MATA KULIAH Studi Al-Qur’an Hukum Keluarga |
DOSEN PENGAMPU 1. Prof Dr. H. Fauzi Aseri, MA 2. Dr. H. M. Hanafiah, M.Hum |
KONSEP MAHAR DALAM AL-QUR’AN
(Qur’an Surah An-Nisa : 4, 20-21)
OLEH
Marzuki Na’ma
NIM : 210211050114
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan berkah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga makalah yang berjudul Konsep Mahar dalam Al-Qur’an ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penyaji/Penulis
Marzuki Na’ma
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqih sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan. Para ulama sepakat bahwa mahar merupakan syarat nikah dan tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya.1
Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan bukan diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjual belikan, sehingga perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri atau walinya pun dengan semena-mena boleh menghabiskan hak-hak kekayaannya.2
Dalam syariat Islam, wanita diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-laki membayar mahar jika menikahinya.
1 Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Penerjemah: M. A. Abdurrahman dan A. Harits Abdullah, Semarang: CV. Asy. Syifa’, 1990, hlm. 385.
2 Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah 2, Ter. Nor Hasanudin, Cet 1. Jakarta: Pena Pundi Aksara 2006.hlm. 40
Pengangkatan hak-hak perempuan pada zaman Jahiliyah dengan adanya hak mahar bersamaan pula dengan hak-hak perempuan lainnya yang sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana adanya hak waris dan hak menerima wasiat.3
Salah satu keistimewaan Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu dengan memberikan hak untuk memegang dan memiliki sesuatu. Setelah itu, Islam datang dengan menghilangkan belenggu tersebut, kemudian istri diberi hak mahar (maskawin), dan kepada suami diwajibkan untuk memberikan mahar kepada istrinya, bukan kepada ayahnya atau siapapun yang dekat denganya. Dan orang lain tidak boleh meminta harta bendanya walaupun sedikit, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan mendapatlkan ridho kerelaan istri.4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan makalah ini, maka dirumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimana Kedudukan Mahar dalam Agama Islam?
b. Bagaimana Kadar dan Macam-macam Mahar?
C. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini tentunya mempunyai tujuan sebagaimana dimaksud :
a. Untuk mengetahui dan memahami Kedudukan Mahar dalam Agama Islam.
b. Untuk mengetahui dan memahami Kadar dan Macam-macam Mahar.
3 Amin Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:Prenada Media,cet 1.2004) hlm. 54.
4 Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat,”seri buku daras”, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 84-85.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Mahar
1. Q.S An-Nisa Ayat 4
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
Artinya :
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”.
Para ulama mufassirin berbeda pendapat, apakah konteks ayat ini ditujukan kepada suami atau wali perempuan. Melihat riwayat sababun nuzulnya, Surat An-Nisa ayat 4 ini ditujukan kepada para wali perempuan agar tidak menguasai mahar ketika menikahkan anaknya. Imam Jalaluddin As-Suyuthi (849-991 H/1445-1505 M) meriwayatkan:
أَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ إِذَا زَوَّجَ ابْنَتَهُ أَخَذَ صَدَاقَهَا دُونَهَا فَنَهَاهُمُ اللهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَنْزَلَ: وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Artinya, “Ibn Abi Hatim mentakhrij riwayat dari Abu Shalih, ia berkata, ‘Ada seorang laki-laki ketika menikahkan anak perempuannya maka ia mengambil maharnya tanpa diberikan kepadanya. Kemudian Allah melarang mereka dari perbuatan tersebut dan Allah menurunkan ayat, ‘Wa ātun nisā’a shaduqātihinna nihlah.’’5
Namun menurut Imam Abu Ja’far At-Thabari (224-310 H/839-923 M), yang tepat adalah Surat An-Nisa ayat 4 ini ditujukan kepada para suami agar memenuhi mahar istrinya.
5 (Jalaluddin As-Suyuthi, Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, [Beirut, Muassasatul Kutub At-Tsaqafah: 1422 H /2002 M], cetakan pertama, halaman 71)
Sebab ayat sebelumnya berbicara terhadap suami agar berperilaku adil terhadap istri, dan tidak ada petunjuk apapun yang dapat mengalihkan ayat keempat ini keluar dari konteks tersebut. Pemahaman seperti inilah yang kemudian menjadi pemahaman yang lebih jelas, lebih shahih, serta sesuai dengan lahiriah Surat An-Nisa ayat 4. Selain itu, pemahaman ini yang disepakati oleh mayoritas ulama.6
2. Q.S An-Nisa Ayat 20-21
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا 20 وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا 21
Artinya :
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Dan bagaimana kamu akan mengambil kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah megambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu. (QS. An-Nisa’: 20-21)”.
