MATA KULIAH Studi Alquran Hukum Keluarga |
DOSEN PENGAMPU 1. Prof. Dr. H. Fauzi Aseri, MA 2. Dr. H. Hanafiah, M.Hum |
KAFAAH
OLEH
Resi Lianti
NIM : 210211050118
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunianya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Studi Alquran Hukum Keluarga dalam program Pascasajrana Perodi Hukum Keluarga tahun 2021 di UIN Antasari Banjarmasin, dengan tema Kafaah.
Penulis sadari didalam tulisan ini tentunya belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat untuk membangun dan memperbaiki sangatlah diharapkan demi kesempurnaan makalah yang disajikan penulis ini, dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis terlebih lagi para pembaca pada umumnya.
Penyaji/Penulis
(Resi Lianti)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ---------------------------------------------------- 2
DAFTAR ISI--------------------------------------------------------------- 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang -------------------------------------------------------- 4
B. Rumusan Masalah ----------------------------------------------------- 5
C. Tujuan ------------------------------------------------------------------ 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Kafaah dalam Islam................................................................. 6
B. Dasar Hukum Kafaah dalam Islam......................................... 7
C. Macam-Macam Kafaah dalam Islam......................................
D. Hukum Kafaah Menurut Para Fuqaha...................................
E. Hikmah dan Tujuan dari Kafaah............................................
BAB III PENUTUP
SIMPULAN --------------------------------------------------------------- 14
DAFTAR PUSTAKA ----------------------------------------------------- 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara masalah keserasian (kafa’ah) dalam pernikahan memang kadang di kebelakangkan oleh sebagian masyarakat, namun sebagian masyarakat juga masih memandang perlunya kafa’ah walaupun keberadaannya tidak berpengaruh atas keabsahan pernikahan. Kufu atau kafa’ah yang bermakna keserasian, kesetaraan atau keselarasan dalam menentukan calon pendamping adalah hak yang boleh dijadikan tolok ukur keluarga pengantin perempuan dalam menentukan calonnya. Sementara bagi laki-laki kafa’ah tidak diperlukan sehingga dalam literatur fikih dinyatakan bahwa yang dapat menggugurkan keharusan adanya kafa’ah ini adalah keluarga dan calon pengantin perempuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan makalah ini, maka dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Kafaah dalam Islam?
2. Bagaimana Dasar Hukum Kafaah dalam Islam?
3. Bagaimana Macam-Macam Kafaah dalam Islam?
4. Bagaimana Hukum Kafaah Menurut Para Fuqaha?
5. Bgaimana Hikmah dan Tujuan dari Kafaah ?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini tentunya mempunyai tujuan sebagaimana dimaksud :
1. Mengetahui bagaimana kafaah dalam Islam.
2. Mengetahui bagaimana ukuran kafaah dalam Islam.
3. Mengetahui bagaimana Macam-Macam Kafaah dalam Islam.
4. Mengetahui bagaimana Hukum Kafaah Menurut Para Fuqaha.
5. Mengetahui bagaimana Hikmah dan Tujuan dari Kafaah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kafaah Dalam Islam
Dalam kamus bahasa Arab, kafaah berasal dari kata كفأ-يكافئ-مكافأة yang berarti kesamaan, sepadan dan sejodoh, sedangkan dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, kafaah berarti seimbang, yaitu keseimbangan dalam memilih pasangan hidup. Firman Allah swt dalam Alquran disebutkan juga kata-kata yang berakar kafaah yaitu وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ (“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan dia”).
Maksud dari ayat di atas adalah, sifat ketauhidan Allah swt terhadap mahluknya, Allah swt adalah satu dan tidak ada yang menyamainya. Namun ketika dikaitkan dengan kafaah maka mempunyai arti sebaliknya yaitu ciptaan Allah swt mempunyai kesamaan dan mempunyai keserasian.[1]
Kafaah atau kufu menurut bahasa artinya setara, seimbang atau keserasian, kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding. Kafaah atau kufu dalam perkawinan menurut hukum Islam yaitu keseimbangan atau keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dengan kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta dalam kekayaan. Jadi yang ditekankan dalam hal kafaah adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah.
