Jumat, 10 Desember 2021

RADHA’AH

 

MATA KULIAH

Studi Alquran Hukum Keluarga

DOSEN PENGAMPU

1. Prof. Dr. H. Fauzi Aseri, MA

2. Dr. H. Hanafiah, M.Hum

 

 

RADHA’AH

 

 

 

OLEH :

Raudhatul jannah

210211050117

 

 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

BANJARMASIN

PASCASARJANA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

TAHUN 2021

 


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunianya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Studi Alquran Hukum Keluarga dalam program Pascasajrana Perodi Hukum Keluarga tahun 2021 di UIN Antasari Banjarmasin, dengan julud Rada’ah.

Penulis sadari didalam tulisan ini tentunya belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat untuk membangun dan memperbaiki sangatlah diharapkan demi kesempurnaan makalah yang disajikan penulis ini, dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis terlebih lagi para pembaca pada umumnya.

 

wassalam

 

   penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR ---------------------------------------------------------------   i

DAFTAR ISI---------------------------------------------------------------------------   ii

BAB I PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang -------------------------------------------------------------------   1

B.  Rumusan Masalah ----------------------------------------------------------------   2

C.  Tujuan ------------------------------------------------------------------------------   2

BAB II PEMBAHASAN

A.  Pengertian Rada’ah -----------------------------------------------------------   3

B.    Dalil Dan Hukum Radha’ah--------------------------------------------------   4

BAB III PENUTUP

SIMPULAN ---------------------------------------------------------------------------   14

DAFTAR PUSTAKA ----------------------------------------------------------------   15

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.Latar Belakang

Islam Sebagai Agama yang rahmatan lil alamin selalu memperhatikan nilai-nilai ajarannya. Ajaran serta aturan-aturan yang telah di atur dalam Islam sangat memperhatikan kemaslahatan umatnya, terutama dalam hal pernikahan. Setelah terjadinya pernikahan pasangan suami istri pasti sangat mendambakan seorang anak, seorang anak yang lahir dari Rahim ibunya akan mendampatkan ASI (Air Susu Ibu).

ASI merupakan bahan makanan pokok sekaligus minuman terbaik bagi bayi. Karena ASI merupakan nutrisi yang paling penting dibutuhkan oleh seorang bayi untuk proses perkembangan dan pertumbuhannya. ASI sebagai nutrisi karena ASI merupakan gizi yang sangat ideal dengan komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan seorang bayi. ASI juga tak ternilai harganya karena memiliki keutamaan, kelebihan, manfaat, dan kegunaan yang tidak dapat disejajarkan atau disetarakan dengan makanan dan minuman lain buatan manusia. Sedangkan dilain hal ASI berperan pada kecerdasan, kesehatan dan kekebalan tubuh seorang anak serta moral dan akhlak yang dipengaruhinya.

Dalam islam disebut dengan Rada’ah,  Radhâ’ah berasal dari kata radha’a (رضع) terdiri dari huruf Ro, Dhod,  dan, Ain  yang  asalnya  satu,  yaitu  meminum  air  susu  dari  puting  payudara.  Seorang wanita melaukan penyusuan tersebut apabila ia telah memiliki anak.

Menurut pendapat ulama terdahulu, yakni Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i memahami kata radhâ’ah menyusukan diartikan sebagai masuknya air susu  ke dalam rongga tubuh anak melalui kerongkongannya atau selain  kerongkongan dengan jalan menghisap atau bukan. Maka memasukkan air susu  semisalnya dengan menggunakan sendok ke dalam kerongkongan yang dalam  bahasa  hukum  dinamai  al-wajur,  termasuk  juga  dalam  kategori  menyusukan  sehingga mengakibatkan diharamkannya pernikahan satu susuan.

