Mata kuliah Dosen pengampu
Studi Hukum Kewarisan di Indonesia 1.Prof Fahmi Al-Amruji M.hum
2.Dr.H.sukris sarmadi SH.MH
Problematika Kewarisan dan harta Bersama Di Indonesia
OLEH
MISBAHUDDIN
NIM 210211050115
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji Allah, Tuhan semesta Alam yang telah melimpahkan rahmat serta ilmu pengetahuan bagi seluruh ummat manusia, sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini untuk mata kuliah Studi Hukum waris Di Indonesia dan beberapa negara dalam studi Program S2 ilmu hukum keluarga di UIN antasari tahun 2021.
Penulis sangat menyadari dalam penyajian makalah ini banyka sekali kekurangan dari segi penulisan maupun dalam hal pembahasan tema atau topic, oleh karenanya Penulis sangat berharap adanya masukan yang membangun kepada penulis, agar depan menjadi pembelajaran yang berarti bagi Penulis dalam hal penulisan makalah selanjutnya, dan penulis berharap penulisan makalah ini dapat bermamfaat bagi penulis dan pembaca makalah ini. Terimakasih
Penulis
Misbahuddin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................................................................................................................................... 4
A.RUMUSAN MASALAH................................................................................................................................................................................................................................................. .5
C.TUJUAN...................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
1. Penerapan Hukum Waris Diindonesia
A. Pengertian hukum Waris............................................................................................................................................................................................................................. 6
B.Pluralisme Hukum waris di Indoneisa
Hukum Waris Adat .................................................................................................................................................................... 7.
Prinsip pembagian waris dalam hukum adat.................................................................. 7
Hukum Waris berdasarkan Kitab Undang- undang Hukum Perdata (BW)
A.Pengertian waris menurut Undang-undang Hukum Perdata.......................................................................................................................................... 10
B.Prinsip Pembagian waris Menurut KUHPerdata................................................................................................................................................................................... 12
Hukum Waris Islam
A.PengertianWaris Dalam Islam ..................................................................................................................................................................... 13
B.Prinsip Pembagian Waris dalam Hukum Kewarisan Islam..................................................................................................................................................... 14
C.Sebab Kewarisan dalam islam.............................................................................................................................................................. 14
2. Penerapan Hukum dalam Harta Bersama
A. Harta Bersama Menurut Hukum Islam................................................................................................................................................................................................ 16
B. Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974........................................................................................................................................................................................................ 17
C. Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek ........................................................................................................................................ 17
D. Kompilasi Hukum Islam..................................................................................................................................................................... 18
Macam-Macam Harta dalam Perkawianan........................................................................................................................................................................... 19
Pembagian Harta Bersama dalam Hukum Islam......................................................................................................................................................................... 20
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................................................
Daftar Pustaka
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum keluarga. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.1 Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.
Keberadaan Hukum waris di Indonesia hingga kini masih sangat pluralistik (beragam). Di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Keanekaragaman hukum ini semakin terlihat karena hukum waris adat yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam mengikuti bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia.,-
Seperti halnya pula harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang di hasilkan oleh suami istri selama mereka diikati oleh tali perkawinan, atau dengan perkataan lain disebutkan bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan syirkah antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat di beda-bedakan
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35).
