Sabtu, 12 Maret 2022

Kodifikasi dan Legalisasi hukum Waris di Dunia Islam

 

MATA KULIAH

Hukum Kewarisan di Indonesia dan

di Beberapa Negara

DOSEN PENGAMPU

1. Prof. Dr. Fahmi Al-Amruzi, M. Hum

2. Dr. H. Sukris Sarmadi, S.H., M.H

 

 

Kodifikasi dan Legalisasi hukum Waris di Dunia Islam

 

 

 

OLEH

Ruadhatul Jannah

NIM : 210211050117

 

 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

BANJARMASIN

PASCASARJANA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

TAHUN 2021

 

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunianya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Kewarisan di Indonesia dan di Beberapa Negara dalam program Pascasarjana Prodi Hukum Keluarga tahun 2021 di UIN Antasari Banjarmasin, dengan Judul “Kodifikasi dan Legalisasi hukum Waris di Dunia Islam”.

Penulis sadari didalam tulisan ini tentunya banyak kurangnya sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat untuk membangun dan memperbaiki sangatlah diharapkan demi kesempurnaan makalah yang disajikan penulis ini, dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis terlebih lagi para pembaca pada umumnya.

 

Penyaji/Penulis

 

(Raudhatul Jannah)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

Pendahuluan...................................................................................................................... 2

Pembahasan

A.    Sejarah Hukum Kewarisan Islam.......................................................................... 5

1.     Kewarisan Pada Masa Pra-Islam...................................................................... 5

2.     Kewarisan Pada Masa Awal Islam................................................................... 8

3.     Dasar-dasar Hukum Kewarisan Isi................................................................. 10

3.     Hukum Kewarisan di Dunia Islam...................................................................... 10

4.     Hukum Kewarisan Di Beberapa Negara Islam .................................................. 11

Penutup ........................................................................................................................... 16

Daftar Pustaka................................................................................................................. 17

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

A.    Latar Belakang

Hukum islam merupakan hukum Allah SWT, dan sebagai hukum Allah yang menuntut kepatuhan dari umat islam untuk melaksanakannya sebagai keimanan terhadap Allah SWT. Keimanan akan wujud Allah menuntut kepercayaan akan segala sifat, kodrat, dan iradat Allah. Aturan Allah tentang tingkah laku manusia itu sendiri merupakan suatu bentuk dari iradat Allah dan kepatuhan menjalankan aturan Allah merupakan perwujudan dari iman kepada Allah.

Kehidupan manusia tidak terlepas dari kodrat kejadiannya sebagai manusia. pada diri manusia sebagaia makhluk hidup terdapat dua naluri yaitu mempertahan hidup dan naluri melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut Allah menciptakan pada diri manusia dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup dan oleh sebab itu munvul muncul kecendrungan menusia untuk mendapatkan dan memiliki harta.

Terdapat lima hal yang merupakan syarat bagi kehidupan manusia, diantaranya agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan yang disebut dengan daruriyat al-khamsa (lima kebutuhan dasar) pada diri setiap manusia.

Kehidupan manusia yang di atur Allah dapat dikelompokkan kepada dua kelompok, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah penciptanya. Dan berkaitan dengan hubungan antar manusia dan alam sekitarnya. Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.

Aturan tentang warisan tersebut ditetapkan Allah melalui firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya ketentuan Allah berkenaan dengan kewarisan jelas maksud dan arahnya masih memerlukan penjelasan yang bersifat menegaskan ataupun bersifat merinci yang disampaikan Rasulullah SAW melalui Hadist akan tetapi masih menimbulkan pemikiran dan pembahasan di kalangan para pakar hukum islam. Dalam literatur hukum islam di temui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan islam, seperti Faraid, Fiqih mawaris, dan hukum a-waris.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

A.    Sejarah Hukum Kewarisan Islam

1.     Kewarisan Pada Masa Pra-Islam

Masa pra-Islam dikenal juga dengan masa jahiliah, yaitu masa di mana bangsa Arab selalu melakukan peperangan dan bertindak tidak adil. Pada masa itu, kehidupan orang Arab ber gantung pada hasil perniagaan, jarahan, dan hasil rampasan perang dari bangsa- bangsa yang mereka taklukkan. Ketika itu, kekayaan berada di tangan laki-laki dewasa yang mampu dan memiliki kekuatan serta kekuasaan. Hal itu juga berlaku terhadap pembagian harta warisan. Maka, menjadi wajar jika harta warisan diberikan kepada laki-laki dewasa, bukan kepada perempuan dan anak-anak.