Kafaah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafaah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami ataupun istri tetapi bukan penentu sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Kafaah adalah hak bagi perempuan dan walinya, karena suatu perkawinan yang tidak seimbang atau serasi maka akan menimbulkan problematika berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karna itu boleh dibatalkan.
Prinsip memilih jodoh yang baik dikehendaki Islam adalah ketekunan beragama dan akhlak yang mulia. Kemegahan harta, nasab dan lain-lain semua itu tetap diakui Islam, karena Islam memandang semua manusia adalah sama, tidak ada perbedaan di antara kaya dan miskin, putih dan hitam, maupun kuat dan lemah. Kelebihan antara seorang dengan yang lain hanya didasarkan pada taqwa masing-masing kepada Allah swt.[2]
B. Dasar Hukum Kafaah Dalam Islam
Menurut Ibnu Hazm, tidak ada ukuran-ukuran kafaah atau kufu. Ia berpendapat bahwa semua orang Islam selama ia tidak berzina, berhak kawin dengan perempuan muslimah asal tidak tergolong perempuan pelacur, dan semua orang Islam adalah bersaudara. Walau seorang Muslim yang sangat fasik, asalkan tidak berzina dia adalah kufu` untuk wanita Islam yang fasik, asal bukan perempuan zina. Alasannya adalah sebagai berikut:
QS. Al-Hujurat ayat 10
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.
QS. An-Nisa ayat 3
فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ....
“Maka nikahilah perempuan (lain) yang kau senangi”.
Allah swt telah menyebutkan perempuan-perempuan yang dilarang utuk dinikahi yaitu pada QS. An-Nisa ayat 24:
وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَاُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاۤءَ ذٰلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ ۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”.
Maksud dari ayat-ayat di atas adalah orang mukmin satu dengan orang mukmin lainnya adalah saudara, tidak boleh ada permusuhan dan perpecahan. Ketika ingin menikah maka ia diharapkan menikahi wanita yang disenanginya dengan cara yang baik sesuai syariat agama Islam. Allah Swt telah menyebutkan beberapa wanita yang boleh dinikahi, dan wanita yang tidak boleh dinikahi. Jika seseorang seorang perempuantelah dinikahi maka ia harus memberikan hak dan kewajibannya.
C. Macam-Macam Kafaah[3]
Menurut mazhab Maliki, kafaah ada dua macam: yaitu agama dan kondisi, maksudnya adalah kondisi selamat dari aib yang dapat menyebabkan timbulnya pilihan, bukan kondisi dalam arti kehormatan dan nasab, yang dimaksud kesamaan disini hendaknya suami sama dengan istrinya.
Menurut mazhab Hanafi ada enam macam kafâ`ah: yaitu agama, Islam, kemerdekaan, nasab, harta, dan profesi. Menurut mereka kafâ`ah tidak terletak pada keselamatan dari aib yang dapat membatalkan pernikahan, seperti gila, kusta, dan mulut yang berbau.
Menurut mazhab Syafi’i ada enam macam kafaah yaitu: agama, kesucian, kemerdekaan, nasab, terbebas dari aib yang dapat menimbulkan pilihan, dan profesi.
Menurut mazhab Hambali macam-macam kafâ`ah juga ada empat yaitu: agama, profesi, nasab, dan kemakmuran.
Sebagaimana pendapat masing diatas, mereka sepakat atas kafâ`ah dalam agama. Selain Maliki sepakat atas kafâ`ah dalam kemerdekaan, nasab, dan profesi. Mazhab Maliki dan Syafi’i sepakat mengenai sifat bebas dari aib yang dapat menyebabkan timbulnya hak untuk memilih.
