MATA KULIAH Studi Alquran Hukum Keluarga |
DOSEN PENGAMPU 1. Prof. Dr. H. Fauzi Aseri, MA 2. Dr. H. Hanafiah, M.Hum |
RADHA’AH
OLEH :
Raudhatul jannah
210211050117
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunianya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Studi Alquran Hukum Keluarga dalam program Pascasajrana Perodi Hukum Keluarga tahun 2021 di UIN Antasari Banjarmasin, dengan julud Rada’ah.
Penulis sadari didalam tulisan ini tentunya belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat untuk membangun dan memperbaiki sangatlah diharapkan demi kesempurnaan makalah yang disajikan penulis ini, dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis terlebih lagi para pembaca pada umumnya.
wassalam
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR --------------------------------------------------------------- i
DAFTAR ISI--------------------------------------------------------------------------- ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ------------------------------------------------------------------- 1
B. Rumusan Masalah ---------------------------------------------------------------- 2
C. Tujuan ------------------------------------------------------------------------------ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Rada’ah ----------------------------------------------------------- 3
B. Dalil Dan Hukum Radha’ah-------------------------------------------------- 4
BAB III PENUTUP
SIMPULAN --------------------------------------------------------------------------- 14
DAFTAR PUSTAKA ---------------------------------------------------------------- 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Islam Sebagai Agama yang rahmatan lil alamin selalu memperhatikan nilai-nilai ajarannya. Ajaran serta aturan-aturan yang telah di atur dalam Islam sangat memperhatikan kemaslahatan umatnya, terutama dalam hal pernikahan. Setelah terjadinya pernikahan pasangan suami istri pasti sangat mendambakan seorang anak, seorang anak yang lahir dari Rahim ibunya akan mendampatkan ASI (Air Susu Ibu).
ASI merupakan bahan makanan pokok sekaligus minuman terbaik bagi bayi. Karena ASI merupakan nutrisi yang paling penting dibutuhkan oleh seorang bayi untuk proses perkembangan dan pertumbuhannya. ASI sebagai nutrisi karena ASI merupakan gizi yang sangat ideal dengan komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan seorang bayi. ASI juga tak ternilai harganya karena memiliki keutamaan, kelebihan, manfaat, dan kegunaan yang tidak dapat disejajarkan atau disetarakan dengan makanan dan minuman lain buatan manusia. Sedangkan dilain hal ASI berperan pada kecerdasan, kesehatan dan kekebalan tubuh seorang anak serta moral dan akhlak yang dipengaruhinya.
Dalam islam disebut dengan Rada’ah, Radhâ’ah berasal dari kata radha’a (رضع) terdiri dari huruf Ro, Dhod, dan, Ain yang asalnya satu, yaitu meminum air susu dari puting payudara. Seorang wanita melaukan penyusuan tersebut apabila ia telah memiliki anak.
Menurut pendapat ulama terdahulu, yakni Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i memahami kata radhâ’ah menyusukan diartikan sebagai masuknya air susu ke dalam rongga tubuh anak melalui kerongkongannya atau selain kerongkongan dengan jalan menghisap atau bukan. Maka memasukkan air susu semisalnya dengan menggunakan sendok ke dalam kerongkongan yang dalam bahasa hukum dinamai al-wajur, termasuk juga dalam kategori menyusukan sehingga mengakibatkan diharamkannya pernikahan satu susuan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Rada’ah ?