Pada masa jahilyah, pembagian harta warisan dilakukan dengan berpijak pada dua sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab[1]. Salah satu yang menjadi Tradisi jahiliyah dalam pembagian harta warisan adalah bersifat patrilinear, di mana kaum perempuan dan anak-anak yang belum dewasa mereka terjegah untuk mendapatkan harta warisan, sekalipun mereka merupakan ahli waris dari yang telah meninggal[2].

Hal itu terjadi karena arab jahiliyah pada saat itu berdalih bahwa kaum wanita tidak mempunyai kekuatan untuk di ikut sertakan dalam berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, “Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggangi kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh.”[3]

Bahkan Mereka melarang keras dan megharamkan kaum wanita menerima harta warisan sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.[4] Tidak sampai di situ, di antara mereka mengira bahwa kaum wanita yang ditinggal mati suaminya mereka termasuk harta yang dapat diwariskan dan diwarisi oleh para ahli waris suaminya.

Di masa jahiliyah (pra-islam), pembagian warisan dilakukan jika terdapat hubungan kekeluargaan/kerabat. Di antara mereka juga ada yang beranggapan bahwa harta warisan bisa diberikan terhadp mereka yang telah melakukan perjanjian prasetia.[5] Dan bisa juga di berikan pada tabanni (anak-anak yang diadopsi /pengangkatan anak).[6] Dari penjelasan di atas Dapat di tarik pemahaman bahwa, seseorang bisa mendapatkan harta warisan apabila diantaranya :

a.      Adanya Pertalian Kerabat (ةبارقلا)

Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Pertalian kerabat yang menyebabkan seorang ahli waris dapat menerima warisan adalah laki-laki yang memiliki kekuatan untuk membela, melindungi, dan memelihara qabalah (persukuan) atau sekurang- kurangnya keluarga mereka. 11 Persyaratan ini mengakibatkan anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan tidak dapat menerima pusaka. Pantangan menerima pusaka bagi kedua golongan ini karena dianggap tidak sanggup melakukan tugas-tugas peperangan dan lebih dari itu mereka dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu, para ahli waris jahiliah dari golongan kerabat semuanya terdiri atas:

a)     anak laki-laki,

b)     saudara laki-laki,

c)     paman,

d)     anak-anak yang semuanya harus dewasa, dan

e)     anak laki-laki paman.

Apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang sudah besar, maka harta peninggalannya jatuh kepada saudara laki-lakinya yang sanggup berperang. Satu hal lain yang aneh ialah bahwa yang diwariskan itu tidak hanya harta peninggalan saja, tetapi juga isterinya, asalkan saja istri itu bukan ibu kandung yang mewarisi. Mereka juga memberi warisan kepada anak yang lahir di luar pernikahan.

b.     Adanya Janji Ikatan Prasetia (المحالفة)

Janji prasetia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan ini tidak mungkin terealisasi apabila pihak-pihak yang berjanji adalah anak-anak yang belum dewasa, apalagi kaum wanita.

Adapun isi janji prasetia tersebut adalah: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai ganti nyawaku, aku pun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu”.[7]

Konsekuensi janji setia itu adalah jika salah satu pihak meninggal dunia, maka pihak lain yang masih hidup berhak mempusakai harta peninggalan partner-nya sebanyak 1/6 bagian harta peninggalannya. Adapun sisa harta setelah dikurangi 1/6 dibagikan kepada ahli warisnya.[8]

c.      Adanya Pengangkatan Anak (التبني)

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pewarisan atas pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan janji prasetia, dan pewarisan atas dasar pengangkatan anak, disyaratkan harus laki-laki yang sudah dewasa (kuat). Adapun tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia dan pengangkatan anak adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan mereka. Hal itu tidak akan terealisasikan jika masih anak-anak atau perempuan.[9]

Sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad saw mengangkat Zaid Ibn Haritsah menjadi anak angkatnya dan dikatakanlah Zaid bin Muhammad. Beliau mengangkat Zaid ini sebagai anaknya, sesudah Zaid dimerdeka- kan. Abu Huzaifah Ibn ‘Utbah mengangkat Salim menjadi anaknya dan dikatakanlah: Salim ibn Abu Huzaifah. Keadaan ini berlaku hingga turun surat al-Ahzab (33): 5, dibawah ini:

öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øŠs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JŠÏm§ ÇÎÈ  

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[10]. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Ayat ini menegaskan bahwa, Nabi Muhammad saw bukanlah ayah dari seorang anak angkat (Zaid) dan anak-anak angkat tidaklah dapat dianggap sebagai anak sendiri, serta anak-anak angkat itu haruslah dibangsakan kepada ayah mereka sendiri.[11]

 

2. Kewarisan Pada Masa Awal Islam

Pada masa awal Islam, masih berlaku sistem pembagian kewarisan masa jahiliah hingga turun ayat yang menerangkan bahwa para lelaki (tidak memandang dewasa atau anak-anak) memperoleh bagian (pusaka) dari harta peninggalan orang tua dan kerabat-kerabat terdekat, begitu juga dengan perempuan, baik harta itu sedikit maupun banyak. Sebagaimana firman Allah swt Q.S. an-Nisa’ (4): 7;

ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ  

bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

 

Dengan turunnya ayat di atas, terhapuslah adat jahiliah yang tidak memberikan pusaka kepada perempuan dan anak-anak kecil. Di sisi lain, pada masa awal Islam, Rasulullah telah menerapkan hukum kewarisan. hal ini terlihat ketika Rasulullah beserta sahabatnya hijrah dari Mekkah menuju Madinah. Ketika sampai di Madinah, Rasulullah dan para sahabat disambut dengan gembira oleh orang-orang Madinah dengan ditempatkan dirumah-rumah mereka, dicukupi segala keperluan hariannya, dilindungi jiwanya dari pengejaran kaum Quraisy, dan dibantu dalam menghadapi musuh-musuh yang menyerangnya.

Untuk memperteguh dan mengabadikan ikatan persaudaraan, Rasulullah menjadikan hal tersebut sebagai salah satu sebab untuk saling mewarisi satu sama lain. Misalnya, apabila seorang sahabat tidak mempunyai wali (ahli waris) yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya diwarisi oleh walinya yang ikut hijrah. Ahli waris yang enggan hijrah ke Madinah tidak berhak mewarisi harta sedikitpun. Tetapi, jika ada sahabat yang tidak mempunyai wali yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya dapat diwarisi oleh saudaranya dari penduduk Madinah yang menjadi wali karena ikatan persaudaraan.[12]

Hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa pada masa awal Islam seseorang dimungkinkan untuk mendapatkan harta warisan apabila:

a)     adanya pertalian kerabat (القرابة),

b)     adanya pengangkatan anak (التبني),

c)     adanya hijrah (الهجرة), dan

d)     adanya ikatan persaudaraan (المؤخة).

Sehingga dapat dipahami bahwa dalam pewarisan pada awal Islam, kaum kerabat yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki dewasa saja, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Adanya hijrah dan ikatan persaudaraan juga memungkinkan untuk mendapatkan harta warisan, dan dalam kewarisan Islam, tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).[13]

3.     Dasar-dasar Hukum Kewarisan Islam

Secara historis, hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang ditentukan Rasulullah. Baik dalam al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah, dasar hukum kewarisan ada yang tegas mengatur dan ada yang tersirat, bahkan kadang- kadang hanya berisi pokok-pokoknya saja, yang paling banyak ditemui dasar atau sumber hukum kewarisan itu dalam surah an-Nisa’[14] di samping surah lainnya sebagai pembantu.

Di dalam beberapa ayat, pengertian waris disamakan dengan pengertian wasiat. Hukum waris memiliki dasar hukum (dalil) yang kuat, yaitu al-Qur’an pada Surat an-Nisa’: 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 33, 176, Surat Al- Anfal: 75, dan beberapa hadis Nabi SAW. Secara tegas, Allah menjanjikan surga bagi yang mengamalkan hukum ini melalui surat an-Nisa: 13, dan ancaman neraka bagi pelanggarnya melalui surat an-Nisa’: 14. Adapun surat an-Nisa’: 11, 12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama, memberikan rincian ahli waris dan bagian masing- masing dalam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.