 

 

B. Rumusan Masalah

1.     Apa pengertian Rada’ah ?

2.     Bagaimana Dalil Dan Hukum Radha’ah ?

C.Tujuan

1.     Mengetahui pengertian Rada’ah

2.     Mengetahui dalil dan hukum Rada’ah

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Rada’ah

Pengertian  penyusuan  susu  ibu  dibagi  kepada  dua  yaitu  pengertian  menurut bahasa dan istilah. Kata al Radha’ yaitu dengan tanda fathah pada huruf “ra”  seperti al-Radha’ah. Menurut bahasa penyusuan berasal daripada perkataan رضع yang  bermaksud menyusu. Perempuan  yang  menyusukan  anak  digelar Al-maudhiu’  manakala  anak  yang  disusui  pula  digelar Ar-radhiu’. Menurut  istilah  pula,  perkataan  al  Radha’  adalah  terdapat  kata  nama  (isim)  tentang  mendapat  air  susu  ibu  atau  tidak  didapati  dalam  perut  anak  atau  otaknya.  Dimaksudkan  adalah  menyusukan  anak  dengan  ibu  selainnya.[1]

Imam Abu Hanifah mendefinisikan penyusuan sebagai meminum susu  perempuan-perempuan adam pada waktu tertentu. Menurut Imam Malik pula penyusuan ialah memasukkan susu perempuan sama ada sesudah mati atau perempuan kecil meskipun melalui puting atau alat bantuan makanan atau susu yang bercampuran (dengan syarat hendaklah susu melebihi daripada benda lain) dengan  makanan lain dalam tempoh tidak melebihi dua tahun

Menurut Imam  Syafi’i  menyatakan  penyusuan  ialah  sesuatu  perkara  yang  digunakan untuk memasukkan susu  perempuan  ke dalam  hidangan  kanak-kanak  kepada  pembesaran. Seterusnya Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat penyusuan ialah memasukkan susu  secara semula jadi atau alat bantuan kepada yang umurnya tidak melebihi dua  tahun. penyusuan susu ibu ialah memasukkan susu perempuan ke dalam  rongga kanak-kanak yang tidak melebihi usia dua tahun.

Dalam pengertian terminologis, sebagian ulama’ fiqh mendefinisikan ar radha’ah sebagai berikut:

وصولُ لبنُ آدميةُإلىُ حوفُ طفل لم يزدُ سنهُ علىُ حولين

“Sampainya  (masuknya)  air  susu  manusia  (perempuan)  ke  dalam  perut  seorang  seorang anak (bayi) yang belum berusia dua tahun, 24 bulan”.

B.    Dalil Dan Hukum Radha’ah

Dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 233 :

ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 yŠ#ur& br& ¨LÉêムsptã$|ʧ9$# 4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 Ÿw §!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÷bÎ*sù #yŠ#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã 3 ÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ  

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

 

(وَالۡوَالِدٰتُ) wanita yang ditalak (يُرۡضِعۡنَ اَوۡلَادَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِ‌)  dua tahun penuh 

( لِمَنۡ اَرَادَ اَنۡ يُّتِمَّ الرَّضَاعَهٗ وَعَلَى الۡمَوۡلُوۡدِ لَهٗ  ) yaitu ayah (رِزۡقُهُنَّ   ) menafkahi  mereka  pada  masa  menyusui (وَكِسۡوَتُهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ‌ؕ)  tanpa  berlebih-lebihan  (  لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ اِلَّا وُسۡعَهَا  )  sesuai  kesanggupan  berdasarkan  dari  harta  yang  dikaruniakan  Allah  swt. 

Dalam Tafsir al Jawahir berpendapat bahwa ayat ini ditujukan  kepada wanita yang di talak. Seterusnya, tempoh penyusuan antara anak dan ibu  adalah selama dua tahun penuh. Kemudian, ayah kepada bayi perlu menafkahi yaitu  memberi makan dan minum kepada ibu dan anak sepanjang tempoh penyusuan tanpa  berlebih-lebihan sesuai dengan kemampuan yang bergantung kepada harta yang  dimiliki.

 (لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ ۢ بِوَلَدِهَا)  artinya  anak  tidak  boleh  dipisahkan  dari  ibunya  selagi  sang  ibu  masih  rela  untuk  menyusuinya  sebagaimana  ia  tidak  boleh  dipaksa  untuk menyusuinya apabila sang bayi mau menerima air susu wanita lain (وَلَا مَوۡلُوۡدٌ لَّهٗ  )yaitu  sang  ayah  (بِوَلَدِهٖ)  artinya  anak  diserahkan  kepada  ayah  setelah  ia  tahu  bahwa  sang ibu memberikan mudhorat kepada bayi sebagaimana sang ibu tidak bisa  diberikan  keharusan  melebihi  kewajiban  yang  seharusnya  apabila  sang  anak  tidak  disusui oleh selain ibunya.