6 (Ibnu Jarir At-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, [ttp, Muassasatur Risalah: 1420 H/2000 M], juz VII, halaman 552-554)
B. Tafsir Ayat tentang Mahar
1. Q.S An-Nisa Ayat 4
Surat An-Nisa ayat 4 ini mengandung dua hal pokok. Pertama, kewajiban suami memberi maskawin kepada istri yang frasenya وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً “Berikanlah wanita-wanita yang kalian nikahi maskawinnya secara suka rela”. Namun ulama mufassir berbeda pendapat dalam memaknai kata nihlah. Apakah maknanya sebagai kewajiban, sebagai pemberiaan dan hibah, atau dari kesenangan hati (‘an thibi nafsin).
Ibnu Abbas, Qatadah Ibnu Juraid, dan Ibnu Zaid menafsirkan bahwa makna nihlah pada Surat An-Nisa ayat 4 adalah kewajiban. Sebab secara bahasa kata “nihlah” bermakna agama, syariat dan mazhab sehingga substansi makna ayat adalah “Berikanlah kepada para wanita mahar-mahar mereka karena hal itu merupakan ajaran agama yang wajib dilakukan.”
Al-Kalbi menafsirkan nihlah pada Surat An-Nisa ayat 4 dengan makna pemberian dan hibah sehingga substansi makna ayat adalah “Berikanlah kepada para wanita mahar-mahar mereka, karena mahar merupakan pemberian.”
Dalam pendapat ini, suami tidak mendapatkan timbal balik hak kepemilikan apapun dari pemberian mahar tersebut. Budhu’ (kelamin) istri tetap dalam posisi semula milik istri. Suami hanya diperbolehkan memanfaatkannya, bukan berarti ia memilikinya dengan ditukar mahar.
Sementara Abu Ubaidah menafsirkan kata “nihlah” dengan makna dari kesenangan hati. Sebab kata “nihlah” secara bahasa tidak hanya bermakna pemberian, namun pemberian tanpa imbalan apapun sehingga substansi makna ayat adalah “Berikanlah kepada para wanita mahar-mahar mereka karena hal itu merupakan pemberian dari kesenangan hati, atau dari kerelaan.” Artinya, Allah memerintahkan suami untuk memberikan mahar kepada istrinya tanpa tuntutan imbalan apapun darinya.7
7 (Fakhruddin MuhammadAr-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], juz IX, halaman 147).
2. Q.S An-Nisa Ayat 20
Ayat ini memuat dua pembahasan. Pembahasan pertama, larangan Al-Qur’an kepada para suami dari mengambil kembali sedikitpun mahar yang telah diberikan kepada istrinya, yaitu ketika ia ingin menceraikannya dan menggantinya dengan wanita lain. Inilah substansi frasa ayat:
وَإِنْ
أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ
قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
Artinya, “Jika kalian menghendaki menggantikan seorang istri pada posisi istri lainnya, sementara kalian telah memberikan kepada salah satu dari para istri itu harta yang banyak (sebagai mahar), maka jangan kalian ambil kembali sedikitpun harta itu.”
Imam Fakhruddin Ar-Razi mengutip riwayat yang berkaitan dengan konteks ayat ini:
رُوِيَ أَنَّ الرَّجُلَ مِنْهُمْ إِذَا مَالَ إِلَى التَّزَوُّجِ
بِامْرَأَةٍ أُخْرَى رَمَى زَوْجَةَ نَفْسِهِ بِالْفَاحِشَةِ حَتَّى يُلْجِئَهَا
إِلَى اْلاِفْتِدَاءِ مِنْهُ بِمَا أَعْطَاهَا لِيُصْرِفَهُ إِلَى تَزَوُّجِ
الْمَرْأَةِ التَّيِ يُرِيدُ هَا
Artinya, “Diriwayatkan sungguh lelaki dari golongan Jahiliyah ketika ingin menikahi wanita lain maka ia menuduh istrinya sendiri telah melakukan kekejian sehingga kondisi seperti itu memaksa istrinya untuk menebus diri dari suaminya dengan memberikan mahar yang telah diberikan suami kepadanya agar suaminya tidak jadi menikahi wanita lain tersebut.”
Ar-Razi juga menjelaskan bahwa jika nusyûz dilakukan oleh suami, maka ia dilarang untuk mengambil kembali sedikitpun mahar yang telah diberikan kepada istrinya. Namun bila kemudian ternyata benar-benar terjadi khulu’, yaitu istri benar-benar menuntut cerai dengan membayar tebusan, maka suami mempuyai hak milik atas harta tebusan tersebut. Hal ini seperti kasus jual beli waktu azan Jum’at. Meskipun haram, namun jika benar-benar terjadi maka jual beli itu sah dan dapat memindahkan hak kepemilikan barang yang diperjualkan.8
8 (Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], juz X, halaman 12-13).