B.    Hukum Kewarisan di Dunia Islam

Dalam hukum keluarga, pembaharuan hukum waris Islam berjalan lebih lambat dibandingkan dengan reformasi dalam hukum perkawinan dan percerain. Dalam catatan tata hukum di dunia Muslim modern, perundang-undangan dalam hukum perkawinan telah mengalami pembaharuan sejak tahun 1914 dengan keluarnya dekrit Raja Turki Usmani mengenai hak isteri untuk menuntut suami. Sedangkan perundang-undangan dalam bidang waris baru terjadi pada tahun 1921 dengan keluarnya surat edaran Mahkamah Sudan mengenai wewenang pengadilan mengatur kewarisan orang yang hilang.

Dalam tradisi fiqh al-mawâriș atau ’ilm al-farâid, dan kajian akademik yang telah dilakukan mengenai perkembangan awal hukum waris Islam, menunjukkan bahwa sejak periode awal (periode sahabat), hukum waris Islam telah mengalami perubahan. Meskipun terdapat aturan yang sangat rinci mengenai pembagian waris dalam ilmu faraid, seperti furudul muqaddarah dan dzawil furud (dzawi al-furûd), așâbah, dan dzawi al- arhām, tetapi dalam sejarah praktek pembagian waris Islam, hukum waris Islam telah mengalami perubahan semenjak periode awal Islam, periode Sahabat.

pada periode sahabat telah muncul sistem pembagian waris yang tidak sama dengan ketentuan literal yang ada dalam teks suci (al-Qur’an dan Hadis). Tuntutan masyarakat pada periode Sahabat kepada pemuka masyarakat (al-khulafā’ ar-rāsyidûn) untuk mendapatkan hak waris yang dianggap lebih adil telah memaksa generasi Sahabat melakukan interpretasi dan praktek pembagian waris yang tidak sesuai dengan makna literal dari ayat-ayat waris. Pada periode ini telah muncullah peristiwa-peristiwa pembagian warisan yang kemudian melahirkan konsep-konsep dalam ilmu faraidl seperti ‘aul, radd, akdariyah, himāriyah, dan minbariyah.

Munculnya konsep-konsep baru pada periode Sahabat menunjukkan bahwa hukum waris Islam sangat dinamis. Meskipun terdapat aturan yang terperinci dalam sumber utama hukum Islam, tetapi perkembangan sosial telah memaksa para Sahabat menemukan hukum baru yang lebih sesuai dengan tuntutan masyarakat. Law in book diketepikan jika terdapat masalah dalam penerapan hukum.

C.    Hukum Kewarisan Di Beberapa Negara Islam

Dalam sejarah perkembangan pembaharuan hukum waris Islam, Sudan mungkin dapat dikatakan sebagai negara yang mula-mula melakukan reformasi hukum waris Islam. Peraturan dalam hukum waris masuk dalam perundang-undangan terjadi di Sudan pada tahun 1921 dengan keluarnya Surat Edaran Hukum (Judicial circular) No. 24 Januari 1921 mengenai orang hilang (mafqūd). Salah satu bagian dari surat edaran ini mengatur tentang tugas pengadilan untuk mengurus administrasi harta waris dan ahli waris bagi orang yang hilang. Reformasi administratif ini kemudian dilanjutkan dengan reformasi hukum material dengan keluarnya Judicial Circular No 26, 3 Februari 1925 mengenai hak pasangan (suami/isteri) untuk mewarisi semua harta waris jika tidak ada ahli waris yang lain.

Pada tahun 1925 juga, Mahkamah Mesir juga mengeluarkan surat edaran Mahkamah (Judicial Circular) No 28 tahun 1925. Isi surat edaran ini sama dengan edaran hukum Sudan no. 26 tahun 1925 tentang hak janda untuk mendapatkan sisa harta waris jika tidak ada ashabah, ashabul furudh, atau ahli waris yang lain dengan cara pengembalian sisa (radd). Dalam perkembangan hukum waris Mesir, ketentuan mengenai hak janda ini kemudian menjadi pasal 30 ayat (2) undang-undang No. 77 Tahun 1943 tentang waris (qānûn al-mīrāș).