Adapun macam-macam kafâ`ah menurut para ulama dapat digolongkan menjadi beberapa macam:
1. Kafa’ah dalam agama
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَهْلٍ قَالَ مَرَّ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا قَالُوا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ يُسْتَمَعَ قَالَ ثُمَّ سَكَتَ فَمَرَّ رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا قَالُوا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ لَا يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ لَا يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ لَا يُسْتَمَعَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الْأَرْضِ مِثْلَ هَذَا
“Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Hamzah Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hazim dari bapaknya dari Sahl ia berkata; Seorang laki-laki lewat di hadapan Rasulullah ﷺ, maka beliau pun bertanya kepada sahabatnya, "Bagaimana pendapat kalian mengenai orang ini?" mereka menjawab, "Ia begitu berwibawa. Bila ia meminang pasti diterima, dan bila memberi perlindungan pasti akan dipenuhi, dan bila ia berbicara, niscaya akan didengarkan." Beliau kemudian terdiam, lalu lewatlah seorang laki-laki dari fuqara` kaum muslimin, dan beliau pun bertanya lagi, "Lalu bagaimanakah pendapat kalian terhadap orang ini?" mereka menjawab, "Ia pantas bila meminang untuk ditolak, jika memberi perlindungan tak akan digubris, dan bila berbicara niscaya ia tidak didengarkan." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya orang ini lebih baik daripada seluruh kekayaan dunia yang seperti ini." (HR. Bukhori)[4]
Dari hadist diatas mengungkapkan kemuliaan dalam pandangan manusia adalah seseorang yang terlihat sangat terhormat dan disegani di kalangan masyarakatnya. Apakah kemuliaan dan kehormatan orang itu disepakati oleh masyarakat seluruhnya ?, mustahil itu terjadi, karena pasti ada juga orang yang tidak suka kepadanya, bukan karena orang itu tidak patut dihormati, tetapi lebih karena iri terhadap kehormatan yang dimiliki. Berbeda dengan kemuliaan disisi Allah. Kemuliaan itu jauh lebih baik di dunia dan di akhirat kelak. Poin penting dalam hadist ini adalah sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya orang ini lebih baik dari pada kekayaan seluruh dunia yang seperti orang pertama tadi”. Karena orang ini taat beragama sedangkan yang pertama tadi tidak begitu.
Menurut Nawawiyy dalam al-Ikhtiyar, kafa‘ah yang perlu dipertimbangkan dalam pernikahan adalah nasab, agama, ketaqwaan atau religiusitas, profesi, kemerdekaan dan harta. Yang dimaksud dengan kafa‘ah dalam agama dan taqwa adalah bahwa puteri laki-laki yang shalih tidak sekufu dengan laki-laki fasiq dan wali berhak menolak dan menceraikan mereka karena hanya akan mendatangkan aib. Sabda Rasul “pilihlah yang beragama karena dia akan membelenggu tanganmu (dari berbuat munkar), sudah cukup mengisyaratkan hal itu.