Al Jawahir menafsirkan bahwa yang dimaksudkan dengan kalimat لَا تُضَآرَّ adalah  tidak  boleh  memudharatkan  yaitu  memisahkan  ibu  dan  anak  tanpa  kerelaan  masing-masing.  Sebagaimana  anak  tidak boleh  dipisahkan  dari ibunya  atau  mencari  pengganti wanita lain untuk disusui sekiranya ibu bayi masih ingin menyusui  bayinya sendiri. Jika sebaliknya, ayah perlu mencari pengganti wanita lain sekiranya  ibu  tidak  ingin  menyusui  bayinya  dan  tidak  boleh  memaksa  ibu  untuk  menyusui  apabila bayi mau menerima susu dari wanita lain. Si ibu juga tidak boleh  menyerahkan bayi kepada ayah sekiranya ibu berniat untuk memudharatkan si ayah.  Si  ibu  hanya  menerima  nafkah  dan  pakaian  mengikut  kadar  kewajiban  dan  tidak melebihi kadar keharusan.

(وَعَلَى الۡوَارِثِ) ahli waris sang ayah apabila ia meninggal (مِثۡلُ ذٰ لِكَ) artinya  hal  yang  wajib  bagi  sang  ayah  adalah  menafkahi  dan  memberikan  pakaian.  Ahli  waris  sama  dengan  bayi  jika  ia  memiliki  harta,  maka  jika  ia  tidak  memiliki  harta  maka  wajib  bagi  sang  ibu,  tidak  boleh  dipaksa  untuk  menafkahi  sang  bayi  kecuali  kedua  orang  tuanya,  sesuai  pendapat  Malik  dan  Syafi‟i. 

Pendapat  lain  menyatakan   wajib  bagi  pewaris  anak  yang  mewarisinya  apabila  sang  ayah  meninggal  berperan  sebagaimana  sang  ayah  berperan  pada  semasa  hidupnya  mereka  itu  adalah  ashobah  seperti kakek, saudara laki-laki, paman, anak laki-lakinya, adapun tiap pewaris sang  ayah baik laki-laki maupun perempuan menurut Ahmad wajib mereka dipaksa untuk  menafkahi sang bayi sesuai kesanggupan masing-masing. Sedangkan keharusan bagi  setiap orang yang memiliki hubungan mahram dengannya menurut Abu Hanifah.

Dalam perihal nafkah oleh waris pula menurut Malik dan Syafi‟i apabila  sang  ayah  meninggal  dan  bayi  tersebut  mempunyai  harta  maka  nafkah  dikeluarkan  melalui  harta  yang  dimilikinya  sendiri  (harta  pusaka).  Jika  bayi  tiada  harta  maka  ibunya  lah  yang  wajib  memberi  nafkah  kepada  bayi  dan  orang  lain  tidak  boleh  dipaksa untuk menafkahi bayi selain orang tuanya.

(فَاِنۡ اَرَادَا)  suami  atau  istri  (فِصَالًا)  artinya  memisahkan  si  bayi  dari  susu  sebelum  genap  dua  tahun  (عَنۡ تَرَاضٍ مِّنۡهُمَا)  sesuai  dengan  kerelaan  si  ayah  dan  ibu  (وَتَشَاوُرٍ) antara keduanya (فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا) melebihkan dua tahun atau tak sampai dua  tahun, ini merupakan kelapangan setelah adanya batasan tertentu, musyawarah  adalah mengeluarkan pendapat, dari kata syirtu al-Asal “saya memeras madu apabila  saya mengeluarkannya”

Jika  suami  istri  mau  memisahkan  si  bayi  dari  susu  sebelum  genap  dua  tahun atau mau melebihkan tempoh penyusuan dari dua tahun maka keduanya perlu  bermusyawarah  dan  ianya  merupakan  kelapangan  setelah  adanya  batasan  tertentu.  Tiada dosa bagi keduanya.  

