MATA KULIAH Studi Hadis Hukum Keluarga |
DOSEN PENGAMPU 1. Prof Dr. H. Fahmi Al-Amruzi.M.Hum 2. Dr. Rahmat Solihin.M.Ag |
HADIST TENTANG NUSYUZ, SYIQAQ, LI’AN, ILA, DAN DZIHAR
OLEH
RAUDHATUL JANNAH
NIM : 210211050117
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunianya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Studi Hadis Hukum Keluarga dalam program Pascasajrana Prodi Hukum Keluarga tahun 2021 di UIN Antasari Banjarmasin, dengan judul “HADIST TENTANG NUSYUZ, SYIQAQ, LI’AN, ILA,DAN DZIHAR”
Bahwa penulis sadari didalam tulisan ini tentunya belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat untuk membangun dan memperbaiki sangatlah diharapkan demi kesempurnaan makalah yang disajikan penulis ini, dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis terlebih lagi para pembaca pada umumnya.
Wassalam
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ----------------------------------------------------- i
DAFTAR ISI--------------------------------------------------------------- ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang --------------------------------------------------------- 1
B. Rumusan Masalah ----------------------------------------------------- 2
C. Tujuan ------------------------------------------------------------------ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian, Dasar Hukum, Dan Akibat Dari Nusyuz.................... 3
B. Pengertian, Dasar Hukum, Dan Akibat Dari Syiqaq...................... 7
C. Pengertian, Dasar Hukum, Dan Akibat Dari Li’an........................ 10
D. Pengertian, Dasar Hukum, Dan Akibat Dari Ila............................
E. Pengertian, Dasar Hukum, Dan Akibat Dari Dzihar.....................
BAB III PENUTUP
SIMPULAN ---------------------------------------------------------------- 14
DAFTAR PUSTAKA ----------------------------------------------------- 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu fase dalam melangsungkan kehidupan, dimana perkawinan adalah awal kehidupan yang baru, ketika antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk menjadi sepasang suami dan istri dalam satu ikatan pernikahan, maka akan terjadi perubahan peran serta tanggung jawab terhadap diri sendiri, pasangan, keluarga, maupun dengan lingkungan.
Pernikahan merupakan sunnatullah, dimana pernikahan memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai dasar pembentukan keluarga sejahtera, itu sebabnya Allah swt dan Nabi Muhammad saw. Menganjurkan untuk melaksanakan pernikahan.
Perkawinan merupakan fondasi untuk membina rumah tangga, oleh karenanya Islam mensyari'atkan perkawinan untuk melanjutkan keturunan secara sah dan mencegah perzinaan. Adapun tujuannya ialah agar tercipta rumah tangga yang penuh kedamaian, ketentraman, cinta dan kasih sayang. Allah swt. tidak berkeinginan menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebasmengikuti nalurinya tanpa suatu aturan.
Adapun yang dapat memutuskan hubungan perkawinan adalah Kematian, Perceraian, dan atas Putusan Pengadilan. Sedangkan menurut Imam Malik sebab-sebab putusnya perkawinan adalah Talak, Khulu‟, Khiyar/ Fasakh, Syiqaq, Nusyuz, ila‟, dan Zhihar.
Islam merupakan agama yang sangat realistis. Ketika berbicara tentang perceraian (talak), Islam menetapkan aturan-aturan yang sangat manusiawi. Islam menyadari bahwa dalam kehidupan bersama antara dua individu yang berbeda selalu ada kemungkinan timbulnya konflik danpertikaian yang sulit didamaikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, dasar hukum, dan akibat dari nusyuz?