 Ketentuan mengenai radd bagi pasangan (suami/isteri) dalam undang- undang Sudan dan Mesir mungkin hanya sebuah perubahan kecil dalam sistem hukum waris Islam. Akan tetapi aturan ini mempunyai pengaruh yang penting dalam peralihan harta warisan. Pertama, dari segi pendapat hukum yang berkembang dalam fiqh, aturan ini lebih memilih pada pendapat yang tidak populer di kalangan ahli hukum Islam (fuqaha). Mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa radd hanya diberikan kepada ahli waris sebab hubungan darah (nasabiyyah). Suami atau isteri, sebagai ahli waris karena perkawinan (sababiyyah), tidak berhak untuk menerima sisa harta dengan radd. Bahkan pendapat lain yang merujuk kepada Zaid bin Tsabit, tidak mengenal konsep radd. Bagi kelompok ini, harta sisa langsung masuk ke dalam kas Negara untuk kepentingan umum.

Pemberian hak radd untuk suami dan istri merujuk kepada pendapat Usman bin affan, Utsman berpendapat bahwa semua ahli waris, tidak terkecuali suami dan istri berhak untuk mendapatkan sisa harta dengan cara radd. Alasannya, ketika terjadi kekurangan harta waris dalam peistiwa ‘aul, pasangan ikut menanggung kekurangan tersebut, sehingga jika terjadi harta sisa, maka pasangan juga berhak untuk menikmati harta sisa. Akan tetapi, pendapat seperti ini menjadi pendapat syadz/pinggiran yang tidak popular di kalangan ulama fikih.

Hak pasangan untuk menerima harta sisa (radd) kemudian diadopsi menjadi pasal 30 Hukum Waris Mesir/ Egyptian Law of Intestate Succession tahun 1943. Aturan seperti ini beresonansi ke Negara Islam lain. Radd bagi pasangan kemudian menjadi pasal 288 hukum perdata Syiria/Suriah (the Syirian Law of Personal Status).[15] Tunisia juga membuat undang-undang semisal pada tahun 1956 dan diundangkan pada tahun 1959. Radd untuk pasangan menjadi pasal 143 ayat (2) undang-undang tersebut. Bahkan, Tunisia seperti menambah ketentuan baru dalam hukum waris Islam. Reformasi di Tunisia ini memungkinkan isteri (janda dari yang meninggal) mendapatkan semua harta sisa jika tidak ada ahli waris ashabah.[16]

Untuk Mesir, selain mengundangkan UU No. 77 Tahun 1943 tentang waris, Mesir juga mengundangkan Undang-undang No. 71 tahun 1946 tentang wasiat (qānûn al-washiyyah/Law of Testamentary Dispositions). Undang-undang wasiat ini memperkenalkan konsep wasiat wajibah. Wasiat wajibah menjadi jalan bagi cucu yatim untuk mendapatkan harta waris dari kakek atau neneknya.[17] Dalam tradisi dan khazanah fikih, wasiat wajibah adalah sebuah konsep yang dicetuskan oleh Ibnu Hazm, seorang tokoh penting dalam mazhab Zahiri. Gagasan ini dimunculkan untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan ahli waris yang karena sebab-sebab tertentu tidak dapat menerima harta waris dari pewaris. Akan tetapi, gagasan ini tidak popular dalam tradisi fikih sunni.

Mesir, dan juga Sudan, telah membuat aturan hukum mengenai kebebasan orang untuk memberikan wasiat maksimum sepertiga sesuai kehendaknya, baik hartanya akan diberikan kepada ahli waris atau yang bukan ahli waris tanpa harus meminta persetujuan dari ahli warisnya. Alasan utama kebebasan berwasiat dalam hukum kedua negara ini adalah untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.[18] Ketentuan seperti ini dalam perkembangan selanjutnya kemudian juga diikuti oleh beberapa Negara lain seperti Syiria, Tunisia, Maroko, Jordania.