Pembahasan kedua, penegasan Al-Qur’an bahwa perbuatan suami mengambil mahar yang telah diberikan kepada istri dalam kasus tersebut merupakan kezaliman dan dosa yang sangat nyata, yang dalam frasa ayat:
أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Artinya, “Apakah kalian akan mengambilnya dengan kezaliman dan dosa yang sangat jelas?” (An-Nisa’ ayat 19). Pertanyaan dalam ayat adalah pertanyaan dengan maksud mengingkari perbuatan tersebut, atau yang dikenal dengan istilah istifham inkari. Maksudnya, semestinya hal itu tidak dilakukan karena sangat jelas keburukannya menurut syariat maupun akal sehat.9
3. Q.S An-Nisa Ayat 21
Ayat ini merupakan kelanjutan ayat sebelumnya, yang membahas ‘illat atau alasan larangan bagi suami mengambil mahar yang telah diberikan kepada istrinya, ketika ia berkeinginan menikahi wanita lain. Al-Qur’an mengingkari perbuatan suami tersebut sebagaimana dalam frasa ayat: كَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ
Artinya, “Bagaimana kalian mengambil mahar yang telah kalian berikan itu. Sementara sebagian kalian telah bersetubuh dengan sebagian yang lain.” Syekh Nawawi Al-Bantani menafsirkan, bagaimana boleh suami mengambil kembali mahar itu sementara antara ia dan istrinya telah berkumpul dalam satu kain. Istri telah menyerahkan diri kepadanya untuk menjadi kenikmatan seksual bagi suami dan telah terjalin kasih sayang yang sempurna di antara keduanya. Maka tidak pantas bagi suami yang berakal sehat mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya.10
Frasa ayat ini juga membawa pemahaman bahwa larangan suami mengambil mahar yang telah diberikan kepada istri berlaku bila di antara mereka telah terjadi persetubuhan. Jika belum terjadi persetubuhan dan terjadi perceraian, maka suami berhak mendapatkan kembalian separuh mahar. Demikian ini pendapat Imam As-Syafi’i.
9 Ibid Hal 13
10 (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Beirut, Darul-Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 160).
Sementara menurut Imam Malik meskipun di antara suami istri belum terjadi persetubuhan namun sudah terjadi khalwat atau berduaan di tempat sepi yang memungkinkannya untuk bersetubuh, maka suami tetap tidak berhak mengambil kembali mahar tersebut. 11
Kemudian di akhir ayat Al-Qur’an menyatakan ketidakpantasan suami mengambil kembali mahar tersebut karena sudah ada perjanjian yang sangat kuat di antara suami istri, yang ditegaskan dalam frasa ayat: وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا Artinya, “Para istri telah mengambil janji yang sangat kuat dari kalian?” Imam As-Suyuthi menegaskan, maksudnya adalah perjanjian kuat yang Allah perintahkan untuk mempertahankan wanita sebagai istri secara baik atau mencerainya secara baik pula.12
11 (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hāsyiyyatus Shāwi ‘ alā Tafsirīl Jalālain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 280).
12 (Jalâluddîn Al-Mahalli dan Jalâluddîn As-Suyûthi, Tafsîrul Jalâlain pada Hâsyiyyatus Shâwi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 279).
C. Kedudukan Mahar dalam Islam
Kantor Urusan Agama (KUA) dalam melaksanakan akad nikah berpedoman pada dua pertimbangan hukum, yakni hukum perkawinan Islam yang dijelaskan melalui fiqh munakahat dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kedudukan mahar menjadi syarat sahnya perkawinan karena tidak ada hukum perkawinan dan undang-undang yang menyatakan bahwa perkawinan sah walaupun tanpa mahar. Kedua hukum yang berlaku menyatakan bahwa mahar harus ada secara mutlak dalam perkawinan. Keharusan adanya mahar dalam perkawinan yang mewajibkan calon suami memberi mahar kepada calon istrinya disebabkan oleh dua hal. Pertama: Adanya firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 4 dan hadis hadis Rasulullah SAW
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِﷲِ ٲَنَّ رَسُوْلَ ﷲِص٠م٠قاَلَ لَوْأَنَّ رَﺟُﻼًأَعْطَى اِمْرَأَةً صَدَاقًامِلْ اَيَدَيْهِ طَعاَماً كاَنَتْلَهُ (رواه احمدوأبوداود)) حَلاَلاً٠
Artinya:“Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW. telah bersabda, ‘Seandainya seorang laki-laki memberi makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang perempuan, sesungguhnya perempuan itu halal baginya.” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud).