2. Apa pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Syiqaq?
3. Apa pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Li’an?
4. Apa pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Ila?
5. Apa pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Dzihar?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian, dasar hukum, dan akibat dari nusyuz
2. Mengetahui pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Siqaq
3. Mengetahui pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Li’an
4. Mengetahui pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Ila
5. Mengetahui pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Dzihar
BAB II
PEMBAHASAN
A. pengertian, dasar hukum, dan akibat dari nusyuz
pengertian Nusyuz secara Etimologi kata Nusyuz berasa dari kosakata arab (annusyuuza) yang mempunyai arti tempat yang tinggi dari permukaan bumi. Dalam hal ini, nusyuz bermakna kedurhakaan istri dan rasa besar diri terhadap suami. Secara umum, ada dua pengertian yang berbeda dalam mendefinisikan nusuz secara istilah, menurut Hanafiyah Nusyuz adalah Khuruuja dzauja min baiti dzaujihaa bighairi haqin yang artinya keluarnya istri dari rumah suaminya tanpa hak. Sedangkan menurut mayoritas Ulama dari kalangan madzhab maliki, madzhab syafii, dan madzhab Hanafi Ketika mendefinisikan nusyuz yaitu khurujuj dzaujati anithaatil waajibati lizzaji yang arinya keluarnya istri dari kewajiban taat pada suami.[1]
Kebanyakan ulama secara jelas dan terang sudah menyebutkan bahwa nusyuz adalah perbuatan menyimpang yang timbul dan dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya, bukan sebaliknya yaitu perbuatan menyimpang suami kepada istri. Namun ada Sebagian ulama yang menjelaskan bahwa nusyuz tidak hanya sebatas perbuatan menyimpang dari istri ke suami saja, tetapi juga berlaku sebaliknya. Ketika suami berbuat menyimpang kepada istrinya, maka hal tersebut juga disebut sebagai nusyuz, Syaikh Syarqawi mangatakan Bahwa nusyuz bisa terjadi dari sang suami, meskipun hal ini (penyebutan nusyuz) tidaklah popular diarahkan kepada suami.[2]
Hadis Nabi Muhammad SAW:
عن معاوية القشيري, قال:قلت:يارسول الله,ماحق زوجة أحدنا عليه, قال: (أن تطعمها إذاطعمت, وتكسوها إذااكتسيت, ولاتضرب الوجه, ولاتقبح, ولاتهجر إلافي البيت) رواهأبوداودوابن ماجه وأحمد والنسائي
“Dari Muawiyyah al-Qusyairiy berkata
:aku pernah bertanya kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah, apakah hak istri kami?”
Beliau menjawab, “memberinya makan jika kamu makan, memberinya pakaian jika
kamu berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak mencaci maki, dan tidak
mendiamkannya kecuali di dalam rumah“.(H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan
Nasa’i)
secara eksplisit menjelaskan tentang nusyuz
suami dengan
beberapa
indikator antara lain:
a. pertama, sikap egois dan tinggi hati suami yang dapat mendorongnya melecehkan hak-hak isteri;
b. kedua, perlakuan suami yang kasar dan berlebihan kepada istri;
c. ketiga, suami tidak memberikan hak-hak isteri seperti pemberian nafkah; dan perlakuan suami yang menelantarkan isteri tanpa perhatian yang semestinya jika perbuatan nusyuz itu datang dari pihak suami, yaitu dengan bersikap cuek dan berpalingnya suami sehingga dapat mengancam keamanan dan kehormatan istri serta mengancam keutuhan keluarga.
Lebih jauh nusyuz dari sikap diantanya menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan istri dari tempat tidur, mengurangi nafkahnya, dan suami yang bertabiat buruk, seperti cepat marah, suka memukul, dan sifat pelit.
Beberapa kriteria nusyuz suami dintanya :
a. Tidak memberikan mahar sesuai dengan permintaan isteri.
b. Tidak Memberikan nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami.
c. Tidak Menyiapkan peralatan rumah tangga,
perlengkapan dapur,
perlengkapan
kamar utama, seperti alat rias dan perlengkapan kamar
mandi
sesuai dengan keadaan di rumah isteri.
d. Tidak Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga.
e. Tidak Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu.
f. Tidak berbuat adil di antara anak-anaknya.[3]
akibat hukum yang diberikan nusyuz suami terhadap istri hal ini dapat dilihat dalam ayat yang mengatur tentang nusyuz suami yaitu dalam Q.S An-Nisaa’ [4]: 128. Para ulama yang menjelaskan mengenai akibat hukum nusyuz suami terhadap istrinya adalah sebagai berikut:
a. Membatalkan sebagian hak istri Tafsir. Ibnu Katsir Asy-Syafi’i mengatakan dari Ibnu al-Musyyab, bahwa putri Muhammad bin Muslim memiliki suami yang bernama Rafi’ bin Khudaji yang membenci sesuatu hal darinya, tidak tau karena tua atau karena hal lainnya, lalu ia bermaksud menceraikannya. Putri Muhammad itu berkata “jangan kamu ceraikan aku dan berikanlah giliranku sesuai kemauanmu”. Hal ini dipertegas di dalam kitab ash-Shahihain dari hadits Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah, ia berkata: Ketika Saudah binti Zum’ah telah tua, dia berikan gilirannya kepada ‘Aisyah dan Nabi Muhammad Saw menggilir ‘Aisyah pada hari Saudah. Sehingga dari ayat tersebut dimaksudkan Saudah memberikan haknya atas Nabi kepada ‘Aisyah
b. Mengakibatkan batalnya hubungan perkawinan. Berkaitan dengan mengakibatkan batalnya hubungan perkawinan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tindakan membiarkan istri tanpa digauli sebagaimana lazimnya suami istri dapat mengakibatkan batalnya hubungan perkawinan baik karena sengaja ataupun tidak sengaja
c. Istri menjadi terlantar dalam kehidupan rumah tangga Keadaan istri yang diakibatkan nusyuz suami dalam rumah tangga menjadikan kehidupannya dan keluarga menjadi terlantar, karena suami yang merupakan kepala rumah tangga membiarkan istri tanpa perhatian, bahkan suami tidak pernah bisa mendengar pendapat istri dengan tidak menganggap kehadiran istri. Hal ini membuat istri menjadi terlantar karena bingung dengan kelakuan suaminya yang mempertahankan pernikahannya dengan tidak pernah menganggapnya tapi juga tidak mau menceraikannya.
