MAKALAH STUDI AL-QUR’AN
(Q.S AR-RUM:21 dan Q.S AN-NISA: 19)
1. Prof Dr. H. Fauzi Aseri, MA
2. Dr. H.M. Hanafiah, M.Hum
MAHMUDAH (210211050119)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
2021/2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil aalamiin, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunianya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Studi Al-Qur’an dalam program Pascasajrana Prodi Hukum Keluarga tahun 2021/2022 di UIN Antasari Banjarmasin, dengan topic Keluarga Bahagia (Q.S Ar-Rum:21 dan Q.S An-Nisa:19,34 dll).
Bahwa penulis sadari didalam tulisan ini tentunya banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat untuk membangun dan memperbaiki sangatlah diharapkan demi kesempurnaan makalah yang disajikan oleh penulis, dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun para pembaca pada umumnya.
Penyaji/Penulis,
Mahmudah
DAFTAR ISI
B. Menuju Rumah Tangga Bahagia
D. Interpretasi Ayat-Ayat Keluarga Bahagia perspektif Mufassir
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Qur’an menurut pengertian secara harfiahnya berarti “bacaan yang sempurna” tidak ada yang menandingi Al Qur’an karena didalamnya tidak hanya mempelajari tentang susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya, namun juga ia memiliki kandungan yang tersurat, tersirat bahkan juga sampai kepada kesan-kesan yang ditimbulkannya.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan sebagai pegangan/pedoman hidup bagi manusia muslim hingga akhir zaman. Al Qur’an sendiri bukan semata berbentuk teks yang hanya dipahami dan dibaca namun bagi umat muslim Al Qur’an juga dijadikan sebagai rujukan dalam setiap laku kehidupan bahkan semuanya terpusatkan kepada Al Qur’an dalam membentuk ajaran, pemikiran dan peradaban. Oleh karena itu, Al Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam yang tidak hanya memuat petunjuk tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min Allah wa hablum min an-naas) serta manusia dengan alam sekitarnya.
Di antara persoalan yang terkait dengan (hablum min Allah wa hablum min an-naas) yang dibahas dalam Al Qur’an salah satunya adalah mengenai pernikahan dan keluarga. Bagi umat manusia pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, memiliki tujuan yang sakral pula dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at agama.
Dari sebuah pernikahan akhirnya terbentuklah sebuah keluarga yang terdiri dari suami dan isteri yang akan melahirkan anak-anak mereka. Dan tujuan hidup seorang laki-laki dan perempuan yang telah melaksanakan pernikahan tadi adalah untuk membentuk keluarga bahagia yang sejahtera, penuh ketenangan dan rasa kasih sayang.
Keluarga bahagia sudah dipastikan menjadi idaman bagi tiap-tiap orang yang membina rumah tangga namun dalam membangun atau mewujudkan keluarga bahagia bukanlah perkara yang mudah dan tidak semulus apa yang kita bayangkan. Nah dalam makalah ini penulis akan menguraikan bagaimana Al Qur’an berbicara tentang membangun keluarga bahagia dan kontekstualisasinya dalam kehidupan saat ini yang terkandung dalam Q.S Ar-Rum: 21 dan Q. S An-Nisaa:19.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka muncullah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Alquran berbicara mengenai konsep keluarga bahagia menurut Misbah Musthafa dan Quraish Shihab?