Adanya Harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing- masing suami istri. Harta bersama tersebut dapat berupa benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, sedang yang tidak berwujud bisa berupa hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Suami istri, tanpa persetujuan dari salah satu pihak, tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut. Dalam hali ini, baik suami istri, mempunyai pertanggung jawaban untuk menjaga harta bersama.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Aspek yuridis Formil tentang kewarisan dan Harta Bersama Di Indonesia
2. Bagaimana Penerapan Yuridis formil menganai waris dan harta Bersama keterkaitan dengan Hukum adat
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui Legal Formil Yentang kewarisan dan Harta Bersama Di Indonesia
2. Mengetahui penerapan Hukum dimasyarakat keterkaitan dengan hukum adat
BAB II
PEMBAHASAN
1. Penerapan Hukum Waris Di Indonesia
A. Pengertian Hukum Waris
Bahwa hukum waris di Indonesia masih beraneka warna coraknya, dimana tiap- tiap golongan penduduk tunduk kepada hukumnya masing- masing. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan tentang arti dan makna hukum waris. Namun demikian, apabila berbicara mengenai hukum waris, maka pusat perhatian tidak terlepas dari 3 (tiga) unsur pokok yakni:
Ø adanya harta peninggalan (kekayaan) pewaris yang disebut warisan;
Ø adanya pewaris yaitu orang menguasai atau memiliki harta warisan dan mengalihkan atau meneruskannya;
Ø adanya ahli waris, orang yang menerima pengalihan (penerusan) atau pembagian harta warisan itu.
Beberapa pengertian hukum waris:
Menurut H. Abdullah Syah dalam hukum kewarisan Islam (hukum faraidh), pengertian hukum waris menurut istilah bahasa ialah takdir (qadar/ketentuan bagian yang diqadarkan/ditentukan bagi waris. Dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli waris [1]
Menurut Soepomo ditinjau dari hukum adat, pengertian hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang yang tidak berwujud kepada garis keturunannya[2]
Berdasarkan beberapa pengertian diatas bisa disimpulkan bawwasanya hukum waris adalah hukum, yang mengatur peralihan barang baik barang dari Pewaris kepada ahli waris baik barang bergerak maupun tidak bergerak kepada kepada garis keturunannya dikarenakan adanya hubungan darah, maupun hubungan perkawinan,-
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulannya bahwasanya dalam hal Hukum waris ada hal hal yang mestui dipenuhi dalam pelaksanannya
1. Orang yang mewariskan harta benar-benar telah meninggal dunia. ...
2. Ahli waris yang akan mendapat warisan benar-benar hidup, meskipun masa hidupnya hanya sebentar saja.
3. Diketahui dengan jelas hubungan ahli waris dengan si mayit.
B. Pluralitas Hukum Waris di Indonesia
Hukum waris tunduk kepada hukum yang di anut oleh pewaris. Sistem hukum waris yang dianut di Indonesia meliputi: Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Berikut ini paparan mengenai pengaturan waris menurut ketiga hukum tersebut.
Hukum Waris Adat
Hukum waris adat merupakan hukum lokal suatu daerah ataupun suku tertentu yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-masyarakat daerah tersebut. Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda Pandangan hukum adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya :
A. Persekutuan genealogis (berdasarkan keturunan)
Dalam persekutuan yang geneologis, anggota-anggotanya merasa diri terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama, sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga. Dalam persekutuan geneologis ini terbagi pula menjadi tiga tipe tata susunan yaitu patrilineal (kebapaan), matrilineal (keibuan) dan parental (bapak-ibu). Persekutuan genelogis lebih banyak digunakan desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah melayu Sumatera. Menurut sistem patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang merupakan pancaran dari bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan anak cucu. Dalam hal ini perempuan tidak menjadi saluran darah yang menghubungkan keluarga. Wanita yang kawin dengan laki-laki ikut dengan suaminya dan anaknya menjadi keluarga ayahnya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo, Batak dan sebagian di Lampung, Bengkulu, Maluku dan Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini lebih mementingkan keturunan anak laki-laki daripada anak perempuan.
B. Persekutuan territorial (berdasarkan kependudukan)
Sementara persatuan hukum territorial anggota-anggotanya merasa terikat satu sama lain karena mereka bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama. Sedangkan persekutuan hukum yang dipengaruhi territorial terdapat di beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut Uma, di Nias disebut Euri di Minangkabau disebut dengana Nagari dan di Batak disebut Kuria atau Huta.