2. Kafa’ah dalam harta dan kecantikan
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا { وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى } قَالَتْ يَا ابْنَ أُخْتِي هَذِهِ الْيَتِيمَةُ تَكُونُ فِي حَجْرِ وَلِيِّهَا فَيَرْغَبُ فِي جَمَالِهَا وَمَالِهَا وَيُرِيدُ أَنْ يَنْتَقِصَ صَدَاقَهَا فَنُهُوا عَنْ نِكَاحِهِنَّ إِلَّا أَنْ يُقْسِطُوا فِي إِكْمَالِ الصَّدَاقِ وَأُمِرُوا بِنِكَاحِ مَنْ سِوَاهُنَّ قَالَتْ وَاسْتَفْتَى النَّاسُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ إِلَى وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ } فَأَنْزَلَ اللَّهُ لَهُمْ أَنَّ الْيَتِيمَةَ إِذَا كَانَتْ ذَاتَ جَمَالٍ وَمَالٍ رَغِبُوا فِي نِكَاحِهَا وَنَسَبِهَا وَسُنَّتِهَا فِي إِكْمَالِ الصَّدَاقِ وَإِذَا كَانَتْ مَرْغُوبَةً عَنْهَا فِي قِلَّةِ الْمَالِ وَالْجَمَالِ تَرَكُوهَا وَأَخَذُوا غَيْرَهَا مِنْ النِّسَاءِ قَالَتْ فَكَمَا يَتْرُكُونَهَا حِينَ يَرْغَبُونَ عَنْهَا فَلَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَنْكِحُوهَا إِذَا رَغِبُوا فِيهَا إِلَّا أَنْ يُقْسِطُوا لَهَا وَيُعْطُوهَا حَقَّهَا الْأَوْفَى فِي الصَّدَاقِ
“Telah menceritakan kepadaku yahya bin bukair telah menceritakan kepada kami al laits dari uqail dari ibnu syihab ia berkata; telah mengabarkan kepadaku urwah bahwa ia pernah bertanya kepada aisyah radhiallahu'anha mengenai firman-nya, "wa in khiftum anlaa tuqsithuu fil yataamaa.." aisyah menjelaskan, "wahai anak saudaraku, maksudnya adalah anak perempuan yatim yang tinggal di rumah walinya, lalu sang wali pun berhasrat pada kecantikan dan juga hartanya. namun sang wali itu hendak mengurangi maharnya. karena itu, mereka pun dilarang untuk menikahi anak-anak perempuan yatim itu kecuali dengan menyempurnakan maharnya. akhirnya mereka pun diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita selain mereka." aisyah juga menjelaskan, "setelah itu, orang-orang pun pada meminta fatwa kepada rasulullah ﷺ. maka allah menurunkan ayat, 'wa yastaftuunaka fin nisaa`..' hingga firman-nya, 'wa targhabuuna an tankihuuhunna.' maka allah pun menurunkan ayat kepada mereka, bahwa jika ada anak perempuan yatim yang memiliki kecantikan wajah dan harta, apabila mereka ingin menikahinya, mereka diminta untuk menyempurnakan mahar. apabila anak putri yatim itu tidak mereka senangi lantaran tak memiliki harta dan kecantikan maka mereka pun meninggalkannya dan mencari wanita lain. karena itu, sebagaimana mereka meninggalkannya ketika mereka tak menyukainya, maka mereka pun tidak diizinkan untuk menikahinya saat mereka berkeinginan kecuali dengan berbuat adil pada mereka dan memberikan haknya yang harus dipenuhi yakni mahar." (HR. Bukhori)[5]
Dari Hadis di atas jelas bahwa boleh menikahi perempuan karena hartanya maupun kecantikannya selama mampu bersikap baik dan tidak mengambil keuntungan dari harta si perempuan apalagi bersikap dan bermaksud tidak baik kepadanya, terutama bila dia anak yatim. Jangan karena dia anak yatim yang cantik dan berharta maka kamu ingin menikahinya dan berlaku baik. Sebaliknya bila si yatim kurang cantik dan tidak berharta, kamu berpaling kepada perempuan lain dan memberikannya nafkah yang kurang. Karena itu, selama dia perempuan yatim cantik dan berharta ataupun tidak cantik dan papa, tidak boleh menikahi mereka selama tidak mampu berlaku pantas dan semena-mena.