Dalam KHI Pasal 27 dikatakan bahwa ijab dab qabul antara wali dengan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Kekeliruan penyebutan mahar sama dengan “tidak jelas” dalam mengucapkan ijab qabul yang akan merusak sighat akad nikah secara keseluruhan, sehingga wajib untuk diulang. 13
Dalam perspektif fiqh munakahat, pelaksanaan akad nikah
dalam konteks kedudukan mahar dalam perkawinan yang dilaksanakan di KUA adalah
sebagai tindakan yang berhati-hati dalam melaksanakan hukum Islam dan
undang-undang yang berlaku. Disebabkan perkawinan merupakan perjanjian yang
sakral yang harus diakadkan secara sempurna dengan dan atas nama Allah SWT.
dengan tidak memandang sepele terhadap kekeliruan yang terdapat dalam kalimat
ijab dan qabul.
13 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 27
D. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri oleh suami harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Harga berharga.
Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat.
Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
3. Barangnya bukan barang ghasab.
Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasilghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.
Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.14
E. Macam-macam Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar dapat dibedakan menjadi dua yaitu mahar musamma dan mahar mitsil. Berikut ini adalah perbedaannya:
1. Mahar Musamma
Mahar musamma merupakan mahar yang telah jelas dan ditetapkan dalam akad. Artinya nilai serta kadarnya telah disepakati antara suami dengan istri.
Para ulama sepakat bahwa membayar mahar menjadi wajib apabila telah berkhalwat (bersepi-sepian atau berdua-duaan). Mahar juga wajib dibayar meskipun pernikahan rusak karena sebab tertentu jika telah bersenggama. Namun apabila terjadi perceraian sebelum bercampur, maka suami hanya wajib membayar mahar setengahnya saja. Hal ini tercatum dalam Al Baqarah ayat 237 yang berbunyi:
14 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4, h. 103
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.”
2. Mahar Mitsil
yakni kebalikan dari mahar musamma yaitu mahar yang belum disebutkan dalam akad pernikahan dan bisa jadi belum disepakati nilainya. Mahar jenis ini akan ditetapkan jika sang istri menuntut pemberian mahar namun sang suami belum menetapkannya atau mahar belum ditetapkan setelah akad namun sang suami terlanjur meninggal.
Di antara sebab adanya mahar mitsl ini sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawudm Imam Tirmizi, Imam Ahmad, dan Imam An-Nasai yaitu ketika Nabi ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita. Lelaki tersebut belum menentukan mahar dan juga belum menggaulinya lalu meninggal. Ibnu Mas’ud pun menjawab:
“Wanita itu berhak mendapatkan mahar yang sama (mahar mitsl) dengan mahar istri lainnya, tanpa dikurangi atau ditambah. Dia harus menjalani masa iddah dan dia mendapatkan harta warisan”.
Lantas Ma’qil bin Sinan Al-Asyjar’I berdiri sambil berkata: “Rasulullah SAW telah memberi keputusan hukum mengenai Barwa binti Wasyiq, salah seorang dari kaum kami seperti yang engkau putuskan,”. Mendengar hal itu, Ibnu Mas’ud pun merasa senang.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas.
Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan bukan diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya.
Para ulama telah sepakat bahwa mahar itu wajib diberikan oleh suami kepada istrinya, baik kontan maupun dengan cara tempo. Pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad perkawinan, tidak dibenarkan menguranginya. Akan tetapi, jika suami menambahnya, itu lebih baik dan sebagai sedekah, sedangkan yang dicatat sebagai mahar secara mutlak adalah mahar yang jenis dan jumlahnya sesuai yang disebutkan pada waktu akad nikah.
Seorang suami tidak berdosa apabila menceraikan istrinya sebelum menyetubuhinya dan belum pula menetapkan jumlah maharnya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika terdapat syarat nikah tanpa mahar sama sekali, perkawinannya batal.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Penerjemah: M. A. Abdurrahman dan A. Harits Abdullah, Semarang: CV. Asy. Syifa’, 1990.
Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah 2, Ter. Nor Hasanudin, Cet 1. Jakarta: Pena Pundi Aksara 2006.
Amin Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:Prenada Media,cet 1.2004)
Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat,”seri buku daras”, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Jalaluddin As-Suyuthi, Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, [Beirut, Muassasatul Kutub At-Tsaqafah: 1422 H /2002 M], cetakan pertama.
Ibnu Jarir At-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, [ttp, Muassasatur Risalah: 1420 H/2000 M], juz VII.
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], juz IX.
Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Beirut, Darul-Fikr: 1425 H/2006 M], juz I.
Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hāsyiyyatus Shāwi ‘ alā Tafsirīl Jalālain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I.
Jalâluddîn Al-Mahalli dan Jalâluddîn As-Suyûthi, Tafsîrul Jalâlain pada Hâsyiyyatus Shâwi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 27
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah.
0 comments:
Posting Komentar