2. Bagaimana Dalil Dan Hukum Radha’ah ?
C.Tujuan
1. Mengetahui pengertian Rada’ah
2. Mengetahui dalil dan hukum Rada’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rada’ah
Pengertian penyusuan susu ibu dibagi kepada dua yaitu pengertian menurut bahasa dan istilah. Kata al Radha’ yaitu dengan tanda fathah pada huruf “ra” seperti al-Radha’ah. Menurut bahasa penyusuan berasal daripada perkataan رضع yang bermaksud menyusu. Perempuan yang menyusukan anak digelar Al-maudhiu’ manakala anak yang disusui pula digelar Ar-radhiu’. Menurut istilah pula, perkataan al Radha’ adalah terdapat kata nama (isim) tentang mendapat air susu ibu atau tidak didapati dalam perut anak atau otaknya. Dimaksudkan adalah menyusukan anak dengan ibu selainnya.[1]
Imam Abu Hanifah mendefinisikan penyusuan sebagai meminum susu perempuan-perempuan adam pada waktu tertentu. Menurut Imam Malik pula penyusuan ialah memasukkan susu perempuan sama ada sesudah mati atau perempuan kecil meskipun melalui puting atau alat bantuan makanan atau susu yang bercampuran (dengan syarat hendaklah susu melebihi daripada benda lain) dengan makanan lain dalam tempoh tidak melebihi dua tahun
Menurut Imam Syafi’i menyatakan penyusuan ialah sesuatu perkara yang digunakan untuk memasukkan susu perempuan ke dalam hidangan kanak-kanak kepada pembesaran. Seterusnya Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat penyusuan ialah memasukkan susu secara semula jadi atau alat bantuan kepada yang umurnya tidak melebihi dua tahun. penyusuan susu ibu ialah memasukkan susu perempuan ke dalam rongga kanak-kanak yang tidak melebihi usia dua tahun.
Dalam pengertian terminologis, sebagian ulama’ fiqh mendefinisikan ar radha’ah sebagai berikut:
وصولُ لبنُ آدميةُإلىُ حوفُ طفل لم يزدُ سنهُ علىُ حولين
“Sampainya (masuknya) air susu manusia (perempuan) ke dalam perut seorang seorang anak (bayi) yang belum berusia dua tahun, 24 bulan”.
B. Dalil Dan Hukum Radha’ah
Dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 233 :
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$# 4 n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 w ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 w §!$Òè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ wur ×qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºs 3 ÷bÎ*sù #y#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã 3 ÷bÎ)ur öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
(وَالۡوَالِدٰتُ) wanita yang ditalak (يُرۡضِعۡنَ اَوۡلَادَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِ) dua tahun penuh
( لِمَنۡ اَرَادَ اَنۡ يُّتِمَّ الرَّضَاعَهٗ وَعَلَى الۡمَوۡلُوۡدِ لَهٗ ) yaitu ayah (رِزۡقُهُنَّ ) menafkahi mereka pada masa menyusui (وَكِسۡوَتُهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِؕ) tanpa berlebih-lebihan ( لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ اِلَّا وُسۡعَهَا ) sesuai kesanggupan berdasarkan dari harta yang dikaruniakan Allah swt.
Dalam Tafsir al Jawahir berpendapat bahwa ayat ini ditujukan kepada wanita yang di talak. Seterusnya, tempoh penyusuan antara anak dan ibu adalah selama dua tahun penuh. Kemudian, ayah kepada bayi perlu menafkahi yaitu memberi makan dan minum kepada ibu dan anak sepanjang tempoh penyusuan tanpa berlebih-lebihan sesuai dengan kemampuan yang bergantung kepada harta yang dimiliki.
(لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ ۢ بِوَلَدِهَا) artinya anak tidak boleh dipisahkan dari ibunya selagi sang ibu masih rela untuk menyusuinya sebagaimana ia tidak boleh dipaksa untuk menyusuinya apabila sang bayi mau menerima air susu wanita lain (وَلَا مَوۡلُوۡدٌ لَّهٗ )yaitu sang ayah (بِوَلَدِهٖ) artinya anak diserahkan kepada ayah setelah ia tahu bahwa sang ibu memberikan mudhorat kepada bayi sebagaimana sang ibu tidak bisa diberikan keharusan melebihi kewajiban yang seharusnya apabila sang anak tidak disusui oleh selain ibunya.
Al Jawahir menafsirkan bahwa yang dimaksudkan dengan kalimat لَا تُضَآرَّ adalah tidak boleh memudharatkan yaitu memisahkan ibu dan anak tanpa kerelaan masing-masing. Sebagaimana anak tidak boleh dipisahkan dari ibunya atau mencari pengganti wanita lain untuk disusui sekiranya ibu bayi masih ingin menyusui bayinya sendiri. Jika sebaliknya, ayah perlu mencari pengganti wanita lain sekiranya ibu tidak ingin menyusui bayinya dan tidak boleh memaksa ibu untuk menyusui apabila bayi mau menerima susu dari wanita lain. Si ibu juga tidak boleh menyerahkan bayi kepada ayah sekiranya ibu berniat untuk memudharatkan si ayah. Si ibu hanya menerima nafkah dan pakaian mengikut kadar kewajiban dan tidak melebihi kadar keharusan.