3. Kafa’ah dalam nasab
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبَنَّى سَالِمًا وَأَنْكَحَهُ بِنْتَ أَخِيهِ هِنْدَ بِنْتَ الْوَلِيدِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ وَهُوَ مَوْلًى لِامْرَأَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ كَمَا تَبَنَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدًا وَكَانَ مَنْ تَبَنَّى رَجُلًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ دَعَاهُ النَّاسُ إِلَيْهِ وَوَرِثَ مِنْ مِيرَاثِهِ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ { ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ إِلَى قَوْلِهِ وَمَوَالِيكُمْ } فَرُدُّوا إِلَى آبَائِهِمْ فَمَنْ لَمْ يُعْلَمْ لَهُ أَبٌ كَانَ مَوْلًى وَأَخًا فِي الدِّينِ فَجَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو الْقُرَشِيِّ ثُمَّ العَامِرِيِّ وَهِيَ امْرَأَةُ أَبِي حُذَيْفَةَ بْنِ عُتْبَةَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا نَرَى سَالِمًا وَلَدًا وَقَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ مَا قَدْ عَلِمْتَ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ
“Telah menceritakan kepada kami abul yaman telah mengabarkan kepada kami syu'aib dari az zuhri ia berkata; telah mengabarkan kepadaku urwah bin zubair dari aisyah radhiallahu'anha, bahwasanya; abu hudzaifah bin utbah bin abdu syamsy -ia adalah seorang ahli badar bersama nabi ﷺ- menjadikan salim sebagai anak angkat dan menikahkannya dengan anak perempuan saudarinya hindu binti al walid bin utbah bin rabi'ah. dan ia adalah bekas budak dari seorang wanita anshar. yakni, sebagaimana nabi ﷺ pernah menjadikan zaid sebagai anak angkat. beliau termasuk orang yang mengambil anak angkat pada masa jahiliyyah hingga orang-orang pun menduga bahwa zaid nantinya akan mewarisi hartanya, hingga pada akhirnya allah menurunkan ayat, "ud'uuhum ilaa `aabaa`ihim.." hingga firman-nya, "wa mawaaliikum." akhirnya mereka pun mengembalikan (nasabnya) kepada bapak-bapak mereka. dan siapa yang tidak diketahui bapaknya, maka ia adalah maula (budak yang dimerdekakan) dan saudara seagama. kemudian datanglah sahlah binti suhail bin amru al qurasyii lalu al 'amiri -ia adalah istri abu hudzaifah bin utbah- kepada nabi ﷺ dan berkata, "wahai rasulullah, sesungguhnya kami menganggap salim sebagai anak, sementara allah telah menurunkan sebagaimana apa yang telah anda kethaui." kemudian ia pun menyebutkan hadits”. (HR. Bukhori)[6]
Hadis ini jelas mengisyaratkan bahwa mawla tetaplah mawla meskipun dia sudah diangkat ataupun dianggap anak karena Islam tidak mengenal istilah anak angkat. Alih-alih jadi anak angkat maka lebih baik menjadikannya saudara seiman.
4. Kafa’ah dalam kemerdekaan
Al-Nawawiy menjelaskan dalam al-Ikhtiyar, apabila merdeka seorang hamba perempuan dan dia memiliki suami baik budak ataupun merdeka, maka dia memiliki hak untuk memilih sesuai dengan sabda Rasul s.a.w kepada Barirah ketika dia merdeka: ―Kemaluanmu (kehormatanmu) adalah milikmu, maka pilihlah!‖ Hadis ini dijadikan alasan yang menguatkan hak memilih bagi perempuan sesuai dengan makna ‗memiliki kemaluan dan mengatur atau mengontrolnya‘ baik suaminya merdeka ataupun budak karena keumuman sifat ‘illah. Hal ini disebabkan ada riwayat yang mengatakan bahwa suaminya seorang yang merdeka dan ada juga riwayat yang menunjukkan kemungkinan suaminya tersebut adalah budak yang dulunya merdeka. Karena itu bertambah kuat hak kepemilikannya terhadap dirinya dalam dua alasan tersebut, dan semakin kuat pula haknya untuk memilih (bercerai atau tidak) untuk menghindari kemudharatan.
5. Memilih karena aib
Hak untuk memilih baik bagi suami atau isteri sekiranya isteri atau suami mereka ternyata memiliki aib atau penyakit. Bila mereka rela, mereka boleh meneruskan pernikahan. Jika tidak mereka boleh bercerai. Dan bagi suami yang telah menggauli isterinya, maka dia berkewajiban membayarkan maharnya secara penuh.
