna akan tetapi pemahaman manusia tidak sempurna, sehingga dibutuhkan penjelas (bayan) sebagai tindakan penjabaran tentang sesuatu yang belum dipahami secara seksama.

Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif dalam sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukumpun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dr. Busyro, M.Ag, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (Indonesia : CV. Wade Group, 2016).

Septi Aji Fitra Jaya, Alqur’an dan Hadis sebagai sumber hukum islam (INDO-ISLAMIKA, Volume 9).

Manna' Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur'an (Qahirah: Maktabah Wahbah,tt), 14.

Nor Kandir, Al-Qur'an Sumber Segala Ilmu (Pustaka Al-Mandiri, 2016).

Surah Al-Baqarah (2) :23

Muhammad Abdu al-‘Adzim al-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan (al-Qahirah: Dar al-Hadi: 2001).

Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthubi, al-Jami' li Ahkami al-Qur'an, jilid 10 (Beirut: Muassasah Manahi al-‘Irfan, tt).

Siska Lis Sulistiani, “Perbandingan Sumber Hukum Islam,” Tahkim: Jurnal Peradaban dan Hukum Islam 1, 1 (2018).

Abdu al-Majid al-Ghouri, Mu'jam al-Mushthalahat al-Haditsah (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2007).

Mustafa al-Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (USA: American Trust Publication, 2012).

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2015).

Abdu al-Majid al-Ghouri, Mu'jam al-Mushthalahat al-Haditsah.

Musthafa ash-Shiba'i, as-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islamiy (Dar al-Waraq, tt),.

Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis (Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, tt).

Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis.

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Dewi, 1998).

Mahmud bin Muhammad al-Dahlawi, Ifadhah al-Anwar fi Idha’ah Ushul al-Munar, cet. I, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2002).

Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986).

HaidarBagirdanSyafiqBasri, IjtihaddalamSorotan, (Bandung: Mizan, 1996),.

NasrunRusli, KonsepIjtihadasy-SyaukaniRelevansinyabagiPembaruanHukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Logos WacanaIlmu, 1997).



[1] Dr. Busyro, M.Ag, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (Indonesia : CV. Wade Group, 2016) 259-5

[2] Septi Aji Fitra Jaya, Alqur’an dan Hadis sebagai sumber hukum islam (INDO-ISLAMIKA, Volume 9) Hal 204

[3] Manna' Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur'an (Qahirah: Maktabah Wahbah,tt), 14.

[4] Nor Kandir, Al-Qur'an Sumber Segala Ilmu (Pustaka Al-Mandiri, 2016), 10-11.

[5] Surah Al-Baqarah (2) :23

[6] Muhammad Abdu al-‘Adzim al-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan (al-Qahirah: Dar al-Hadi: 2001), 41-45.

[7] Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthubi, al-Jami' li Ahkami al-Qur'an, jilid 10 (Beirut: Muassasah Manahi al-‘Irfan, tt), 110.

[8] Siska Lis Sulistiani, “Perbandingan Sumber Hukum Islam,” Tahkim: Jurnal Peradaban dan Hukum Islam 1, 1 (2018): 105.

[9] Abdu al-Majid al-Ghouri, Mu'jam al-Mushthalahat al-Haditsah (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2007), 10.

[10] Mustafa al-Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (USA: American Trust Publication, 2012), 1.

[11] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2015), 2.

[12] Abdu al-Majid al-Ghouri, Mu'jam al-Mushthalahat al-Haditsah, 10.

[13] Musthafa ash-Shiba'i, as-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islamiy (Dar al-Waraq, tt), 65.

[14] Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis (Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, tt), 16.

[15] Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, 16.

[16] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Dewi, 1998), 46.

[17] Asy‘ariyah adalah satu aliran kalam dalam Islam yang dinisbahkan kepada Abu Hasan al-Asy‘ari. Beliau adalah mantan Mu‘tazilah yang membelot. Kelompok Asya‘irah ini menjadikan dalil-dalil akal untuk berargumen membantah musuh-musuhnya dari kalangan Mu‘tazilah, falasifah (aliran filsafat), dan lain-lain. Mereka tidak mengambil hadis-hadis ahad

[18] Mahmud bin Muhammad al-Dahlawi, Ifadhah al-Anwar fi Idha’ah Ushul al-Munar, cet. I, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2002), h. 487.

 

[19] Ibid., h. 488-489.

[20] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 1.

[21] Ibid.

[22] HaidarBagirdanSyafiqBasri, IjtihaddalamSorotan, (Bandung: Mizan, 1996), h.25.

[23] NasrunRusli, KonsepIjtihadasy-SyaukaniRelevansinyabagiPembaruanHukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Logos WacanaIlmu, 1997), h. 110-118.

[24] HaidarBagirdanSyafiqBasri, Ijtihaddalam…, h.25.

Ditulis Oleh : Marzuki Na'ma, S. Kom // Maret 12, 2022
Kategori:

0 comments:

Posting Komentar

 

Wikipedia

Hasil penelusuran

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.