(وَعَلَى الۡوَارِثِ) ahli waris sang ayah apabila ia meninggal (مِثۡلُ ذٰ لِكَ) artinya hal yang wajib bagi sang ayah adalah menafkahi dan memberikan pakaian. Ahli waris sama dengan bayi jika ia memiliki harta, maka jika ia tidak memiliki harta maka wajib bagi sang ibu, tidak boleh dipaksa untuk menafkahi sang bayi kecuali kedua orang tuanya, sesuai pendapat Malik dan Syafi‟i.
Pendapat lain menyatakan wajib bagi pewaris anak yang mewarisinya apabila sang ayah meninggal berperan sebagaimana sang ayah berperan pada semasa hidupnya mereka itu adalah ashobah seperti kakek, saudara laki-laki, paman, anak laki-lakinya, adapun tiap pewaris sang ayah baik laki-laki maupun perempuan menurut Ahmad wajib mereka dipaksa untuk menafkahi sang bayi sesuai kesanggupan masing-masing. Sedangkan keharusan bagi setiap orang yang memiliki hubungan mahram dengannya menurut Abu Hanifah.
Dalam perihal nafkah oleh waris pula menurut Malik dan Syafi‟i apabila sang ayah meninggal dan bayi tersebut mempunyai harta maka nafkah dikeluarkan melalui harta yang dimilikinya sendiri (harta pusaka). Jika bayi tiada harta maka ibunya lah yang wajib memberi nafkah kepada bayi dan orang lain tidak boleh dipaksa untuk menafkahi bayi selain orang tuanya.
(فَاِنۡ اَرَادَا) suami atau istri (فِصَالًا) artinya memisahkan si bayi dari susu sebelum genap dua tahun (عَنۡ تَرَاضٍ مِّنۡهُمَا) sesuai dengan kerelaan si ayah dan ibu (وَتَشَاوُرٍ) antara keduanya (فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا) melebihkan dua tahun atau tak sampai dua tahun, ini merupakan kelapangan setelah adanya batasan tertentu, musyawarah adalah mengeluarkan pendapat, dari kata syirtu al-Asal “saya memeras madu apabila saya mengeluarkannya”
Jika suami istri mau memisahkan si bayi dari susu sebelum genap dua tahun atau mau melebihkan tempoh penyusuan dari dua tahun maka keduanya perlu bermusyawarah dan ianya merupakan kelapangan setelah adanya batasan tertentu. Tiada dosa bagi keduanya.
(وَاِنۡ اَرَدْتُّمۡ اَنۡ تَسۡتَرۡضِعُوۡٓا اَوۡلَادَكُمۡ) selain si ibu karena barangkali ingin menikah upamanya. (فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ) maka tidak ada dosa bagi si ayah dan ibu (اِذَا سَلَّمۡتُمۡ مَّآ اٰتَيۡتُمۡ) apabila menginfakkan apa yang kamu berikan (بِالۡمَعۡرُوۡفِؕ) dengan cara yang ma‟ruf dan tanpa ada persengketaan.
(وَاتَّقُوا اللّٰهَ)takutlah kepada Allah dalam perkara mudorat dan perselisihan
(وَاعۡلَمُوۡٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِيۡرٌ) tidak ada yang tersembunyi darinya perbuatan-perbuatanmu lalu ia membalasimu atas dasar perbuatan-perbuatan mu itu.[2]
Jika bayi ingin dihentikan penyusuannya atau menyusukannya pada perempuan lain karna si ibu mau menikah lagi misalnya maka tidak ada dosa bagi si ayah dan si ibu. Jika si ayah berikan infak (upah) dengan cara yang baik tanpa ada persengketaan. Takutlah kepada Allah swt dalam perkara mudhorat dan perselisihan. Tiada yang tersembunyi dari-Nya lalu Allah swt membalasimu atas dasar perbuatan-perbuatan kita sendiri.