d. Mengembalikan mahar kepada suami Mengembalikan mahar kepada suami merupakan akibat yang diterima istri apabila suami tidak mau menceraikannya tetapi istri menempuh dengan cara khulu’. Mengembalikan mahar kepada suami dilakukan istri apabila tidak bisa dilakukan perdamaian, seperti istri sudah merelakan haknya atas suami sehingga kewajiban suami dalam rumah tangga berkurang tapi suami tetap melakukan nusyuz dalam rumah tangga.
Berdasar KHI terkait akibat nusyuz suami tidak dijelaskan, namun seperti halnya akibat yang diterima oleh istri yang nusyuz diatur dalam Pasal 84 ayat (2) KHI yaitu: (2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku, kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. Sebagaimana akibat nusyuz istri yang diatur dalam Pasal 84 ayat (2), hal ini juga berlaku bagi akibat nusyuz suami, karena suami istri merupakan komponen penyangga utama dalam keluarga,17 yang memiliki ikatan yang berakibat memiliki hak dan kewajiban,18 sehingga perihal akibat nusyuz suami yaitu selama suami dalam keadaan nusyuz, maka kewajiban istri terhadap suaminya tersebut pada Pasal 83 tidak berlaku, kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. Selain akibat nusyuz suami yang ditimbulkan terhadap istri berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KHI apabila dihubungkan dengan Pasal 116 (d), (g), (k) maka dapat mengakibatkan putusnya perkawinan dengan gugatan perceraian dari istri. Gugatan perceraian yang diajukan istri sebagaimana dalam KHI berkaitan dengan akibat gugatan perceraian dengan jalan khulu’, yang akibat khulu’ dijelaskan dalam Pasal 161 yaitu perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.[4]
B. pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Syiqaq
kata syiqaq berasal dari baha arab “Syiqaqa” yang artinya sisi, perselisihan(al-khilaf), perpecahan, permusuhan(al-adawah), pertentangan atau persengketaan. Dalam Bahasa melayu diterjemahkan dengan perkelahuian. Sayuti Thalib mengartikan syiqaq dengan keteretakan yang sangat hebat antara suami dan istri.[5]
Menurut istilah fikih berarti perselisihan antar suami istri yang diselasikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.[6]
Syiqaq secara terminologi menurut Irfan Sidqan ialah keadaan perselisihan yang terus menerus antara suami dan istri yang di khawatirkan akan menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai(hakam) untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Definisi syiqaq menurut Fiqaha adalah perselisihan antara suami dan istri yang dikhawatirkan akan memutuskan hubungan perkawinan, untuk menyelesaikan diangkatlah hakamain. [7]
Hadits yang menjelaskan tentang syiqaq adalah sebagai berikut:
وحدثني يحى عن مالك أنّه بلغة أنّ علىّ بن أبنى طالب قال الحكمين اللذى قال اللّه تبارك وتعا:لوإن خفتم شقاق بينهماَ فابعثواَ حكماَ منَ أهله وحكماَمنَ أهلها إن يريدا َ إصلاحا يوفّق الله بينما إن الله كان عليم خبيرا)انّ إليهما الفرق واللإجتماع ,َقالَمالك:َوذلكَ أحسنَ ماَسَعتَ منَ أهل العلم :َ الْحكميَْن يجوز قو لهما بين الرّجل وامرأته في الفر قة والإجتما ع
Artinya: “Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari malik bahwa ia telah mendengar bahwa „Ali ibn Abi Thalib berkata tentang dua orang penengah yang difirmankan Allah ta‟ala: (Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaiakan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal), Sesungguhnya perpisahan dan pertemuan terletak pada mereka. Malik berkata: “itu yang terbaik sejauh yang aku dengar dari orang-orang berilmu. Apapun yang dikatakan oleh dua orang penengah/pendamai dijadikan pertimbangana”.[8]
Hakamain menurut para ulama fiqih sebagai juru dama yang terdiri atas wakil dari pihak suami dan wakil dari pihak istri untuk mencari jalan keluar dari kemelut yang dihadapi oleh pasangan suami istri. Dalam hal pengangkatan hakamain, diutamakan dari keluarga dekat karena lebih mengetahui seluk beluk rumah tangga serta pribadi masing-masing suami istri, sehingga menggangkat hakamain “juru damai” dari pihak keluarga sangan dianjurkan.
