Senin, 25 Oktober 2021

KELUARGA BAHAGIA

 

MAKALAH  STUDI AL-QUR’AN

KELUARGA BAHAGIA

(Q.S AR-RUM:21 dan Q.S AN-NISA: 19)

 

 

DOSEN PENGAMPU

1. Prof Dr. H. Fauzi Aseri, MA

2. Dr. H.M. Hanafiah, M.Hum

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

OLEH

MAHMUDAH  (210211050119)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

BANJARMASIN

2021/2022


 

KATA PENGANTAR

 

Alhamdulillahirobbil aalamiin, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan  rahmat serta karunianya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah  mata kuliah Studi Al-Qur’an dalam program Pascasajrana Prodi Hukum Keluarga  tahun 2021/2022 di UIN Antasari Banjarmasin, dengan topic Keluarga Bahagia (Q.S Ar-Rum:21 dan Q.S An-Nisa:19,34 dll).

Bahwa penulis sadari didalam tulisan ini tentunya banyak kekurangan, oleh  karena itu kritik dan saran yang bersifat untuk membangun dan memperbaiki  sangatlah diharapkan demi kesempurnaan makalah yang disajikan oleh penulis,  dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat  baik bagi penulis maupun para pembaca pada umumnya.

 

Penyaji/Penulis,

 

Mahmudah

 

 

 

 

DAFTAR ISI  

KATA PENGANTAR. i

DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN.. 1

A.     Latar Belakang. 1

B.     Rumusan Masalah. 2

C.     Tujuan. 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A.      Definisi Keluarga Bahagia. 3

B.     Menuju Rumah Tangga Bahagia. 4

C.     Membina Rumah Tangga. 4

D.     Interpretasi Ayat-Ayat Keluarga Bahagia perspektif Mufassir 5

BAB III PENUTUP. 10

KESIMPULAN.. 10

DAFTAR PUSTAKA.. 11

 


BAB 1

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

 

Al Qur’an menurut pengertian secara harfiahnya berarti “bacaan yang sempurna” tidak ada yang menandingi Al Qur’an karena didalamnya tidak hanya mempelajari tentang susunan redaksi dan pemilihan kosa  katanya, namun juga ia memiliki kandungan yang tersurat, tersirat bahkan juga sampai kepada kesan-kesan yang ditimbulkannya.

 

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan sebagai pegangan/pedoman hidup bagi manusia muslim hingga akhir zaman. Al Qur’an sendiri bukan semata berbentuk teks yang hanya dipahami dan dibaca namun bagi umat muslim Al Qur’an juga dijadikan sebagai rujukan dalam setiap laku kehidupan bahkan semuanya terpusatkan kepada Al Qur’an dalam membentuk ajaran, pemikiran dan peradaban. Oleh karena itu, Al Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam yang tidak hanya memuat petunjuk tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min Allah wa hablum min an-naas) serta manusia dengan alam sekitarnya.

Di antara persoalan yang terkait dengan (hablum min Allah wa hablum min an-naas)  yang dibahas dalam Al Qur’an  salah satunya adalah mengenai pernikahan dan keluarga. Bagi umat manusia pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, memiliki tujuan yang sakral pula dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at agama.

Dari sebuah pernikahan akhirnya terbentuklah sebuah keluarga yang terdiri dari suami dan isteri yang akan melahirkan anak-anak mereka. Dan tujuan hidup seorang laki-laki dan perempuan yang telah melaksanakan pernikahan tadi adalah untuk membentuk keluarga bahagia yang sejahtera, penuh ketenangan dan rasa kasih sayang.    

Keluarga bahagia sudah dipastikan menjadi idaman bagi tiap-tiap orang yang membina rumah tangga namun dalam membangun atau mewujudkan keluarga bahagia bukanlah perkara yang mudah dan tidak semulus apa yang kita bayangkan. Nah dalam makalah ini penulis akan menguraikan bagaimana Al Qur’an berbicara tentang membangun keluarga bahagia dan kontekstualisasinya dalam kehidupan saat ini yang terkandung dalam Q.S Ar-Rum: 21 dan Q. S An-Nisaa:19.

  

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut maka muncullah rumusan masalah sebagai berikut:

1.       Bagaimana Alquran berbicara mengenai konsep keluarga bahagia menurut Misbah Musthafa dan Quraish Shihab?

2.       Bagaimana kontekstualisasi ayat Alquran tentang konsep keluarga bahagia?

 

C. Tujuan

1.   Menganalisa  bagaimana  Misbah  Musthafa  dan  Quraish  Shihab  menafsirkan ayat-ayat tentang keluarga.

2.   Memaparkan  kontekstualisasi  penafsiran  ayat-ayat  tentang  keluarga  dalam problematika masyarakat.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Definisi Keluarga Bahagia