Menurut beberapa ulama seperti dalam tafsir al Jawahir, al Thabari, dan Syafi’i menyatakan bahwa ayat diturunkan kepada wanita yang di talaq, menurut Imam Qurthubi ayat yang ditujukan adalah kepada wanita yang masih dalam ikatan perkahwinan dan talaq raj’i. Selain itu, tentang batas waktu penyusuan pula kesemua ulama tafsir seperti al-Jawahir, al Thabari, Ibn Katsir, Qurthubi, dan Syafi’i bersepakat bahwa tempoh batas maksimal penyusuan adalah selama dua tahun. Kesemua ulama juga bersepakat bahwa ayah wajib menafkahi ibu yang menyusui makanan dan pakaian serta tidak boleh saling memudharatkan. Dalam hal waris menafkahi anak kecil pula al Jawahir, Qurthubi, Syafi’i tidak mewajibkan. Tetapi, menurut Ibnu Katsir waris wajib menafkahi anak sebagaimana ayah wajib menafkahi anak. Seterusnya, menurut ath Thabari waris yang mempunyai hubungan rahim dan mahram sahaja yang wajib memberikan nafkah kepada anak kecil.[3]
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah, penyusuan yang di lakukan langsung oleh ibu kandungnya memiiliki tujuan dan makna yang amat penting bagi si anak, menyusui adalah factor terbesar dari upaya terbaik menjaga kelangsungan hidup si anak. Selain itu, menyusui juga sangat membantu dalam tumbuh kembang fisik dan psikologis si anak. Alquran telah menggariskan bahwa ASI adalah makanan terbaik untuk bayi hingga usia dua tahun dengan penyusuan ibu kandung, anak akan merasakan detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak si bayi ada di dalam perut.[4]
Rukun Persusuan (ar-Radla’)
1. Perempuan yang menyusui (المرضعة)
Perempuan yang air susuannya menyebabkan perempuan itu mahram dikawin yaitu perempuan yang masih subur air susunya, keluar dari kedua puting susunya. Perempuan tersebut sudah dewasa atau belum, masih berdarah haid maupun sudah tidak haid lagi, baik mempunyai suami atau tidak, hamil atau tidak. Demikianlah sifat-sifat atau keadaan perempuan yang menyusui menurut ketentuan para fuqaha.
Mengenai hubungan status seorang ibu susuan fuqaha telah sependapat bahwa secara garis besar apa yang diharamkan oleh sebab susuan sama dengan apa yang diharamkan oleh nasab. Bahwa seorang perempuan yang menyusui anak sama kedudukannya dengan seorang ibu kandung. Oleh karenanya, ia diharamkan bagi anak yang disusukannya dan diharamkan pula baginya semua orang (perempuan) yang diharamkan atas anak laki-laki dari segi ibu nasab
Dalam Qur’an surah An-Nisa ayat 23 :
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ/ xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3 cÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇËÌÈ
diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[5]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Fuqaha sepakat bahwa, secara garis besar hal-hal yang diharamkan dalam hubungan susuan sama dengan hal-hal yang diharamkan oleh hubungan nasab. Yaitu bahwa seorang perempuan yang menyusui sama kedudukannya dengan ibu kandungnya. Adapun haram yang dimaksud ialah haram melakukan pernikahan, berjalan berduaan di tempat yang sunyi atau jauh, dan tidak masuk kedalamnya hal waris mewarisi serta soal nafkah, sebab wanita yang menyusukan itu bukan ibunya yang sebenarnya, melainkan hanya “Ibu susuan” saja.[6] Oleh karenanya, hukum waris mewarisi atau nafkah tidak masuk dalam hukum “menyusukan”.
2. Kadar air susu (مقدار اللبن)
Penetapan mahram tidak disyaratkan susu itu harus dalam kondisi alami, baru keluar dari puting, meskipun air susu itu telah masam, mengental, menguap, menjadi keju, mengering, berbuih, atau bercampur air minum, dan si bayi meminum dan memakannya. Hal ini disebabkan air susu telah sampai ke perut dan tujuan memberikan makan telah tercapai. Para fuqaha berselisih pendapat dalam masalah tersebut, ulama Mazhab Hanafi, Muzni, dan Abu Tsaur, mengatakan bahwa jika air susu seorang perempuan bercampur dengan makanan lain, minuman, obat, susu kambing, dan yang lainnya, jika air susu ibu yang dimakan seorang anak lebih dominan atau lebih banyak dari pada campurannya, maka air susu itu mengharamkan dan jika lebih sedikit, maka ia tidak mengharamkan.[7]
Adapun ulama Syafi’i, Ibnu Habib, Ibnu Mutharrif, dan Ibnu Majisyun dari kalangan ulama Maliki berpendapat bahwa air susu seperti itu menyebabkan keharaman seperti kedudukan air susu murni sebab campuran, itu tidak menghilangkan kemurnian air susunya. Yang menjadi permasalahan adalah keumuman atas penyebutan air susu tersebut. Hal ini sama dengan sebutan air suci yang bercampur dengan benda lain yang suci, dimana air tersebut tetap pada kondisi yang suci.