(وَاِنۡ اَرَدْتُّمۡ اَنۡ تَسۡتَرۡضِعُوۡٓا اَوۡلَادَكُمۡ)  selain  si  ibu  karena  barangkali  ingin  menikah upamanya. (فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ) maka tidak ada dosa bagi si ayah dan ibu (اِذَا سَلَّمۡتُمۡ مَّآ اٰتَيۡتُمۡ)  apabila  menginfakkan  apa  yang  kamu  berikan  (بِالۡمَعۡرُوۡفِ‌ؕ)  dengan  cara yang ma‟ruf dan tanpa ada persengketaan.

   (وَاتَّقُوا اللّٰهَ)takutlah kepada Allah dalam  perkara  mudorat  dan  perselisihan

 (وَاعۡلَمُوۡٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِيۡرٌ)  tidak  ada  yang  tersembunyi darinya perbuatan-perbuatanmu lalu ia membalasimu atas dasar  perbuatan-perbuatan mu itu.[2]

Jika bayi ingin dihentikan penyusuannya atau menyusukannya pada  perempuan lain karna si ibu mau menikah lagi misalnya maka tidak ada dosa bagi si  ayah  dan  si  ibu.  Jika  si  ayah  berikan  infak  (upah)  dengan  cara  yang  baik  tanpa  ada  persengketaan. Takutlah kepada Allah swt dalam perkara mudhorat dan  perselisihan.  Tiada  yang  tersembunyi  dari-Nya  lalu  Allah  swt  membalasimu  atas  dasar perbuatan-perbuatan kita sendiri.

Menurut  beberapa  ulama  seperti  dalam  tafsir  al  Jawahir,  al  Thabari,  dan  Syafi’i menyatakan bahwa ayat diturunkan kepada wanita yang di talaq, menurut  Imam  Qurthubi  ayat  yang  ditujukan  adalah  kepada  wanita  yang  masih  dalam ikatan perkahwinan dan talaq raj’i. Selain itu,  tentang batas waktu penyusuan pula kesemua ulama tafsir seperti al-Jawahir, al Thabari, Ibn Katsir, Qurthubi, dan Syafi’i bersepakat bahwa  tempoh  batas  maksimal  penyusuan  adalah  selama  dua  tahun.  Kesemua  ulama  juga  bersepakat  bahwa  ayah  wajib  menafkahi  ibu  yang  menyusui  makanan dan pakaian serta tidak boleh saling memudharatkan. Dalam hal  waris  menafkahi  anak  kecil  pula  al  Jawahir,  Qurthubi,  Syafi’i  tidak  mewajibkan.  Tetapi,  menurut  Ibnu  Katsir  waris  wajib  menafkahi  anak  sebagaimana ayah wajib menafkahi anak. Seterusnya, menurut ath Thabari  waris  yang  mempunyai  hubungan  rahim  dan  mahram  sahaja  yang wajib memberikan nafkah kepada anak kecil.[3]

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah, penyusuan yang di lakukan langsung oleh ibu kandungnya memiiliki tujuan dan makna yang amat penting bagi si anak, menyusui adalah factor terbesar dari upaya terbaik menjaga kelangsungan hidup si anak. Selain itu, menyusui juga sangat membantu dalam tumbuh kembang fisik dan psikologis si anak. Alquran telah menggariskan bahwa ASI adalah makanan terbaik untuk bayi hingga usia dua tahun dengan penyusuan ibu kandung, anak akan merasakan detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak si bayi ada di dalam perut.[4]

Rukun Persusuan (ar-Radla’)

1.     Perempuan yang menyusui (المرضعة)

Perempuan yang air susuannya menyebabkan perempuan itu mahram dikawin yaitu perempuan yang masih subur air susunya, keluar dari kedua puting susunya. Perempuan tersebut sudah dewasa atau belum, masih berdarah haid maupun sudah tidak haid lagi, baik mempunyai suami atau tidak, hamil atau tidak. Demikianlah sifat-sifat atau keadaan perempuan yang menyusui menurut ketentuan para fuqaha.