Syarat-syarat hakamain “juru damai” adalah :
1. laki-laki
2. adil
3. cukup mengetahui informasi permasalahan keluarga yang didamaikan
4. berakal
5. muslim
sedangkan hukum mengangkat hakamain “juru damai” adalah wajib, sebab pengutusan juru damai itu dalam rangka membasmi kelaliman antara suami istri, yang merupakan kewajiban umum pemerintah, dalam hal Hakim Pengadilan Agama.
Tugas juru damai (hakamain) adalah untuk menetapkan status perkawinan suami dan istri yang syiqaq, apakah hubungan perkawinannya itu akan tetap berlangsung atau tidak? Sebab, apabila dipandang masih ada kemungkinan jalan lain untuk mengatasi mudarat yang mungkin akan timbul akibat syiqaq tersebut selain melalui talak atau perceraian, maka salah satu cara menyelesaikan perselisahan keluarga tersebut dengan mengajukan pasangan suami istri ke pengadilan agama dengan didampingi kedua juru damai (hakamain) dimana Hakim Pengadilan Agama dan hakamain menasihati suami istri agar tidak mengulangi sikap dan Tindakan yang dapat menimbulkan perselisihan baru, sebab pasangan suami istri yang mengalami syiqaq tidak selamnya depat diselesaikan tanpa perceraian.[9]
Apabila dalam kasus syiqaq ini keduanya tidak dapat berdamai maka jalan yang terbaik adalah dengan menceraikan keduanya, dan kedudukan cerai oleh sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in, yaitu pernikahan yang putus secara penuh dan tidak memungkinkan untuk kembali lagi kecuali dengan mengadakan akad dan maskawin baru tanpa harus dinikahi oleh pria lain sebelumnya .[10]
C. pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Li’an
pengertian Li’an atau Mula’anah adalah kata dasar(Masdar) yang bermakna melaknat. Kata Li’an mengikuti pola (wazan) yang secara umum menunjukkan perbuatan yang berasal dari dua arah. Sehingga makna li’an dalam Bahasa arab adalah saling melaknat antara dua orang. Menurut ulama Syariat, li’an adalah persaksian-persaksian yang ditegaskan dengan sumpah dengan menyebut nama Allah, diiringi kalimat laknat dan kalimat kemurkaan.[11]
Hukum Li’an sangat memberatkan dan menekankan perasaan, baik bagi suami maupun bagi istri yang sedang dalam perkara li’an. Bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing, terutama setelah mereka berada dalam ketenangan berfikir dan perasaan Kembali. Hal ini tidak lain adalah :
a. karena bilangan sumpah li’an
b. karena tempat paling mulia untuk berli’an
c. karena masa yang paling penting untuk berli’an, yaitu waktu asar sesudah melakukan shalat
d. karena sumpah itu dilakukan dihadapan jamaah (manusia banyak), sekurang-kurangnya berjumlah empat orang.
Pengaruh lain akibat li’an adalah terjadinya perceraian antara suami istri. Bagi suami, maka istrinya menjadi haram untuk selamanya. Ia tidak boleh rujuk ataupun menikahi lagi dengan akad baru. Bila istrinya melahirkan anak yang dikandung nya, maka anak itu dihukumkan tidak termasuk keturunan suaminya.[12]
Dalam hadist mengatakan :
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَجُلاً لاَعَنَ امْرَأَتَهُ وَ انْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا، فَفَرَّقَ رَسُوْلُ اللهِ ص بَيْنَهُمَا وَ اَلْحَقَ اْلوَلَدَ بِاْلمَرْأَةِ. الجماعة
Dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya ada seorang laki-laki yang menuduh istrinya berzina lalu berbuat li’an dan ia tidak mengakui anak yang dilahirkan istrinya, kemudian Rasulullah SAW memisahkan antara keduanya dan menghubungkan anak tersebut kepada ibunya. [HR. Jamaah].