Prinsip pembagian waris dalam hukum adat
Ø Bahwa pembagian harta waris tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka. Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada, yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga
Ø Prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling) yang menyatakan bahwa jika seorang anak sebagai ahli waris dari ayahnya, dan anak tersebut meninggal dunia maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan warisan dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya
Hukum Waris berdasarkan Kitab Undang- undang Hukum Perdata (BW)
A. Pengertian waris menurut Undang-undang Hukum Perdata
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengatakan: Bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturan peraturan yang mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. [3]
Sedangkan Subekti dalam Pokok-pokok Hukum Perdata tidak menyebutkan definisi hukum kewarisan, hanya beliau mengatakan asas hukum waris, menurut Subekti: Dalam Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku satu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Oleh karena itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepribadian misalnya hak-hak dan kewajiban sebagai seorang suami atau sebagai seorang ayah tidak dapat diwariskan, begitu pula hak-hak dan kewajibankewajiban seorang sebagai anggota sesuatu perkumpulan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro Mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, bahwa pengertian kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan unsur, yaitu: Ke 1: Seorang peninggal warisan atau “erflater” yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai di mana hubungan seseorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana si peninggal warisan berada; Ke 2: Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu, menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di mana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris; Ke 3: Harta warisan (halatenschap), yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada ahli waris itu; menimbulkanpersoalan bagaimana dan sampai di mana ujud kekayaan yang beralihitu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana sipeninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada.
Dalam sistem hukum waris menurut versi KUH Perdata, dikenal dua macam ahli waris, yaitu:
1. Ahli waris karena kedudukannya sendiri (dalam bahasa Belanda uit eigen hoofde), dan
Bahwa dimaksud dengan ahli waris karena kedudukannya sendiri adalah para ahli waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 852 ayat (1) KUH Perdata, yaitu anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sama atau dari perkawinan yang berlain-lainan yang mewaris kepadakedua orang tuanya, kepada kakek/ nenek dan keluarga selanjutanyamenurut garis lurus ke atas, dengan tidak membedakan antara laki-lakidengan perempuan, atau antara yang lahir terlebih dahulu dengan yanglahir kemudian. Demikian juga hak suami atau istri yang ditinggalkan,yang mendapat bagian sebesar seorang anak yang sah dari pewaris(vide Pasal 852 (a) KUH Perda
Hak istri atau suami untuk mewari sdari pewaris (suami atau istrinya) ini baru diakui di Belanda sejak tahun1923, dan di Indonesia sejak tanggal 1 januari 1936 melalui S. 1935-486, yang kemudian memunculkan Pasal 852 (a) KUH Perdata.Selanjutnya, jika pewaris tidak meninggalkan keturunan maupun suami/ istrinya, tetapi meninggalkan ayah/ ibunya, serta saudara-saudaranya dalam garis menyamping, maka harta akan jatuh kepada saudara-saudara dan ayah/ ibunya tersebut (vide Pasal 854 KUHPerdata).
2. Ahli waris karena pergantian tempat (dalam bahasa Belanda bij plaatsvervulling).
Di samping ahli waris karena kedudukannya sendiri, terdapat juga ahli waris karena pergantian tempat (bij plaatsvervulling). Yang dimaksudkan dengan ahli waris karena pergantian tempat adalah orang yang mewaris yang sebenarnya bukan ahli waris, tetapi kedudukannya berubah menjadi ahli waris karena yang seharusnya menjadi ahli waris lebih dahulu meninggal dunia dari pewaris.