Mengenai hubungan status seorang ibu susuan fuqaha telah sependapat bahwa secara garis besar apa yang diharamkan oleh sebab susuan sama dengan apa yang diharamkan oleh nasab. Bahwa seorang perempuan yang menyusui anak sama kedudukannya dengan seorang ibu kandung. Oleh karenanya, ia diharamkan bagi anak yang disusukannya dan diharamkan pula baginya semua orang (perempuan) yang diharamkan atas anak laki-laki dari segi ibu nasab

Dalam Qur’an surah An-Nisa ayat 23 :

ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ  

diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[5]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Fuqaha sepakat bahwa, secara garis besar hal-hal yang diharamkan dalam hubungan susuan sama dengan hal-hal yang diharamkan oleh hubungan nasab. Yaitu bahwa seorang perempuan yang menyusui sama kedudukannya dengan ibu kandungnya. Adapun haram yang dimaksud ialah haram melakukan pernikahan, berjalan berduaan di tempat yang sunyi atau jauh, dan tidak masuk kedalamnya hal waris mewarisi serta soal nafkah, sebab wanita yang menyusukan itu bukan ibunya yang sebenarnya, melainkan hanya “Ibu susuan” saja.[6] Oleh karenanya, hukum waris mewarisi atau nafkah tidak masuk dalam hukum “menyusukan”.

2.    Kadar air susu (مقدار اللبن)

Penetapan mahram tidak disyaratkan susu itu harus dalam kondisi alami, baru keluar dari puting, meskipun air susu itu telah masam, mengental, menguap, menjadi keju, mengering, berbuih, atau bercampur air minum, dan si bayi meminum dan memakannya. Hal ini disebabkan air susu telah sampai ke perut dan tujuan memberikan makan telah tercapai. Para fuqaha berselisih pendapat dalam masalah tersebut, ulama Mazhab Hanafi, Muzni, dan Abu Tsaur, mengatakan bahwa jika air susu seorang perempuan bercampur dengan makanan lain, minuman, obat, susu kambing, dan yang lainnya, jika air susu ibu yang dimakan seorang anak lebih dominan atau lebih banyak dari pada campurannya, maka air susu itu mengharamkan dan jika lebih sedikit, maka ia tidak mengharamkan.[7]

Adapun ulama Syafi’i, Ibnu Habib, Ibnu Mutharrif, dan Ibnu Majisyun dari kalangan ulama Maliki berpendapat bahwa air susu seperti itu menyebabkan keharaman seperti kedudukan air susu murni sebab campuran, itu tidak menghilangkan kemurnian air susunya. Yang menjadi permasalahan adalah keumuman atas penyebutan air susu tersebut. Hal ini sama dengan sebutan air suci yang bercampur dengan benda lain yang suci, dimana air tersebut tetap pada kondisi yang suci.

3.     Anak yang menyusu(ألرضي).

Penyusuan tersebut disyaratkan bayi yang hidup secara normal dan  belum berusia 2 (dua) tahun pertama sejak kelahiran berdasarkan hitungan kalender Hijriah. Jika dia lahir bukan pada tanggal pertama, maka pada bulan ke-25 hitungan harinya harus disempurnakan menjadi 30 (tiga puluh). Jika bayi telah berumur dua tahun, susuannya tidak menjadikannya mahram. Masa menyusui anak adalah dua tahun, namun sebagian lain menyatakan hingga bayi tumbuh gigi dan berumur kurang dari satu tahun.[8]

Syarat-syarat Persusuan (ar-Radla’) Menurut  jumhur  ulama :

1.     Air  susu  harus  berasal  dari  manusia (لبن  الأدمية). Dalam  hal  ini  seseorang itu  sudah  mempunyai  suami  atau tidak  lagi  mempunyai  suami.