Akibat hukum dari perceraian yang disebabkan lian dalam perspektif Fiqih Islam ialah putusnya perkawinan, haram bagi pasangan suami istri rujuk kembali untuk selama-lamanya, pihak suami terhindar dari had qazf, pihak istri berhak menerima mahar, anak dinasabkan kepada pihak ibu dan keluarga ibu, dan anak tersebut berhak menjadi ahli waris ibunya dan sebaliknya. Sedangkan akibat hukum dari perceraian yang disebabkan lian dalam Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam menyebabkan putusnya perkawinan untuk selama-lamanya.[13]
D. pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Ila
Menurut Bahasa, ila artinya sumpah secara mutlak, baik sumpah untuk tidak mendekati istri atau yang lain. Sumpah untuk tidak mencampuri istri memiliki hukum tersendiri di masa jahiliah, yaitu haram untuk selamanya. Bila seseorang berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mencampuri istriku,” artinya menurut orang jahiliyah istrinya haram selamanya. Arti Bahasa lebih umum dari syar’i, sebab ila’ dalam syariat artinya bersumpah untuk tidak mencampuri istri saja. Menurut fuqaha, ila tidak dapat diucapkan sebagai sumpah untuk tidak makan, minum atau yang lainnya.[14]
Ila’ adalah bentuk Masdar dari kata aalaa yuulii iilaa’, sama seperti pola a’thaa yu’thii I’thaa. Alayyaah adalah isim dengan arti sumpah, jamaknya alaayaa, sama seperti khuthyah jamaknya khathaayaa. Sama seperti kata uluwwah, isim yang juga berate sumpah. Juga disebut ta’alaa dengan arti bersumpah, sama seperti i’talaa ya’talii, seperti firman Allah, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah” (An-Nuur:22) yang artinya, janganlah mereka bersumpah.[15]
Arti ‘ila menurut istilah syariat adalah bersumpah untuk tidak mendekati istri, baik disebut secara mutlak, misalnya dengan berkata, “aku tidak akan mencampuri istriku”, atau dibatasi dengan kata selamanya, misalnya dengan berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mendekati dia selamnya”, atau dibatasi selama empat bulan atau lebih, misalnya dengan berkata, “Demi Allah aku tidak akan mendekati istriku selam lima bulan, setahun, seumur hidup, selama langit dan bumi ada”, atau semacamnya.[16]
Menurut madzhab Hanafi ila adalah sumpah untuk tidak mendekati istri secara mutlak tanpa dibatasi dengan waktu atau dibatasi selama empat bulan lebih dengan menggunakan nama Allah atau mengaitkan hubungan suami istri dengan pekerjaan berat[17]
Suami yang meng-ila’ istri adalah perbuatan yang tidak diriohoi karena merusak hubungan cinta kasih dan berakibat buruk kepada mereka berdua dan keluarga. Disamping menghinakan wanita dan melanggar hak-haknya, seorang istri tentu akan tersiksa dan menderita karena tidak digauli dan tidak pula diceraikan (talak). Hal seperti ini merupakan perbuatan dzolim. Lalu Allah menghapuskan perbuatan yang amat merugikan perempuan ini dengan pembayaran kafarat sebagai pelanggaran sumpah suami. Setelah masa berfikir, apabila melihat maslahat bercerai lebih baik maka bercerailah agar sang istri tidak berlarut dalam keadaan terdzolimi.[18]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( آلَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ نِسَائِهِ وَحَرَّمَ, فَجَعَلَ اَلْحَرَامَ حَلَالًا , وَجَعَلَ لِلْيَمِينِ كَفَّارَةً. ) رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ .
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah bersumpah menjauhkan diri dari istri-istrinya dan mengharamkan berkumpul dengan mereka. Lalu beliau menghalalkan hal yang telah diharamkan dan membayar kafarat karena sumpahnya. (Riwayat Tirmidzi)
Rukun ila’ yaitu 1). Mahluf Bihi = sumpah atas nama Allah, 2). Mahluf ‘Alaihi = sumpah tidak akan menyetubuhi istrinya, 3). Sighot = bersumpah dengan ucapan, 4). Muddah = masa Ila’, 5). Suami, 6). Isteri.