D. Pendapat Ulama Tentang Hukum Kafâ`ah
Pendapat Hambali dan menurut pendapat yang dijadikan pegangan dalam mazhab Maliki serta menurut pendapat yang paling zhahir dalam mazhab Syafi’i, bahwa kafâ`ah adalah syarat lazim dalam perkawinan bukan syarat sahnya dalam perkawinan.
Kafâ`ah secara general adalah termasuk syarat kelaziman dalam perkawinan bukan syarat sah perkawinan. Artinya adalah jika seorang melakukan pernikahan tanpa melakukan pertimbangan kafaah maka tetap sah perkawinannya, apabila menjalankan hubungan rumah tangga jika mempunyai dasar dan pemahaman yang sama di antara keduanya maka perkawinan tersebut akan terasa harmonis dan bahagia. Di sini lah pentingnya mencari pasangan yang sekufu`, untuk mewujudkan keluarga yang harmonis dan bahagia.
E. Hikmah dan Tujuan Kafaah
Hikmah kafâ`ah dalam pernikahan di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Kafâ`ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan.
2. Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan perempuan sebagai makmumnya.
3. Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya.
Tujuan utama kafâ`ah adalah ketenteraman dan kelanggengan sebuah rumah tangga. Karena jika rumah tangga didasari dengan kesamaan persepsi, kekesuaian pandangan, dan saling pengertian, maka niscaya rumah tangga itu akan tentram, bahagia dan selalu dinaungi rahmat Allah Swt. Pernikahan juga merupakan ibadah, jika partner dalam melakukan ibadah itu adalah orang yang sekufu`, maka insya allah ibadah yang dijalankan akan senantiasa mendapatkan curahan pahala dari Allah Swt. Adanya kafâ`ah dalam perkawinan dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya krisis rumah tangga. Keberadaannya dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai dan tujuan perkawinan. Dengan adanya kafâ`ah dalam perkawinan diharapkan masing-masing calon mampu mendapatkan keserasian dan keharmonisan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kafâ’ah merupakan keseimbangan antara calon suami dan calon istri dalam kehidupan berumah tangga, dan merupakan hak bagi wanita yakni jika seseorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu, maka wali berhak membatalkan pernikahan tersebut. Pernikahan itu bukanlah suatu peristiwa yang sifatnya dibatasi oleh jangka waktu tertentu, dan diharapkan bahwa pernikahan itu membawa ke arah yang harmonis antara pasangan suami maupun istri tanpa harus adanya pergeseran kepada perceraian di tengah jalannya, disebabkan karena tidak mendapatkan kebahagian atau keharmonisan dalam rumah tangga.
B. Saran
Melihat pentingnya kesetaran dalam berlangsungnya perkawinan, alangkah baiknya jika praktek kafâah ini diterapkan oleh setiap orang Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Taufik.Husni Otong, 2017, Kafaah Dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam, E-Journal, Vol.5 No.2.
Khuluqiyah Madiihatul Euis,2020, Kandungan Hadis Izin Perempuan Dalam Pernikahan, makalah.
Prof.Dr. H.M.A. Tihami, M.A, 2009, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), Depok: PT. RajaGrafindo Persada.
https://carihadis.com/Shahih_Bukhori/4701.
[1] Taufik. Otong Husni, Kafaah Dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam, E-Journal, Vol.5 No.2, 2017 hal. 171.
[2] Euis Madiihatul Khuluqiyah, Kandungan Hadis Izin Perempuan Dalam Pernikahan, makalah, 2020, hal. 5.
[3] Prof.Dr. H.M.A. Tihami, M.A, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), hlm.57.
[4] https://carihadis.com/Shahih_Bukhori/4701.
[5] Ibid., no. 4702
[6]Ibid., no. 4698.
0 comments:
Posting Komentar