Misalnya seorang ayah meninggal dunia, tetapi ada anaknya yang lebih dahulu meninggal dunia, tetapi dari anak yang lebih dahulu meninggal dunia terdapat cucu-cucunya (cucu-cucu dari pewaris). Maka dalam hal ini, cucu-cucu dari pewaris tersebut mendapatkan hak sebesar hak orang tuanya seandainya orang tuanya tersebut masih hidup. Akan tetapi jika semua anak-anak dari pewaris sudah meninggal dunia, dan yang tinggal adalah cucu-cucu dari beberapa anak tersebut,. Maka semua cucu cucunya tersebut mendapatkan hak yang sama besar (sama besar per kepala), tanpa melihat berapa hak dari orang tua mereka seandainya orang tua mereka masih hidup. Hak-hak untuk pergantian tempat seperti ini hanya berlaku bagi anak/cucu (garis lurus ke bawah), tetapi tidak berlaku bagi keturunan dari istri/ saudara-saudaranya dan juga keturunan lurus ke atas (ayah/ kakek/ nenek), vide Pasal 843 KUH Perdata.5 Mewaris berdasarkan penggantian, yakni pewarisan di mana ahli waris mewaris menggantikan ahi waris yang dahulu dari pewaris. Dalam mewaris berdasarkan penggantian tempat ahli waris artinya mereka yang mewaris berdasarkan penggantian tempat, mewaris pancang demi pancang (Pasal 852 ayat (2) KUHPerdata). Pasal 841 KUHPerdata: “Pergantian memberi hak kepada seseorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti”. Pasal 841 KUHPerdata ini dengan jelas mengatakan, bahwa memberi hak kepada seseorang untuk menggantikan hak-hak dari orang yang meninggal dunia. Orang yang menggantikan tempat tersebut memperoleh hak dari orang yang digantikannya
B. Prinsip Pembagian waris Menurut KUHPerdata
Pada dasarnya proses beralihnya kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu
1. Ada seseorang yang meninggal dunia
2. Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
3. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa, apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya.
Menurut Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata, ada 4 (empat) golongan ahli waris yaitu:
ü Golongan I: anak sah, suami istri yang hidup paling lama, termasuk istri kedua atau suami keduadan seterunya (Pasal 852 jo Pasal 852a KUHPerdata).
ü Golongan II: Orang tua dan saudara-saudara sekandung, seayah atau seibu (Pasal 854 jo Pasal 857 KUHPerdata).
ü Golongan III: Sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas baik dalam garis ayah, maupun ibu. Secara singkat dapat dikatakan, kakek-nenek dari pihak ayah dan kakek-nenek dari pihak ibu (Pasal 853 KUHPerdata). 9
ü Golongan IV: Keluarga sedarah ke samping sampai derajat (Pasal 861 jo Pasal 858 KUHPerdata). Mereka ini adalah saudara sepupu dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Jika keempat golongan ahli waris ab intestato ini tidak ada, maka harta warisan jatuh ke negara bukan sebagai ahli waris, [4]
Hukum Waris Islam
A. PengertianWaris Dalam Islam
Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.[5] dan juga berbagai aturan tentang perpidahan hak milik, hak milik yang dimaksud adalah berupa harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain waris disebut juga dengan fara‟id. Yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya dan yang telah di tetapkan bagianbagiannya.
Adapun beberapa istilah tentang waris yaitu :
· Ahli Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan
· Mawarrits ( Pewaris ) , ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu orang yang meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), Al-Irts, ialah harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah diambil untuk keperluan pemeliharaan zenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan utang, serta pelaksanaan wasiat.
· Waratsah, ialah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
· Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan zenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiyat yang dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.
B. Prinsip Pembagian Waris dalam Hukum Kewarisan Islam.
Dalam kewarisan Islam ada beberapa Prinsip atau asas yang berkaitan dengan peralihan harta kepada ahli warist, cara pemililkan harta oleh yang menerima kadar jumlah harta dan waktu terjdinya peralihan harta. Asas-asas tersebut yaitu:
1. Asas Ijbari
Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli warisnya dan asas ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: Dari segi pewaris, mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya dibatasi oleh ketentuan yang di tetapkan oleh Allah. Ketentuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan al-Quran surat An-nisa ayat : 7
2. Asas Individual
Yang dimaksud asas individual ini adalah, setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang secara garis besar menjelaskan bahwa anak laki-laki maupun prempuan berhak meerima warisan dari orang tuanya dan karib kerabatnya
3. Asas Keadilan Berimbang
Yang dimaksud asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara antara hak dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan.