Adapun kafarot sumpah ila’ yaitu sebagaimanan berdasar Q.S. al Maidah : 89, yang artinya “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.
Maka, kaffarahnya (denda pelanggaran sumpah) adalah memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, berpuasalah tiga hari. Itulah kafarah sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kemu bersyukur (kepada-Nya).
Sumpah yang sah hanya sumpah atas nama Allah saja, sebagaimana hadist “Barangsiapa yang bersumpah, maka hendaklah dia bersumpah dengan (nama) Allah atau hendaklah dia diam” (HR. Mutafaqqun ‘alaih).
Akibat dari hukum ila’ yaitu :
1. Jika dalam waktu tenggang suami kembali, maka Ila’ menjadi gugur dan wajib membayar kafarat sumpah, sebagaimana hadist Nabi SAW Ibnu Abbas berkata: masa ila’ orang jahiliyyah dahulu ialah setahun dan dua tahun, lalu Allah menentukan masanya empat bulan, bila kurang dari empat bulan tidak termasuk ila’. (HR. Baihaqi).
2. Jika setelah waktu tenggang, tidak kembali atau talaq (Bain Sughro): a. Imam Hanafi: Thalaq Bain, b. Imam Syafi’i dan Maliki: Thalaq Raj’I, Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Jika telah lewat masa empat bulan, berhentilah orang yang bersumpah ila’ hingga ia mentalaknya, dan talak itu tidak akan jatuh sebelum ia sendiri yang mentalaknya. (HR. Bukhori),
3. Adanya kewajiban Iddah, sesuai aturan. [19]
E. pengertian, dasar hukum, dan akibat dari Dzihar
Secara Bahasa, zhihar adalah seseorang berkata kepada istrinya, “kau bagiku laksana punggung ibuku”. Kata tersebut secara tekstual berasal dari kata zhahr (punggung), menyamakan istri dengan sesuatu yang ditunggangi punggungnya, sebab lelaki naik di atasnya saat menggaulinya, meski yang dinaiki adalah perut istri, bukan punggungya, sebab yang dimaksudkan adalah menyamakan istri dengan sesuatu yang ditunggangi secara garis besar. Jika suami mengatakan hal tersebut kepada istrinya, maka sang istri menjadi haram baginya untuk selamanya.[20]
Madzhab Hanafi berpendapat pengertian zhihar adalah seorang muslim menyamakan istrinya untuk menyamakan anggota badannya atau bagian paling umum dari diri istrinya dengan seseorang yang haram baginya untuk selamnya dengan sifat tidak mungkin hilang.[21] Sedangkan menurut madzhab maliki zhihar adalah seseorang muslim mukallaf menyerupakan wanita yang tidak halal baginya, atau salah satu baginya dengan punggung orang yang haram, atau baginya atau punggung wanita asing.[22]
Para Fuqaha sepakat bahwa seseorang yang berkata pada istrinya, “Kau bagiku laksana punggung ibu saya, “bahwa orang itu telah melakukan zhihar”. Mayoritas ulama sepakat bahwa jika dia mengatakan pada istrinya, “Kau bagiku laksana punggung anak saya, saudari saya, atau selainnya dari wanita-wanita mahram, maka dia juga telah melakukan zhihar.[23]
وَعَنْهُ رَضِيَ اَللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا; ( أَنَّ رَجُلًا ظَاهَرَ مِنِ اِمْرَأَتِهِ, ثُمَّ وَقَعَ عَلَيْهَا, فَأَتَى اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: إِنِّي وَقَعْتُ عَلَيْهَا قَبْلَ أَنْ أُكَفِّرَ, قَالَ: فَلَا تَقْرَبْهَا حَتَّى تَفْعَلَ مَا أَمَرَكَ اَللَّهُ ) رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ إِرْسَالَه ُ وَرَوَاهُ اَلْبَزَّارُ: مِنْ وَجْهٍ آخَرَ, عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ وَزَادَ فِيهِ: ( كَفِّرْ وَلَا تَعُدْ )
Dari dia Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seseorang mengucapkan dhihar kepada istrinya, kemudian ia bercampur dengan istrinya. Ia menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Sungguh aku telah bersetubuh dengannya sebelum membayar kafarat. Beliau bersabda: "Jangan mendekatinya hingga engkau melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu." Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan mursal menurut tarjih Nasa'i. Al-Bazzar juga meriwayatkannya dari jalan lain dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu dengan tambahan di dalamnya: "Bayarlah kafarat dan jangan engkau ulangi."
