Filsafat Ilmu
Tugas Resume Perkuliahan Keduabelas
Sabtu tanggal 27 November 2021
Dosen :
Ibu Dr. Fatrawati Kumari, M.Hum.
Nama : Marzuki Na’ma
NIM : 210211050114
HUBUNGAN ILMU DAN FILSAFAT AL GHAZALI
A. Biografi Al-Ghazali
Al-Ghazali lahir pada 450 H. (1058 M) di Thus, salah satu kota di Khurasan yang diwarnai oleh perbedaan paham keagamaan, karena kota ini, meskipun didiami oleh mayoritas ummat Islam sunni, juga banyak dihuni oleh orang-orang Kristen dan Islam Syi’ah. Lingkungan pertama yang turut membentuk kesadaran Al-Ghazali adalah lingkungan keluarganya sendiri. Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi.
Pada saat kecil Al-Ghazali mula-mula belajar bebagai keilmuan di Thursi pada Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Razakani (orang tua asuh Al-Ghazali), kemudian ia melakukan perjalaan ke Jurjan untuk menuntut ilmu pada Imama Abi Nasar Al-Ismaili. Setelah mempelajari bebagai macam ilmu di Jurjan, ia berpindah lagi ke Naishabur untuk menimba ilmu pada Imam Dhiya Al-Din al-Juwaini (yang terkenal dengan sebutan Imam Al-Haramain) yang mana menjabat sebagai direktur Madrasah al-Nidzamiyah pada saat itu.[1]
Pada masa inilah (menimba ilmu dengan Imam al-Juwaini) al-Ghazali mendalami fiqih mazhab, usul fiqih, manthiq, ilmu kalam, filsafat hingga ajal memisahkan keduanya. Di Naisabur ini al-Ghazali menonjol kecerdasannya, mendalam, pengamatannya, kuat hafalannya, dapat menyelami makna secara mendalam, dan cakap dalam berdebat.
Setelah Imam al-Juwaini wafat pada 478 H, al Ghazali keluar dari Naisabur menuju Mu’askar, menetap disana sampai diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah al-Nidzamiyah di Baghdad pada 484 H. Di sini al-Ghazali mencapai puncak prestisius karier keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus ulama terkemuka.
· Sumber-sumber Pemikiran Al-Ghazali
Sebagai seorang muslim, al-Ghazali senantiasa mendasari pandangan-pandangannya pada al-Qur’an al Karim dan Hadits, baik secara langsung maupun tidak. Seperti pemikir-pemikir Muslim lainnya, pendasaran pemikirannya kepada al-Qur’an dan Hadits, terlihat leibh banyak tidak bersifat langsung, khsusnya yang berkaitan dengan konsep manusia. Artinya, ketika ia berhadapan dengan teks-teks al-Qur’an dan Hadits, ia tidak dalam keadaan kosong. Di dalam dirinya ada kecendrungan dan pikiran-pikiran dasar yang selanjutnya mempengaruhi pemahamannya terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadits.
Kecenderungan dan pikiran-pikiran dasar itu, pada prinsipnya adalah milik yang menjadi ciri khas pemikirannya. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa ia terlepas dari pemikiran-pemikiran yang ada sebelumnya atau yang berkembang pada masanya.
Pada pandangan-pandangannya yang berkenaan dengan manusia, kelihatan bahwa meskipun menentang pandangan-pandangan para filsuf, beliau banyak mengambil pandangan-pandangan para filsuf itu sendiri, salah satunya Ibnu Sina. Definisi jiwa (al-nafs) yang ditulisnya di dalam Ma’arij al-Quds, dan pembaginnya kepada jiwa vegetative (al-nafs al-nabatiyyat), jiwa sensitive (al-nafs al-hayawaniyyat) dan jiwa manusia (al-nafs al-insaniyyat) hampir tidak berbeda dengan yang dibuat Ibnu Sina di dalam bukunya al-Najat.