Keluarga adalah suatu pranata sosial yang penting fungsinya dalam
masyaakat. Keluarga berasal dari bahasa sansekerta yaitu kula dan warga.
kula warga yang berarti anggota kelompok kerabat. Keluarga adalah satu
kelompok atau kumpulan mnusia yang hidup bersama, sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan
perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama di suatu rumah dan biasanya
dipimpin oleh suatu kepala keluarga.[1]
Menurut Mubarak dkk, keluarga merupakan dua atau lebih individu yang diikat dengan hubungan
darah, perkawinan atau adopsi dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu dengan yang lain.[2]

Berdasakan undang-undang nomor 10 tahun 1992 keluarga merupakan
kelompok yang terdiri dari orang-orang yang telah diatukan dengan ikatan
perkawinan, darah atau adobpsi serta berkomunikasi satu dengan yang lain yang menimbulkan peranan soaial bagi suami-isteri, ayah-ibu, anak laki-laki dan perempan, saudara laki-laki dan perempuan, serta merupakan pemelihara
kebudayaan bersama.[3] Keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan.[4]

Dari definisi tersebut dapat disimpukan bahwa keluarga adalah: satu
kelompok atau kumpulan mnusia yang hidup bersama, sebagai satu kesatuan
atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau adobsi dan saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain.


[1] Nur Mazidah dan Siti Azizah, Sosiologi Keluarga (Surabaya: UINSA Press, 2014), hlm. 4.

 

[2] Tatik Mukhoyyaroh, Psikologi Keluarga (Surabaya: UINSA Press, 2014),hlm 5.

[3] Ibid., hlm 6.

[4] Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai An Penanganan Konflik Dalam
Keluarga
(Jakarta: Kencana, 2012), hlm 6.


B.     Menuju Rumah Tangga Bahagia

Untuk sampai kepada rumah tangga yang bahagia maka tentulah kita harus bisa membina pernikahan. Pernikahan tidak terjadi begitu saja, pernikahan terjadi karena dilatar belakangi sebuah alasan. Alasan yang menjadi latar belakang sebuah pernikahan sangat menetukan bagaimana proses kehidupan yang akan dijalani pasca pernikahan. Alasan itu pula yang bisa menjadi tolak ukur seberapa lama ikatan pernikahan itu akan bertahan. Selain itu alasan-alasan yag menjadi sebab pernikahan itu terwujud sangat mempengaruhi sejauh mana kebahagiaan dalam keluarga setelah pernikahan.

C.     Membina Rumah Tangga

Tatik  Mukhoyyaroh  menyebutkan  dalam  bukunya  Dadang  Hawari

disebutkan ada dua orang profesor dari universitas Nebraska (AS) yaitu Nick

Stinnet dan Jhon Defrain (1987) dalam studinya yang berjudu ‚the national

study on family strengh‛ mengemukakan ada enam hal sebagai suatu pegangan

atau kriteria menuju hubungan perkawinan atau keluarga yang sehat dan
bahagia sebagai berikut:

1.   Kehidupan beragama dalam keluarga.

2.   Mempunyai waktu bersama anggota keluarga.

3.   Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga

4.   Saling harga-menghargai sesama anggota keluarga.

5.   Keluarga sebagai ikatan kelompok. Masing-masing naggota keluarga

merasa terikat dalam keluarga

6.   Kemampuan menyelesaikan masalah.

 

A.     Interpretasi Ayat-Ayat Keluarga Bahagia perspektif Mufassir

A.  Ar-Rum ayat 21

Ayat  ini  menunjukkan  tujuan  dari  sebuah  pernikahan,  yaitu  untuk membangun  sebuah  keluarga  yang  bahagia.  Secara  redaksi  dalam  ayat  ini tidak ada yang bermakna kebahagiaan, namun substansi kebahagiian terdapat dalam  ayat  ini,  yaitu  ketenangan  daan  ketentraman  yang  terkandung  salam sakana,  cinta  kasih  dengan  pengorbanan  yang  terkandung  dalam  mawaddah, dan kasih sayang atau simpati yang terkandung dalam rahmat.

 

 ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  

 

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram  kepadanya,  dan  dijadikan-Nya  diantaramu  rasa  kasih  dan  sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

 

Misbah Musthofa menjelaskan dengan cukup panjang lebar mengenai ayat  ini,  menurutnya  Difirmankan  dengan  redaksi  anfusikum  karena  Hawa diciptakan dari tuang rusuk milik Adam. Dan semua perempuan tercipta dari air mani laki-laki dan perempuan. Jika seseorang mau berangan-angan proses kejadian  dirinya,  bahwa  manusia  terbuat  dari  sari  pati  tanah  yang  mungkin dengan  istilah  sekarang  (ketika  ditulisnya  tafsir  ini)  disebut  dengan  bibit manusia. Jika kita menempelkan ujung jari telunjuk ke tanah, tentu akan ada tanah  yang  menempek  di  jari  kita,  seandainya  coba  kita  hitung  ada  berapa jumlah  butiran  tanah  yang  menempel  di  ujung  jari  kita?  Itulah  bahan-bahan manusia.  Tetapi  tidak  setiap  tanah  yang  menjadi  bibit  manusia,  melainkan tanah yang digunakan untuk menciptakan jasadnya Nabi Adam. Bibit manusia  ini  terbuat  dari  setetes air  mani.  Manusia  pada  zaman  sekarang  sudah mengetahui bahwa dalam setetes air mani megandung beribu-ribu bibit manusia.  Kemudian  bibit  manusia  ini  masuk  ke  dalam  kandungan  (rahim) seorang  ibu,  dan  bagi  yang  tidak  dizinkan  oleh  Allah  maka  bibit  tersebut tidak  menjadi  manusia  hingga  waktu  yang  telah  ditentukan. 