Islam mengaharamkan perbuatan dzihar sebagaimana surat Al-Mujadilah ayat 2 Yang artinya: orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa perbuatan Dzihar merupakan perbuatan yang tercela, mungkar, tidak patut, dan dusta. Secara syariat, menganggap istri (Dzihar) sebagai sumpah atau janji sungguh mendzolimi sang istri dan akan mengakibatkan kafaroh diantaranya:
- Memerdekakan budak
- Puasa selama dua bulan berturut-turut bila tidak didapatkan budak yang hendak dimerdekakan
- Memberi makan enampuluh orang miskin,
- blia tidak sanggup berpuasa karena usia lanjut atau penyakit.[24]
BAB III
KESIMPULAN
Ø nusyuz bermakna kedurhakaan istri dan rasa besar diri terhadap suami, Namun ada Sebagian ulama yang menjelaskan bahwa nusyuz tidak hanya sebatas perbuatan menyimpang dari istri ke suami saja, tetapi juga berlaku sebaliknya. Ketika suami berbuat menyimpang kepada istrinya, maka hal tersebut juga disebut sebagai nusyuz. akibat hukum yang diberikan nusyuz suami terhadap istri hal ini dapat dilihat dalam ayat yang mengatur tentang nusyuz suami yaitu dalam Q.S An-Nisaa’ [4]: 128. Para ulama yang menjelaskan mengenai akibat hukum nusyuz suami terhadap istrinya adalah sebagai berikut: Membatalkan sebagian hak istri, Mengakibatkan batalnya hubungan perkawinan, Istri menjadi terlantar dalam kehidupan rumah tangga, Mengembalikan mahar kepada suami
Ø Syiqaq secara terminologi menurut Irfan Sidqan ialah keadaan perselisihan yang terus menerus antara suami dan istri yang di khawatirkan akan menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan,kemudian diangkatlah hakam, hukum mengangkat hakamain “juru damai” adalah wajib, Tugas juru damai (hakamain) adalah untuk menetapkan status perkawinan suami dan istri yang syiqaq, apakah hubungan perkawinannya itu akan tetap berlangsung atau tidak
Ø li’an adalah persaksian-persaksian yang ditegaskan dengan sumpah dengan menyebut nama Allah, diiringi kalimat laknat dan kalimat kemurkaan, Pengaruh akibat li’an adalah terjadinya perceraian antara suami istri. Bagi suami, maka istrinya menjadi haram untuk selamanya. Ia tidak boleh rujuk ataupun menikahi lagi dengan akad baru. Bila istrinya melahirkan anak yang dikandung nya, maka anak itu dihukumkan tidak termasuk keturunan suaminya
Ø Suami yang meng-ila’ istri adalah perbuatan yang tidak diriohoi karena merusak hubungan cinta kasih dan berakibat buruk kepada mereka berdua dan keluarga. Disamping menghinakan wanita dan melanggar hak-haknya, seorang istri tentu akan tersiksa dan menderita karena tidak digauli dan tidak pula diceraikan (talak).
Ø Secara Bahasa, zhihar adalah seseorang berkata kepada istrinya, “kau bagiku laksana punggung ibuku”. Kata tersebut secara tekstual berasal dari kata zhahr (punggung), menyamakan istri dengan sesuatu yang ditunggangi punggungnya, sebab lelaki naik di atasnya saat menggaulinya, meski yang dinaiki adalah perut istri, bukan punggungya, sebab yang dimaksudkan adalah menyamakan istri dengan sesuatu yang ditunggangi secara garis besar. Jika suami mengatakan hal tersebut kepada istrinya, maka sang istri menjadi haram baginya untuk selamanya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Syafri M.Noor, Ketika Istri Berbuat Nusyuz, (:Lentera Islam)
Abd. Shimad, HUKUM ISLAM:Penorama Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: KENCANA, 2017).
M. Dahlan, Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: PENERBIT DEEPUBLISH, 2015)
Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Terj. Samson Rahman (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2003)
Imam Malik bin Anas, al-Muwattha’, Terj. Dwi Surya Atmaja, al- Muwattha’ Imam Malik ibn Anas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1999), cet. ke 1
Miftah faridl, 150 masalah nikah &keluarga, (Jakarta:GEMA INSANI, 1999)
M. Kamaliddin, Kesalahan Fatas Suami, (PUSTAKA ILMU SEMESTA: 2016)
Ansari, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Yogyakarta, DEEPUBLISH : 2020)
Syaikh Abdurrahman Al-Juazairi, Fikih Empat Madzhab Jilid 5, Trjm. Faisal saleh, (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2015).