Pandangannya yang lain berasal dari filsafat Yunani, melalui filsuf-filsuf Islam adalah tentang pokok keutamaan (ummahat al-fadha’il). Menurut al-Ghazali, inti keutamaan adalah keseimbangan (al-‘adl) antara daya-daya yang dimiliki manusia. Pandangan ini senantiasa dikembalikan asalnya kepada Aristoteles.[2]
Sumber lain yang turut membrerikan sumbangan kepada pemikiran al-Ghazali adalah pandangan dan pengalaman para sufi. Diantara mereka yang secara langsung disebut al-Ghazali adalah Abu Thalib al-Makki, al-Junaid al-Baghdadi, al-Syibli Abu Yazid al-Busthami dan al-Muhasibi.
B. Filsafat Al-Ghazali
Dalam fase awal-awal perkembangan intelektualnya, al-Ghazali banyak berkarya di bidang ilmu-ilmu syariat ketika masih di Baghdad. Namun, setelah itu dalam kurun dua tahun al Ghazali memahami filsafat dengan seksama, hampir setahun ia terus merenungkannya mengulang-ulang kajiannya, dan membiasakan diri dengannya, di samping meneliti kebohongan dan penyelewengan yang terkandung di dalamnya. Pada saat itulah al-Ghazali menyingkap pemalsuan dan tipuan-tipuan, serta membedakan unsur yang benar dan yang cuma khayalan.
Berbicara metafisika, tidak bisa lepas dengan masalah ketuhanan (ilahiyyat). Madkour menyebutkan bahwa dalam masalah ketuhanan, al-Ghazali banyak mengikuti dan membentengi aliran Asy’ariyah. Al-Ghazali sebagaimana penganut al-Asy’ariyah mencoba menselaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia biasa mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain. Namun al-Ghazali menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naql-lah yang bisa melewati batas-batas ini. Meskipun demikian, menurut Ali, argumentasi-argumentasi yang telah dibangun al-Asy’ari mengenai konsep ketuhanan (ilahiyyat) lebih mendekati pada argumentasi yang bersifat filosofis daripada argumentasi agamis. Oleh karenanya, Al-Ghazali kemudian mencoba kepada jalan lain yang dianggapnya lebih agamis, yaitu menempuh jalan tasawuf.
Pandangan tasawuf yang paling utama tampak pada al-Ghazali adalah penempatan al-dzawq di atas akal. Pengutamaan al-dzawq ini diikuti sikapnya yang memperkecil arti kehidupan dunia bagi manusia dalam upaya mencapai kesempurnaan diri. Ia menyebut al-faqr (kemiskinan), al-ju’ (lapar), al-khumul (lemah, lesu) dan al-tawakkul (kepasrahan) sebagai keutamaan-keutamaan.[3]
Di dalam filsafat, pembahasan tentang pengetahuan manusia tidak kurang pentingnya daripada pembahasan tentang perbuatan manusia. Pembahasan demikian disebut epistemologi. Membahas pengetahuan menjadi penting karena pengetahuan adalah hasil aktivitas substansi esensial manusia. Pengetahuan juga penting karena ia merupakan keharusan yang mengawali perbuatan. Perbuatan tidak dapat dibayangkan terwujud tanpa didahului oleh pengetahuan, baik pengetahuan dipandang sebagai sebab maupun sebagai kondisi.
Al-Ghazali di dalam Ma’arij al-Quds menjelaskan arti mengetahui (al-idrak) sebagai menangkap contoh (missal) realitas objektif. Bukan realitas objektifnya yang ditangkap karena, realitas objektif tidak mungkin berpindah ke dalam daya tangkap manusia. Karena itu, yang dinamakan al-mahsus (hasil tangkapan panca indera) bukanlah objek yang ada diluar manusia, melainkan gambar objek itu. Demikian juga yang disebut al-ma’qul (hasil tangkapan akal) bukan objek diluar akal, melainkan hakikat objek itu setelah diabstraksi dari segala aksidens dan atribut-atribut tambahan lainnya. Hasil tangkapan indera lebih sederhana daripada hasil tangkapan akal. Ini berarti bahwa pengetahuan tentang sesuatu bukanlah sesuatu yang diketahui. Kegiatan mengetahui melibatkan tiga hal, yaitu: subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan pengetahuan (realitas subjektif).