Sedang  Quraish  menjelaskan  ayat  ini  dengan  gayanya  yang  terlebih dahulu mengupas dari sisi bahasa. Menurutnya, kata anfusakum adalah bentuk  jamak  dari  kata  nafs  dan  antara  lain  berarti  jenis,  diri,  totalitas sesuatu. Pernyataan bahwa pasangan manusia diciptakan dari jenisnya membuat  sementara  ulama  menyatakan  bahwa  Allah  tidak  membolehkan manusia  mengawini  selain  jenisnya,  dan  bahwa  jenisnya  itu  adalah  yang merupakan pasangannya.  [1] 

Kata  taskunu”  terambil  dari  kata  sakana  yaitu  diam,  tenang  setelah sebelumnya  sibuk  dan goncang.  Dari  sini,  rumah  dinamai  sakana karena dia tempat memperoleh ketenangan setelah sebelumnya si penghuni sibuk diluar rumah. Perkawinan melahirkan ketenangan batin. Kesempurnaan eksistensi makhluk hanya tercapai dengan bergabungnya masing-masing pasangan dengan pasangannya. Karena itu, setiap jenis merasa perlu menemukan lawan jenisnya. Dia  akan  merasa gelisah dan jiwanya akan terus bergejolak jika penggabungan dan  keberpasangan  itu tidak terpenuhi.  Karena  itu,  Allah mensyariatkan kepada manusia perkawinan, gejolak  jiwa  itu  mereda  dan  masing-masing  memperoleh ketenangan. Itulah antara lain maksud kata litaskunu> ilayha>. Kata ilayha> yang merangkai kata litaskunu> mengandung makna cenderung/menuju kepadanya, sehingga penggalan  ayat  di  atas bermakna

Allah menjadikan  pasangan  suami  istri masing-masing merasakan ketenangan disamping pasangannya serta cenderung kepadanya.[2] Ketika    menafsirkan kata  mawaddah    dan  rahmat  dalam  ayat  ini Quraish Shihab  menjelaskan  bahwa mawaddah  bukanlah sekedar  cinta, tetapi cinta  plus,  yaitu  cinta  yang  tampak  buahnya  dari  sikap dan perlakuan. Hampir  mirip  dengan  kata  rahmat,  tetapi  rahmat  adalah jika yang  dirahmati  dalam  keadaan  butuh,  rahmat  tertuju  kepada yang  lemah, sedangkan  mawaddah  tidak  demikian. Cinta  yang  dilukiskan  dengan  kata mawaddah  harus  terbukti  dalam sikap  dan  tingkah  laku,  sedangkan  rahmat tidak.  Selama  rasa  perih ada  dalam  hati  terhadap  objek,  akibat  penderitaan yang dialaminya-walau tidak berhasil menanggulangi atau mengurangi  penderitaan  yang dialami  objek,  maka rasa perih-itu saja-sudah cukup  untuk  membuat  pelakunya ,menyandang  sifat  pengasih,  walau tentunya dalam yang demikian itu adalah dalam batas minimum.[3]

Quraish menemukan kesulitan ketika mencari padanan kata
mawaddah dalam bahasa Indonesia. Ia hanya dapat melukiskan dampaknya. Menurutnya pemilik sifat ini tidak rela pasangannya disentuh oleh sesuatu yang mengeruhkannya, kendati boleh jadi ia memiliki sifat kecenderungan bersifat kejam. Menurutnya, siapapun yang memiliki mawaddah, tidak aka
n pernah memutuskan hubungan apapun yang terjadi. Sementara ulama menjadikan tahap rahhmat pada suami istri lahir bersama dengan lahirnya anak, atau ketika suami istri itu telah mencapai usia lanjut, Dan demikian rahmat tertuju pada yang lemah dan kelemahan dan kebutuhan itu dirasakan pada masa tua. betapapun baik rahhmat maupun mawaddah adalah anugerah dari Allah yang sangat nyata.





[1]  Misbah bin Musthofa, Tafsir Al-Iklil. Juz 21, 3517-3522.       


[2]  M. Quraish, Tafsir Al-Misbah vol. 11, 35.

[3] Ibid., hlm.36.

                            

 

 

 

0 comments:

Posting Komentar

 

Wikipedia

Hasil penelusuran

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.