4. Kewarisan Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan pewarisan[6]
C. Sebab Kewarisan dalam islam
Sebab- Sebab Adanya Hak Kewarisan Dalam Islam. Ada beberapa sebab dalam kewarisan dalam islam terkait hak seseorang mendapatkan warisan
1. Hubungan Kekerabatan. Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah, dan,adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran, seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkannya dan si anak mempunyai hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya. Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya ditentukan oleh adanya akad nikah yang sah antara ibunya dengan ayahnya,
2. Hubungan Perkawinan. Kaitan hubungan perkawinan dengan hukum kewarisan Islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menurut Islam. Apabila seorang suami meninggalkan harta warisan dan janda, maka istri yang dinggalkan itu termasuk ahli warisnya demikian pula sebaliknya .
3. Al-Wala‟ (Memerdekakan Hamba Sahaya atau Budak)
Al-Wala‟ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya, atau melelui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terakhir ini, agaknya jarang dilakukan jika malah tidak ada sama sekali. Adapun al-wala‟ yang pertama disebut dengan wala‟ al-„ataqah atau „ushubah sababiyah, dan yang kedua disebut dengan wala‟ al-mualah, yaitu wala‟yang timbul akibat kesedihan seseorang untuk tolong menolong dengan yang lain melalui suatu[7]
2. Penerapan Hukum dalam Harta Bersama
A. Harta Bersama Menurut Hukum Islam
Dalam kitab-kitab fiqih tradisional, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang di hasilkan oleh suami istri selama mereka diikati oleh tali perkawinan, atau dengan perkataan lain disebutkan bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan syirkah antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat di beda-bedakan lagi. Adanya Harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing- masing suami istri. Harta bersama tersebut dapat berupa benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Suami istri, tanpa persetujuan dari salah satu pihak, tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut. Dalam hali ini, baik suami istri, mempunyai pertanggung jawaban untuk menjaga harta bersama.[8]
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, dijelaskan bahwa harta gono gini adalah harta bersama milik suami istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Dalam masyarakat Indonesia, hampir semua daerah mempunyai pengertian, bahwa harta bersma antara suami istri memang ada dengan istilah yang berbeda untuk masing-masing daerah.
Di Dalam Hukum Islam, harta bersama suami istri pada dasarnya tidak dikenal, karena hal ini tidak dibicarakan secara khusus dalam kitab fikih. Hal ini sejalan dengan asas pemilikan harta secara individual (pribadi). Atas dasar ini, suami wajib memberikan nafkah dalam bentuk biaya hidup dengan segala kelengkapannya untuk anak dari istrinya dari harta suami sendiriHarta Bersama dalam Islam lebih identik diqiyaskan dengan Syirkah abdan mufawwadhah yang berarti perkongsian tenaga dan perkongsian tak terbatas.
Meskipun gono gini tidak diatur dalam fikih Islam secara jelas, tetapi keberadaannya, paling tidak dapat diterima oleh sebagian ulama Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak suami istri, dalam masyarakat Indonesia, sama-sama bekerja, berusaha untuk mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari- hari dan sekedar harta untuk simpanan (tabungan) untuk masa tua mereka. Bila keadaan memungkinkan ada juga peninggalan untuk anak- anak sudah mereka meninggal dunia.
B. Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35).
Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal36).
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan- ketentuan dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri (Pasal 119).
C. Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek “
Harta Bersama menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Di dalam KUH Perdata (BW), tentang Harta Bersama menurut Undang-Undang dan Pengurusnya, diatur dalam Bab VI Pasal 119-138, yang terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama tentang Harta Bersama menurut Undang-Undang (Pasal 119-
123), Bagian Kedua tentang Pengurusan Harta Bersama (Pasal 124-125) dan Bagian Ketiga tentang Pembubaran Gabungan Harta Bersama dan Hak Untuk Melepaskan Diri Padanya (Pasal 126-138).6
Menurut KUH Perdata „Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara pihak suami
Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakukah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diti adakan ketentuan lain. Peraturan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami istri. Segala utang dan rugi sepanjang perkawinan harus diperhitungkan atas mujur malang persatuan. Dalam Pasal 122
Bagi mereka yang tunduk pada Hukum Perdata Barat (BW) mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan dalam Pasal 119 BW (KUH Perdata) menyebutkan; Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan antara persatuan bulan antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain.