hukum waris di Mesir berpengaruh penting terhadap perkembangan reformasi hukum waris di dunia Islam, bukan hanya pada spirit perubahan, tetapi juga dalam hal materi hukum. Tujuh tahun setelah Mesir mengundangkan undang-undang wasiat, pada tahun 1953, Syiria menerapkan undang-undang sipil ( Syirian Law of Personal Status/al-qānûn al- ahwāl asy-syakhsyiyyah), termasuk aturan-aturan yang berkaitan dengan hukum kewarisan. Langkah ini kemudian diikuti oleh beberapa negara lain seperti Tunisia, Maroko, dan Irak. Tunisia melakukan reformasi hukum waris pada tahun 1956 yang dilanjutkan pada tahun 1959. Sedangkan Maroko memulai pembaruan hukum waris dengan mengeluarkan undang-undang sipil (Moroccan Code of Personal Status) pada tahun 1958. Setelah itu menyusul Irak mengeluarkan hukum sipil ( Law of Personal Status) pada tahun 1959. Reformasi hukum di Irak ini bahkan banyak merubah/mengganti aturan shariah yang menyangkut kewarisan karena ingin menampung aspirasi dua kelompok muslim yang ada, sunni dan Syi’ah. Akan tetapi, hukum sipil Irak kemudian diamandemen pada tahun 1963 setelah terjadi kudeta terhadap presiden Abdul Karim Qasim. Setelah itu menyusul Pakistan mengeluarkan undang-undang hukum keluarga ( Pakistan Muslim Family Laws Ordinance ) pada tahun 1961.

hukum waris Islam yang terjadi di berbagai negara Islam sedikit banyak telah memberikan pengaruh penting terhadap watak dan karakter hukum waris Islam, terutama hukum waris di kalangan Islam sunni. Aturan-aturan dalam tradisi sunni telah banyak mengalami perubahan. Adanya tuntutan masyarakat terhadap aturan baru menjadi salah satu sebab terjadinya pembaharuan/reformasi hukum keluarga di negara-negara Muslim. Ini dapat dilihat dari argumen hukum yang ada dalam aturan-aturan hukum mengenai wasiat di Sudan (1945), dan Mesir (1946) mengenai wasiat yang berbeda dengan aturan yang ada dalam tradisi Sunni.

Salah satu alasan penting terjadinya pembaharuan perundang-undangan waris di dunia muslim adalah adanya kepentingan negara untuk menyediakan aturan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat memerlukan perubahan hukum waris karena menganggap bahwa aturan yang ada sudah tidak lagi memadai, dan tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan mereka. Dalam bahasa Anderson, penyebab utama reformasi hukum waris yang terjadi di dunia Islam karena adanya ketidakpuasan dalam masyarakat Muslim terhadap aturan hukum waris yang ada.

Ketidakpuasan terhadap konsep faraid ini juga yang mendasari lahirnya beberapa aturan dan konsep tambahan mengenai cara pembagian waris pada masa Sahabat. Lahirnya konsep musyarakah (musytarakah) yang dikenal juga dengan peristiwa umariyah, minbariyah, himariyah atau hajariyah, diawali dengan protes seorang Sahabat yang berstatus sebagai ahli waris saudara kandung kepada Umar bin Khatab karena menurut ketentuan yang ada dia tidak mendapatkan bagian waris, sedangkan saudara seibu mendapatkan harta waris. [19]

Secara antropologis, pembaharuan yang terjadi dalam hukum waris berkaitan dengan perubahan yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat. Bergeraknya masyarakat muslim dari sistem keluarga besar ( extended family) kepada sistem keluarga inti (nuclear family). Aturan yang ada dalam faraid lebih sesuai diterapkan dalam masyarakat yang menganut sistem klan keluarga besar ( extended family), tetapi kurang sesuai dengan sistem nuclear family. Dalam sistem keluarga besar, anggota keluarga tidak hanya terdiri dari dua generasi, yaitu orang tua dan anak, tetapi juga kerabat yang lain. Dalam sistem klan ini, solidaritas kolektif keluarga sangat kuat. Masing-masing anggota keluarga besar ini bertanggung jawab terhadap anggota keluarga klan. Di negara-negara Muslim, sistem keluarga besar ini mulai dan telah berubah menjadi sistem masyarakat yang mengamalkan sistem keluarga inti (nuclear family).[20]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Simpulan