2.     Air  susu  itu  masuk  ke  dalam lambung  bayi (وصول إلي جوف طفل) baik melalui isapan  langsung  dari  puting payudara  maupun  melalui  alat penampung susu seperti gelas, botol dan lain-lain.  Menurut  mazhab  empat terjadinya persusuan  (ar-Radla’) tidak harus  melalui  penyedotan  pada  puting susu, namun pada sampainya ASI pada lambung  bayi  yang  dapat menumbuhkan  tulang  dan daging. Namun  mereka  berbeda  pendapat mengenai jalan lewatnya ASI, menurut Imam  Malik  dan  Hanafi  harus  melalui rongga  mulut,  sedangkan menurut Hambali  adalah  sampainya  pada lambung  dan  pada  otak  besar.[9]

3.     Proses  persusuan  melalui  mulut atau  hidung.  Mayoritas  ulama’  era terdahulu  termasuk  Abu  Hanifah, Malik  Syafi’i,  Ahmad,  dan  lainya memahami  kata  persusuan  (ar- Radla’)  dalam  arti  masuknya  air susu  ke dalam  rongga  tubuh  anak melalui  kerongkonganya  atau  selain kerongkongan  dengan  jalan mengisap  atau  bukan.  Karena  itu memasukkan  air  susu,  misalnya dengan  sendok  ke  kerongkongan yang  dalam  bahasa  hukum  dinamai al-wujur tercakup  juga  dalam  kata menyusukan, sehingga  mengakibatkan dampak  hukum  di  atas.  Bahkan  ada pakar  hukum  yang  memasukkan kata al-sa’uth dalam  cakupan  kata menyusukan, yaitu  memasukkan  air susu  melalui  hidung. Menurut imam  Malik,  dampak  hukum  dapat timbul  melalui al-Huqnah, yaitu memasukkan  air  susu  melalui lubang pantat dengan jalan suntikan yang akan  mengenyangkan. Demikian  pula  meneteskan  air  susu pada  mata,  telinga,  atau  luka dipersamakan  dengan al-Huqnah jika mengenyangkan.  Mayoritas ulama menolak  dengan  tegas pendapat  ini,  karena  memasukkan air  susu  dengan  jalan  suntikan  dan sejenisnya bagaimanapun juga tidakdinamakan menyusukan.

4.     Tidak ada campuran lain, jika ada campuran dari benda cair atau padat dan air susu tetap mendominasi berlakulah keharaman persususan. Namun, jika campuranya yang mendominasi, otomatis dampak hukum tiada berlaku.

5.     Bayi  tersebut  belum  berusia  dua tahun ( دونالحولين ) Menurut  mazhab fiqh empat  dan  jumhur  ulama, susuan itu harus dilakukan pada usia anak sedang menyusu. Oleh sebab itu, menurut  mereka  apabila  yang menyusu  itu  adalah  anak  yang  sudah dewasa  di  atas  usia  dua  tahun,  maka tidak ada  keharaman  untuk  menikah sesama susuan

6.     Kadar  penyusuan  sebanyak  lima  kali atau  lebih  secara  terpisah,  menurut aliran  Syafi’i  dan  Hanbali.  Seandainya seorang  anak  berhenti  menyusu  untuk menarik  nafas,  istirahat,  karena  bosan, berpindah  dari  satu  puting  ke  puting lainya  atau  dari  seorang  perempuan  ke perempuan  lainya,  lantas  seketika  itu  ia kembali  menetek,  maka  semuanya terhitung  satu  kali.  Jika  seorang  anak menyusu  kurang  lima kali,  atau  timbul keraguan  berapa  kali  ia  menyusu, dampak  hukum  keharaman  belum terwujud Mereka  mengajukan argumentasi sebagai berikut:

عَنْ  عَائِشَةَ أَنـَّها قَالَتْ كَانَ  فِيمَا  أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُرَضَعَاتٍ يحُرِّمْنَ. ثمُّ  نُسخْنَ  بخِمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فتوفى رسول الله صلى الله عليه و سلم و هنّ فيما يقرا من القرآن ) رواه مسلم (

“A’isya r.a berkata: Dahulu Alquran turun  menyebutkan  sepuluh kali penyusuan  yang  diyakini  dapat mengharamkan,  kemudian  ketentuan itu  dihapus  dengan  lima  kali penyusuan  yang  diyakini. Rasulallah  Saw  mangkat  dan  ayat itu  terbaca  karena  bagian  dari Alquran”. (H.R. Muslim).[10]

 

 

 


 

ulama fiqh  menetapkan  bahwa  perlu  alat bukti  untuk  menetapkan Sumber  Ketetapan Persusuan (ar- Radla’) :

1.     Ikrar (Pengakuan)

ikrar yaitu pengakuan persusuan dari pihak laki-laki dan wanita secara bersama atau salah satu dari mereka. Apabila ikrar itu dilakukan sebelum menikah, maka keduanya tidak boleh menikah dan apabila mereka telah menikah maka akad batal.