D. Kompilasi Hukum Islam
Adapun pengaturan harta bersama diatur dalam KHI dalam Bab XIII pasal 85 sampai dengan pasal 97. Peraturan yang paling baru berkenaan harta bersama ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
“Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”.9
Pasal 86
1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
2. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87
1. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.10
Pasal 88
“Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”.
Pasal 97
“Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Macam-Macam Harta dalam Perkawianan
ü Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai mungkin berupa modal usaha atau perabotan rumah tanggaatau tempat tinggal, apabila terjadi perceraian maka harta tersebut kembali kepada orang tua atau keluarga yang memberikan semula.
ü Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tetapi karena hibah atau warisan dari orang tua mereka atau keluarga terdekat.
ü Harta yang diperoleh sesudah mereka dalam hubungan perkawinan berlangsung atau usaha mereka berdua atau salah seorang dari mereka disebut juga harta matapencaharian, dan harta jenis ini menjadi harta bersama.
Pembagian Harta Bersama dalam Hukum Islam
Didalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono-gini, Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum didalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah:
Pembagian harta gono-gini tergantung kepada suami dan istri. Kesepakatan ini didalam Al-Qur‟an disebut dengan istilah “Ash Shulhu” yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami- istri) setelah mereka berselisih. Allah berfirman Q.S An-Nisa 128
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Penerapan Hukum Waris dan Harta Bersama Diindonesia menjadi Plural dikarenakan Banyak Faktor
A. Faktor Hukum Adat selaku hukum yang tumbuh berkembang terlebih dahulu dimasyarakat, sehingga menyebabkan Ketentuan Hukum itu sendiri bersifat Plural
B. Tidak adanya keseragaman Hukum itu sendiri, hukum yang seharusnya mempunyai azas kepastian dalam kehidupan bermasyarakat, pada kenyataan tidak memberikan nilai tersebut oleh karenanya menimbulkan nilai konplik dimasyarakat itu sendiri
C. Tidak adanya panisment dalam hukum perdata, mengakibatkan Produk hukum itu sendiri sering diabaikan , sebagaaimana unsur hukum itu sendiri punya keharusan nilai memaksa untuk dilaksanakan,-
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah Syah.1994.Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh), Kertas Kerja Simposium Hukum Waris Indonesia Dewasa Ini, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan.
2. Sudarsono.Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta : Rineka Cipta.1991. h. 6.
3. M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1994), Cetakan ke-1, h. 104-106.
4. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandug: PT Refika Aditama, 2018), Cetakan ke-5, h. 25.
5. Effendi Perangin, Hukum Waris,Rajawali Pers ,2008), h.3
6. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,( Jakarta: Prenada Media tahun 2004) h.19
7. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005),h
8. Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta, Kencana, 2006) h. 109
[1]Abdullah Syah.1994.Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh), Kertas Kerja Simposium Hukum Waris Indonesia Dewasa Ini, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan.
[2]Sudarsono.Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta : Rineka Cipta.1991. h. 6.
[3]M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1994), Cetakan ke-1, h. 104-106.
[4]Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandug: PT Refika Aditama, 2018), Cetakan ke-5, h. 25.
[5]Effendi Perangin, Hukum Waris,Rajawali Pers ,2008), h.3
[6]Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,( Jakarta: Prenada Media tahun 2004) h.19
[7]Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005),h 45
[8]Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan
Kedua, (Jakarta, Kencana, 2006) h. 109
0 comments:
Posting Komentar