è Sejarah Hukum Kewarisan Islam

Kewarisan Pada Masa Pra-Islam

a.    Adanya Pertalian Kerabat (ةبارقلا)

b.   Adanya Janji Ikatan Prasetia (المحالفة)

c.    Adanya Pengangkatan Anak (التبني)

Kewarisan Pada Masa Awal Islam

Dasar-dasar Hukum Kewarisan Islam

è pembaharuan hukum waris Islam berjalan lebih lambat dibandingkan dengan reformasi dalam hukum perkawinan dan percerain. Dalam catatan tata hukum di dunia Muslim modern

è hukum waris Islam yang terjadi di berbagai negara Islam sedikit banyak telah memberikan pengaruh penting terhadap watak dan karakter hukum waris Islam, terutama hukum waris di kalangan Islam sunni. Aturan-aturan dalam tradisi sunni telah banyak mengalami perubahan. Adanya tuntutan masyarakat terhadap aturan baru menjadi salah satu sebab terjadinya pembaharuan/reformasi hukum keluarga di negara-negara Muslim. Ini dapat dilihat dari argumen hukum yang ada dalam aturan-aturan hukum mengenai wasiat di Sudan (1945), dan Mesir (1946) mengenai wasiat yang berbeda dengan aturan yang ada dalam tradisi Sunni.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Buku

Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Bandung: Cita Pusaka Media Perintis, 2012)

Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)

Muhammad Ali al-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, terj. A.M Basmalah, (Gema Insani Press, 1995)

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, terj. (Semarang: Toha Putra, 1972)

Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Ma’arif, 1981)

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1982)

Jurnal

Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam dan Terwujudnya hukum Kewarisan Di Indonesia, Vol.15, No.2, Desember 2020

Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris di Negara-Negara Muslim, Vol. 48, No. 1, Juni 2014,

Ali Wahdi, “Histois waris Jahiliyah dan Awal Islam”, 2019

Peraturan PerUndang-Undangan

Pasal 288 hukum Keluarga Syiria tahun 1953

Pasal 143 ayat (2) Hukum Keluarga Tunusia tahun 1956 dan tahun 1959

Pasal 76-79 UU Mesir No.71 Tahun 1946

Edaran Mahkamah/Judicial Circular Sudan No. 53 tahun 1945, dan pasal 37 Memorandum Penjelasan (Explanatory Memorandum) dalam Undang-undang no. 77 Tahun 1946 tentang Wasiat (the Law of Testamentary Dispositions).

 



[1] Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Bandung: Cita Pusaka Media Perintis, 2012), hal. 7.

[2] Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 32

[3] Muhammad Ali al-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, terj. A.M Basmalah, (Gema Insani Press, 1995)

[4] Ibid

[5] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, terj. (Semarang: Toha Putra, 1972), hlm. 3

[6] Ali Wahdi, “Histois waris Jahiliyah dan Awal Islam”, 2019, hlm. 90

[7] Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm.14

[8]  Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 34

[9] Ibid, hlm. 4

[10] Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.

[11] Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam dan Terwujudnya hukum Kewarisan Di Indonesia, Vol.15, No.2, Desember 2020, hlm. 38

[12] Ikatan persaudaraan di sini adalah antara kaum muhajirin dan kaum Ansar, yaitu orang-orang yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin yang hijrah dari kota Madinah.

[13] Ahmad Affandy, Ibid, hlm. 39

[14] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 65

[15] Pasal 288 hukum Keluarga Syiria tahun 1953

[16] Pasal 143 ayat (2) Hukum Keluarga Tunusia tahun 1956 dan tahun 1959

[17] Pasal 76-79 UU Mesir No.71 Tahun 1946

[18] Edaran Mahkamah/Judicial Circular Sudan No. 53 tahun 1945 , dan pasal 37 Memorandum Penjelasan (Explanatory Memorandum) dalam Undang-undang no. 77 Tahun 1946 tentang Wasiat (the Law of Testamentary Dispositions).

[19] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 324-325

[20] Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris di Negara-Negara Muslim, Vol. 48, No. 1, Juni 2014, Hlm. 42

Ditulis Oleh : Marzuki Na'ma, S. Kom // Maret 12, 2022
Kategori:

0 comments:

Posting Komentar

 

Wikipedia

Hasil penelusuran

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.