    Imam  Hanafi berpendapat,  ikrar dalam  persusuan  adalah  pengakuan persusuan  dari  pihak  laki-laki  dan wanita  secara  bersama  atau  salah  satu dari  mereka.  Apabila  ikrar  itu dilakukan sebelum menikah, maka keduanya  tidak  boleh menikah dan apabila  mereka  menikah  maka akad batal. Apabila  ikrar  itu  dilakukan setelah  perkawinan, maka mereka harus berpisah. Ketika  mereka memilih enggan  untuk  berpisah, maka hakim berhak  memaksa  mereka  untuk berpisah.

Imam Maliki berpendapat, ar-radaah (menyusui) dapat terjadi dengan adanya ikrar  kedua pasangan  suami  istri secara bersama, atau pemberitahuan salah  satu dari  orang  tua  mereka berdua, atau hanya  dengan  pemberitahuan  dari suami  yang  mukallaf meskipun dilakukan  setelah  akad, atau pemberitahuan  dari  seorang  istri yang sudah  baligh  dan  dilakukan  sebelum akad.

Imam  Syafi’i  menetapkan  bahwa ikrar  harus  dilakukan  oleh  dua  orang laki-laki karena dianggap lebih  unggul dalam ikrar.

2.     Persaksian (al-Baiyyinah)

kesaksian  yang dikemukakan  orang  yang  mengetahui secara  pasti  bahwa  laki-laki  dan wanita  itu  sepersusuan.  Adapun jumlah  saksi  yang  disepakati  ulama fiqh  yaitu  minimal  dua  orang  saksi laki-laki  atau  satu  orang  laki-laki dengan  dua  orang  wanita.  Akan  tetapi ulama  fiqh  berbeda  pendapat  tentang kesaksian  seorang  laki-laki  atau seorang  wanita  atau  empat  orang wanita.

Menurut  ulama  mazhab  Hanafi kesaksian  tersebut  tidak  dapat diterima  karena  ‘Umar  bin  Khattab mengatakan,  “Saksi  yang  diterima Persusuan dalam  masalah  susuan  hanyalah persaksian  dua  orang  laki-laki.”  Para sahabat  lain  tidak  membantah ketetapan  Umar  bin  Khattab  ini, karenanya  menurut  mereka,  ketetapan ini  menjadi  ijma’  para  sahabat,  dan ijma’  para  sahabat  dapat  dijadikan sandaran  hukum.  Alasan  lain  yang mereka  kemukakan  adalah  firman Allah  Swt  dalam  Surat  al-Baqarah  ayat 282 yaitu[11]:

 

(#rßÎhô±tFó$#ur…….. ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös?  ÇËÑËÈ………  

…….“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”…..

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BAB III

KESIMPULAN

& Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat penyusuan ialah memasukkan susu  secara semula jadi atau alat bantuan kepada yang umurnya tidak melebihi dua  tahun. penyusuan susu ibu ialah memasukkan susu perempuan ke dalam  rongga kanak-kanak yang tidak melebihi usia dua tahun.

& Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah, penyusuan yang di lakukan langsung oleh ibu kandungnya memiiliki tujuan dan makna yang amat penting bagi si anak, menyusui adalah factor terbesar dari upaya terbaik menjaga kelangsungan hidup si anak. Selain itu, menyusui juga sangat membantu dalam tumbuh kembang fisik dan psikologis si anak. Alquran telah menggariskan bahwa ASI adalah makanan terbaik untuk bayi hingga usia dua tahun dengan penyusuan ibu kandung, anak akan merasakan detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak si bayi ada di dalam perut yang terdapat dalam Qur’an Surah Al-baqarah ayat 233

& Rukun Persusuan (ar-Radla’)

1.   Perempuan yang menyusui (المرضعة)

2.  Kadar air susu (مقدار اللبن)

3.   Anak yang menyusu(ألرضي).

& Syarat-syarat Persusuan (ar-Radla’) Menurut  jumhur  ulama :

1.     Air  susu  harus  berasal  dari  manusia (لبن  الأدمية).

2.     Air  susu  itu  masuk  ke  dalam lambung  bayi (وصول إلي جوف طفل)

3.     Proses  persusuan  melalui  mulut atau  hidung.

4.     Bayi  tersebut  belum  berusia  dua tahun ( دونالحولين )

5.     Kadar  penyusuan  sebanyak  lima  kali atau  lebih  secara  terpisah

& ulama fiqh  menetapkan  bahwa  perlu  alat bukti  untuk  menetapkan Sumber  Ketetapan Persusuan (ar- Radla’) :

1.     Ikrar (Pengakuan)

2.     Persaksian (al-Baiyyinah)

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

BUKU

Muhammad Mustafa al Zuhaily, Al Mu’tamad Dalam Fiqh Mazhab Syafi’I, (Persekutuan Seruan Islam (Jami’ah) Selangor dan Wilayah Persekutuan, 2012) Jilid 8.

Syeikh Thanthawi Jauhari, Al Jawahir Fi Tafsir Al Quran

M Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah ;Pesan dan Keserasian Alquran (Jakarta: Lentera Hati, 2011)

Syihabuddin Abil Abbas Ahmad, ‘Umdatus Salik Wa ‘Umdatun Nasik, (Jakarta : Al-Haramain, 2004),

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah III, (Jakarta : Cakrawala, 2011)

Muhammad Baqir Hujjati, Pendidikan Anak dalam Kandungan, (Jakarta Selatan : Cahaya, 2008)

ARTIKEL

Thoat Setiawan., PERSUSUAN (AR-RADHAA’) MENJADIKAN KEMAHRAMAN DALAM PERKAWINAN (KAJIAN TAFSIR MAUDU’I ALQURAN SURATAN-NISA AYAT 23), Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 16, Nomor 1, Januari-Juni 2017

Nurizyati Binti Mohamad Zat.,” Radha’ah Menurut Al Quran Dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Anak Dan Ibu”,Uin Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru: 2019

 

           

 

 

 

 

 

 



[1] Muhammad Mustafa al Zuhaily, Al Mu’tamad Dalam Fiqh Mazhab Syafi’I, (Persekutuan Seruan Islam (Jami’ah) Selangor dan Wilayah Persekutuan, 2012) Jilid 8, hlm. 20-21.

[2] Syeikh Thanthawi Jauhari, Al Jawahir Fi Tafsir Al Quran, hlm.212

[3] Nurizyati Binti Mohamad Zat.,” Radha’ah Menurut Al Quran Dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Anak Dan Ibu”,Uin Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru: 2019

[4] M Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah ;Pesan dan Keserasian Alquran (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hlm . 609

[5] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

 

[6] Syihabuddin Abil Abbas Ahmad, ‘Umdatus Salik Wa ‘Umdatun Nasik, (Jakarta : Al-Haramain, 2004), hlm. 62.

[7] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah III, (Jakarta : Cakrawala, 2011), hlm. 300.

[8] Muhammad Baqir Hujjati, Pendidikan Anak dalam Kandungan, (Jakarta Selatan : Cahaya, 2008), hlm. 156.

[9] Thoat Setiawan., PERSUSUAN (AR-RADHAA’) MENJADIKAN KEMAHRAMAN DALAM PERKAWINAN (KAJIAN TAFSIR MAUDU’I ALQURAN SURATAN-NISA AYAT 23), Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 16, Nomor 1, Januari-Juni 2017. hlm. 27

[10]ibid, hlm. 28

[11] Ibid., hlm. 29

Ditulis Oleh : Marzuki Na'ma, S. Kom // Desember 10, 2021
Kategori:

0 comments:

Posting Komentar

 

Wikipedia

Hasil penelusuran

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.