Kegiatan mengetahui adalah proses abstraksi. Suatu objek dalam wujudnya tidak terlepas dari aksidens dan atribut tambahan yang menyelubungi hakikatnya. Ketika subjek berhubungan dengan objek yang ingin diketahui, hubungan ini melibatkan ukuran (qadr), cara (kayf), tempat, dan situasi.[4]
Al-Ghazali selanjutnya membagi tahap abstraksi menjadi 4 tahap:
1. Pertama terjadi pada indera. Ketika indera menangkap gambar objek, ia harus berada pada jarak tertentu dari objek dan dalam keadaan tertentu.
2. Kedua terjadi pada al-khayal (imajinasi). Kalau pada indera harus berada pada jarak dan situasi tertentu, pada al-khayal demikian yang seperti itu tidak ada. Maksudnya tidak ada batasan dengan hal tersebut. Al-khayal menangkap gambar objek tanpa melihat, tetapi tangkapannya masih meliputi aksiden dan atribut tambahan seperti kualitas dan kuantitas.
3. Ketiga terjadi pada al-wahm (alam pemikiran manusia). Di sini yang ditangkap bukan lagi gambar objek, melainkan makna abstrak dari objek tertentu tersebut terlepas dari atribut dan aksiden.
4. Keempat terjadi pada akal, oleh al-Ghazali disebut al-tajrid al-kamil karena pada tahap ini abtraksi telah melepaskan seluruh yang berkaitan dengan materi dan aksiden.[5]
Proses abstraksi ini memperlihatkan indera sebagai pintu masuk pengetahuan dan akal sebagai tempat pengetahuan tertinggi. Indera, al-khayal, al-wahm dan akal, berdasarkan gambaran diatas tidak sekadar tempat pengetahuna, tetapi juga mengolah pengetahuan yang diperoleh dari tahap sebelumnya, sesuai dengan spesifikasi masing-masing. Hubungan indera dengan objek senantiasa dalam keadaan tertentu. Indera tnetunya tidaklah menangkap objek sebagai mana adanya; ia hanya mengkapnya sebagaimana ia berhubungan dengannya.
Al-khayal dan al-wahm pun belum menangkap informasi yang paling mendasar dari objek. Informasi yang mendasar itu ditangkap oleh akal. Pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya disebut tasawwur dan pada akal lah tashawwur terwujud. Pengetahuan dalam bentuk tashawwur masih bersifat sederhana, dalam arti belum tersusun. Pengetahuan di sini baru berupa pengetahuan tentang hubungan konsep-konsep yang disebut tashdiq (persetujuan).
C. Hubungan Ilmu dan Filsafat Al-Ghazali
Filsafat berkembang menjadi pembicaraan tentang hal-hal yang abstrak dan tidak terlihat. Hal abstrak ini biasanya seperti nilai-nilai, ide, pemikiran, dan sistem di masyarakat perkembangan merubah realitas mengenai awal mula terbentknya filsafat . Adanya filsafat yang berupa realitas abstrak maka mulai muncul pemikiran-pemikiran dari filsafat yang akhirnya menjadi landasan sebuah kehidupan di masyarakat atau menjadi cara pandang hidup seseorang.
Antara ilmu dan filsafat tidak bisa dipisahkan. Al-Ghazali menyimpulkan bagaimana tahapan munculnya pengetahuan sebagai berikut:
1. Pengetahuan aksiomatis yang datang dengan sendirinya pada usia tertentu.
2. Pengetahuan dalam bentuk tashawwur dan tashdiq (pembenaran).
3. Pengetahuan abstrak murni yang diperoleh tidak melalui proses abstraksi, seperti pengetahuan tentang hakikat-hakikat yang tidak mempunyai realitas dalam jangkauan panca indera. Semua pengetahuan ini diketahui oleh akal. Kedudukan akal sebagai daya yang tertinggi pada manusia. Pengetahuan tentang hakikat-hakikat murni pun dicapai oleh akal melalui limpahan dari akal aktif.
0 comments:
Posting Komentar