3. Anak yang menyusu(ألرضي).
Penyusuan tersebut disyaratkan bayi yang hidup secara normal dan belum berusia 2 (dua) tahun pertama sejak kelahiran berdasarkan hitungan kalender Hijriah. Jika dia lahir bukan pada tanggal pertama, maka pada bulan ke-25 hitungan harinya harus disempurnakan menjadi 30 (tiga puluh). Jika bayi telah berumur dua tahun, susuannya tidak menjadikannya mahram. Masa menyusui anak adalah dua tahun, namun sebagian lain menyatakan hingga bayi tumbuh gigi dan berumur kurang dari satu tahun.[8]
Syarat-syarat Persusuan (ar-Radla’) Menurut jumhur ulama :
1. Air susu harus berasal dari manusia (لبن الأدمية). Dalam hal ini seseorang itu sudah mempunyai suami atau tidak lagi mempunyai suami.
2. Air susu itu masuk ke dalam lambung bayi (وصول إلي جوف طفل) baik melalui isapan langsung dari puting payudara maupun melalui alat penampung susu seperti gelas, botol dan lain-lain. Menurut mazhab empat terjadinya persusuan (ar-Radla’) tidak harus melalui penyedotan pada puting susu, namun pada sampainya ASI pada lambung bayi yang dapat menumbuhkan tulang dan daging. Namun mereka berbeda pendapat mengenai jalan lewatnya ASI, menurut Imam Malik dan Hanafi harus melalui rongga mulut, sedangkan menurut Hambali adalah sampainya pada lambung dan pada otak besar.[9]
3. Proses persusuan melalui mulut atau hidung. Mayoritas ulama’ era terdahulu termasuk Abu Hanifah, Malik Syafi’i, Ahmad, dan lainya memahami kata persusuan (ar- Radla’) dalam arti masuknya air susu ke dalam rongga tubuh anak melalui kerongkonganya atau selain kerongkongan dengan jalan mengisap atau bukan. Karena itu memasukkan air susu, misalnya dengan sendok ke kerongkongan yang dalam bahasa hukum dinamai al-wujur tercakup juga dalam kata menyusukan, sehingga mengakibatkan dampak hukum di atas. Bahkan ada pakar hukum yang memasukkan kata al-sa’uth dalam cakupan kata menyusukan, yaitu memasukkan air susu melalui hidung. Menurut imam Malik, dampak hukum dapat timbul melalui al-Huqnah, yaitu memasukkan air susu melalui lubang pantat dengan jalan suntikan yang akan mengenyangkan. Demikian pula meneteskan air susu pada mata, telinga, atau luka dipersamakan dengan al-Huqnah jika mengenyangkan. Mayoritas ulama menolak dengan tegas pendapat ini, karena memasukkan air susu dengan jalan suntikan dan sejenisnya bagaimanapun juga tidakdinamakan menyusukan.
4. Tidak ada campuran lain, jika ada campuran dari benda cair atau padat dan air susu tetap mendominasi berlakulah keharaman persususan. Namun, jika campuranya yang mendominasi, otomatis dampak hukum tiada berlaku.