JURNAL
Djuani, “KONFLIK NUSYUZ DALAM RELASI SUAMI-ISTRI DAN RESOLUSINYA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”, Jurnal Hukum Islam, Vol. 15, No. 2
Aisyah Nurlia, Nilla Nargis, Elly Nurlaili, “NUSYUZ SUAMI TERHADAP ISTRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”, Pactum Law Journal, Vol 1 No. 04, 2018
Zaisika Khairunnisak, PERCERAIAN KARENA lian DAN AKIBAT HUKUM DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.
INTERNET
http://hukumperkawinandiindonesia.blogspot.com/2012/03/syiqaq-pengertian-dan-akibat-hukumnya.html. Diunggah pada tanggal 31 oktober 2021
http://pm.unida.gontor.ac.id/hukuman-paling-menyakitkan-bagi-istri-dalam-rumah-tangga-ila-dan-dzihar/. Di akses pada tanggal 31 oktober 2021
http://pm.unida.gontor.ac.id/hukuman-paling-menyakitkan-bagi-istri-dalam-rumah-tangga-ila-dan-dzihar/. Di akses pada tanggal 31 oktober 2021.
http://dinus.or.id/illa-tafsir-qs-al-baqoroh-226/. Di akses pada tanggal 9 november 2021
[1] Syafri M.Noor, Ketika Istri Berbuat Nusyuz, (:Lentera Islam), hlm. 21
[2] Ibid., hlm 22
[3] . Djuani, “KONFLIK NUSYUZ DALAM RELASI SUAMI-ISTRI DAN RESOLUSINYA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”, Jurnal Hukum Islam, Vol. 15, No. 2, 262-263
[4] Aisyah Nurlia, Nilla Nargis, Elly Nurlaili, “NUSYUZ SUAMI TERHADAP ISTRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”, Pactum Law Journal, Vol 1 No. 04, 2018. 442-443
[5] Abd. Shimad, HUKUM ISLAM:Penorama Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: KENCANA, 2017)., Hlm. 304
[6] M. Dahlan, Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: PENERBIT DEEPUBLISH, 2015), hlm. 138
[7] Abd. Shimad, op. cit,. hlm. 305
[8] Imam Malik bin Anas, al-Muwattha’, Terj. Dwi Surya Atmaja, al- Muwattha’ Imam Malik ibn Anas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1999), cet. ke 1, hlm. 318
[9] Miftah faridl, 150 masalah nikah &keluarga, (Jakarta:GEMA INSANI, 1999), Hlm. 158-159
[10] http://hukumperkawinandiindonesia.blogspot.com/2012/03/syiqaq-pengertian-dan-akibat-hukumnya.html. Diunggah pada tanggal 31 oktober 2021
[11] M. Kamaliddin, Kesalahan Fatas Suami, (PUSTAKA ILMU SEMESTA: 2016), hlm. 34
[12] Ansari, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Yogyakarta, DEEPUBLISH : 2020), hlm. 243
[13] Zaisika Khairunnisak, PERCERAIAN KARENA lian DAN AKIBAT HUKUM DALAM
PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM.,12
[14]Syaikh Abdurrahman Al-Juazairi, Fikih Empat Madzhab Jilid 5, Trjm. Faisal saleh, (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2015).,hlm. 911
[15] ibid
[16] Ibid., hlm. 912
[17] ibid
[18] http://pm.unida.gontor.ac.id/hukuman-paling-menyakitkan-bagi-istri-dalam-rumah-tangga-ila-dan-dzihar/. Di akses pada tanggal 31 oktober 2021
[19] http://dinus.or.id/illa-tafsir-qs-al-baqoroh-226/. Di akses pada tanggal 9 november2021
[20] Syaikh Abdurrahman Al-Juazairi,. Op. cit, hlm. 959
[21] Syaikh Abdurrahman Al-Juazairi ., op. cit hlm. 960
[22] Syaikh Abdurrahman Al-Juazairi, op. cit, hlm. 964
[23] Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Terj. Samson Rahman (Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar, 2003), hlm. 506
[24] http://pm.unida.gontor.ac.id/hukuman-paling-menyakitkan-bagi-istri-dalam-rumah-tangga-ila-dan-dzihar/. Di akses pada tanggal 31 oktober 2021
0 comments:
Posting Komentar