5. Bayi tersebut belum berusia dua tahun ( دونالحولين ) Menurut mazhab fiqh empat dan jumhur ulama, susuan itu harus dilakukan pada usia anak sedang menyusu. Oleh sebab itu, menurut mereka apabila yang menyusu itu adalah anak yang sudah dewasa di atas usia dua tahun, maka tidak ada keharaman untuk menikah sesama susuan
6. Kadar penyusuan sebanyak lima kali atau lebih secara terpisah, menurut aliran Syafi’i dan Hanbali. Seandainya seorang anak berhenti menyusu untuk menarik nafas, istirahat, karena bosan, berpindah dari satu puting ke puting lainya atau dari seorang perempuan ke perempuan lainya, lantas seketika itu ia kembali menetek, maka semuanya terhitung satu kali. Jika seorang anak menyusu kurang lima kali, atau timbul keraguan berapa kali ia menyusu, dampak hukum keharaman belum terwujud Mereka mengajukan argumentasi sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنـَّها قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُرَضَعَاتٍ يحُرِّمْنَ. ثمُّ نُسخْنَ بخِمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فتوفى رسول الله صلى الله عليه و سلم و هنّ فيما يقرا من القرآن ) رواه مسلم (
“A’isya r.a berkata: Dahulu Alquran turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang diyakini dapat mengharamkan, kemudian ketentuan itu dihapus dengan lima kali penyusuan yang diyakini. Rasulallah Saw mangkat dan ayat itu terbaca karena bagian dari Alquran”. (H.R. Muslim).[10]
ulama fiqh menetapkan bahwa perlu alat bukti untuk menetapkan Sumber Ketetapan Persusuan (ar- Radla’) :
1. Ikrar (Pengakuan)
ikrar yaitu pengakuan persusuan dari pihak laki-laki dan wanita secara bersama atau salah satu dari mereka. Apabila ikrar itu dilakukan sebelum menikah, maka keduanya tidak boleh menikah dan apabila mereka telah menikah maka akad batal.
Imam Hanafi berpendapat, ikrar dalam persusuan adalah pengakuan persusuan dari pihak laki-laki dan wanita secara bersama atau salah satu dari mereka. Apabila ikrar itu dilakukan sebelum menikah, maka keduanya tidak boleh menikah dan apabila mereka menikah maka akad batal. Apabila ikrar itu dilakukan setelah perkawinan, maka mereka harus berpisah. Ketika mereka memilih enggan untuk berpisah, maka hakim berhak memaksa mereka untuk berpisah.
Imam Maliki berpendapat, ar-radaah (menyusui) dapat terjadi dengan adanya ikrar kedua pasangan suami istri secara bersama, atau pemberitahuan salah satu dari orang tua mereka berdua, atau hanya dengan pemberitahuan dari suami yang mukallaf meskipun dilakukan setelah akad, atau pemberitahuan dari seorang istri yang sudah baligh dan dilakukan sebelum akad.
Imam Syafi’i menetapkan bahwa ikrar harus dilakukan oleh dua orang laki-laki karena dianggap lebih unggul dalam ikrar.
2. Persaksian (al-Baiyyinah)
kesaksian yang dikemukakan orang yang mengetahui secara pasti bahwa laki-laki dan wanita itu sepersusuan. Adapun jumlah saksi yang disepakati ulama fiqh yaitu minimal dua orang saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dengan dua orang wanita. Akan tetapi ulama fiqh berbeda pendapat tentang kesaksian seorang laki-laki atau seorang wanita atau empat orang wanita.
Menurut ulama mazhab Hanafi kesaksian tersebut tidak dapat diterima karena ‘Umar bin Khattab mengatakan, “Saksi yang diterima Persusuan dalam masalah susuan hanyalah persaksian dua orang laki-laki.” Para sahabat lain tidak membantah ketetapan Umar bin Khattab ini, karenanya menurut mereka, ketetapan ini menjadi ijma’ para sahabat, dan ijma’ para sahabat dapat dijadikan sandaran hukum. Alasan lain yang mereka kemukakan adalah firman Allah Swt dalam Surat al-Baqarah ayat 282 yaitu[11]:
(#rßÎhô±tFó$#ur…….. ÈûøïyÍky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3t Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? ÇËÑËÈ………
…….“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”…..
BAB III
KESIMPULAN
& Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat penyusuan ialah memasukkan susu secara semula jadi atau alat bantuan kepada yang umurnya tidak melebihi dua tahun. penyusuan susu ibu ialah memasukkan susu perempuan ke dalam rongga kanak-kanak yang tidak melebihi usia dua tahun.
& Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah, penyusuan yang di lakukan langsung oleh ibu kandungnya memiiliki tujuan dan makna yang amat penting bagi si anak, menyusui adalah factor terbesar dari upaya terbaik menjaga kelangsungan hidup si anak. Selain itu, menyusui juga sangat membantu dalam tumbuh kembang fisik dan psikologis si anak. Alquran telah menggariskan bahwa ASI adalah makanan terbaik untuk bayi hingga usia dua tahun dengan penyusuan ibu kandung, anak akan merasakan detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak si bayi ada di dalam perut yang terdapat dalam Qur’an Surah Al-baqarah ayat 233
& Rukun Persusuan (ar-Radla’)
1. Perempuan yang menyusui (المرضعة)
2. Kadar air susu (مقدار اللبن)
3. Anak yang menyusu(ألرضي).
& Syarat-syarat Persusuan (ar-Radla’) Menurut jumhur ulama :
1. Air susu harus berasal dari manusia (لبن الأدمية).
2. Air susu itu masuk ke dalam lambung bayi (وصول إلي جوف طفل)
3. Proses persusuan melalui mulut atau hidung.
4. Bayi tersebut belum berusia dua tahun ( دونالحولين )
5. Kadar penyusuan sebanyak lima kali atau lebih secara terpisah
& ulama fiqh menetapkan bahwa perlu alat bukti untuk menetapkan Sumber Ketetapan Persusuan (ar- Radla’) :
1. Ikrar (Pengakuan)
2. Persaksian (al-Baiyyinah)
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Muhammad Mustafa al Zuhaily, Al Mu’tamad Dalam Fiqh Mazhab Syafi’I, (Persekutuan Seruan Islam (Jami’ah) Selangor dan Wilayah Persekutuan, 2012) Jilid 8.
Syeikh Thanthawi Jauhari, Al Jawahir Fi Tafsir Al Quran
M Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah ;Pesan dan Keserasian Alquran (Jakarta: Lentera Hati, 2011)
Syihabuddin Abil Abbas Ahmad, ‘Umdatus Salik Wa ‘Umdatun Nasik, (Jakarta : Al-Haramain, 2004),
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah III, (Jakarta : Cakrawala, 2011)
Muhammad Baqir Hujjati, Pendidikan Anak dalam Kandungan, (Jakarta Selatan : Cahaya, 2008)
ARTIKEL
Thoat Setiawan., PERSUSUAN (AR-RADHAA’) MENJADIKAN KEMAHRAMAN DALAM PERKAWINAN (KAJIAN TAFSIR MAUDU’I ALQURAN SURATAN-NISA AYAT 23), Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 16, Nomor 1, Januari-Juni 2017
Nurizyati Binti Mohamad Zat.,” Radha’ah Menurut Al Quran Dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Anak Dan Ibu”,Uin Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru: 2019
[1] Muhammad Mustafa al Zuhaily, Al Mu’tamad Dalam Fiqh Mazhab Syafi’I, (Persekutuan Seruan Islam (Jami’ah) Selangor dan Wilayah Persekutuan, 2012) Jilid 8, hlm. 20-21.
[2] Syeikh Thanthawi Jauhari, Al Jawahir Fi Tafsir Al Quran, hlm.212
[3] Nurizyati Binti Mohamad Zat.,” Radha’ah Menurut Al Quran Dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Anak Dan Ibu”,Uin Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru: 2019
[4] M Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah ;Pesan dan Keserasian Alquran (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hlm . 609
[5] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
[6] Syihabuddin Abil Abbas Ahmad, ‘Umdatus Salik Wa ‘Umdatun Nasik, (Jakarta : Al-Haramain, 2004), hlm. 62.
[7] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah III, (Jakarta : Cakrawala, 2011), hlm. 300.
[8] Muhammad Baqir Hujjati, Pendidikan Anak dalam Kandungan, (Jakarta Selatan : Cahaya, 2008), hlm. 156.
[9] Thoat Setiawan., PERSUSUAN (AR-RADHAA’) MENJADIKAN KEMAHRAMAN DALAM PERKAWINAN (KAJIAN TAFSIR MAUDU’I ALQURAN SURATAN-NISA AYAT 23), Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 16, Nomor 1, Januari-Juni 2017. hlm. 27
[10]ibid, hlm. 28
[11] Ibid., hlm. 29
0 comments:
Posting Komentar