2. Bagaimana kontekstualisasi ayat Alquran tentang konsep keluarga bahagia?
C. Tujuan
1. Menganalisa bagaimana Misbah Musthafa dan Quraish Shihab menafsirkan ayat-ayat tentang keluarga.
2. Memaparkan kontekstualisasi penafsiran ayat-ayat tentang keluarga dalam problematika masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Keluarga Bahagia
Keluarga adalah suatu pranata sosial
yang penting fungsinya dalam
masyaakat. Keluarga berasal dari bahasa sansekerta yaitu kula dan warga. “kula
warga” yang berarti anggota kelompok
kerabat. Keluarga adalah satu
kelompok atau kumpulan mnusia yang hidup bersama, sebagai satu kesatuan atau
unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan
perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama di suatu rumah dan biasanya
dipimpin oleh suatu kepala keluarga.[1] Menurut Mubarak dkk,
keluarga merupakan dua atau lebih individu yang diikat dengan hubungan
darah, perkawinan atau adopsi dan tiap-tiap anggota keluarga selalu
berinteraksi satu dengan yang lain.[2]
Berdasakan undang-undang nomor 10 tahun 1992 keluarga merupakan
kelompok yang terdiri dari orang-orang yang telah diatukan dengan ikatan
perkawinan, darah atau adobpsi serta berkomunikasi satu dengan yang lain yang
menimbulkan peranan soaial bagi suami-isteri, ayah-ibu, anak laki-laki dan
perempan, saudara laki-laki dan perempuan, serta merupakan pemelihara
kebudayaan bersama.[3]
Keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau
menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan
fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu
jaringan.[4]
kelompok atau kumpulan mnusia yang hidup bersama, sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau adobsi dan saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain.
[1] Nur Mazidah dan Siti Azizah, Sosiologi Keluarga (Surabaya: UINSA Press, 2014), hlm. 4.
[2] Tatik Mukhoyyaroh, Psikologi Keluarga (Surabaya: UINSA Press, 2014),hlm 5.
[3] Ibid., hlm 6.
[4]
Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai An Penanganan Konflik Dalam
Keluarga (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 6.
B. Menuju Rumah Tangga Bahagia
Untuk sampai kepada rumah tangga yang bahagia maka tentulah kita harus bisa membina pernikahan. Pernikahan tidak terjadi begitu saja, pernikahan terjadi karena dilatar belakangi sebuah alasan. Alasan yang menjadi latar belakang sebuah pernikahan sangat menetukan bagaimana proses kehidupan yang akan dijalani pasca pernikahan. Alasan itu pula yang bisa menjadi tolak ukur seberapa lama ikatan pernikahan itu akan bertahan. Selain itu alasan-alasan yag menjadi sebab pernikahan itu terwujud sangat mempengaruhi sejauh mana kebahagiaan dalam keluarga setelah pernikahan.
C. Membina Rumah Tangga
Tatik Mukhoyyaroh menyebutkan dalam bukunya Dadang Hawari
disebutkan ada dua orang profesor dari universitas Nebraska (AS) yaitu Nick
Stinnet dan Jhon Defrain (1987) dalam studinya yang berjudu ‚the national
study on family strengh‛ mengemukakan ada enam hal sebagai suatu pegangan
atau kriteria menuju hubungan
perkawinan atau keluarga yang sehat dan
bahagia sebagai berikut:
1. Kehidupan beragama dalam keluarga.
2. Mempunyai waktu bersama anggota keluarga.
3. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga
4. Saling harga-menghargai sesama anggota keluarga.
5. Keluarga sebagai ikatan kelompok. Masing-masing naggota keluarga
merasa terikat dalam keluarga
6. Kemampuan menyelesaikan masalah.
A. Interpretasi Ayat-Ayat Keluarga Bahagia perspektif Mufassir
A. Ar-Rum ayat 21
Ayat ini menunjukkan tujuan dari sebuah pernikahan, yaitu untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia. Secara redaksi dalam ayat ini tidak ada yang bermakna kebahagiaan, namun substansi kebahagiian terdapat dalam ayat ini, yaitu ketenangan daan ketentraman yang terkandung salam sakana, cinta kasih dengan pengorbanan yang terkandung dalam mawaddah, dan kasih sayang atau simpati yang terkandung dalam rahmat.
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Misbah Musthofa menjelaskan dengan cukup panjang lebar mengenai ayat ini, menurutnya Difirmankan dengan redaksi “anfusikum” karena Hawa diciptakan dari tuang rusuk milik Adam. Dan semua perempuan tercipta dari air mani laki-laki dan perempuan. Jika seseorang mau berangan-angan proses kejadian dirinya, bahwa manusia terbuat dari sari pati tanah yang mungkin dengan istilah sekarang (ketika ditulisnya tafsir ini) disebut dengan bibit manusia. Jika kita menempelkan ujung jari telunjuk ke tanah, tentu akan ada tanah yang menempek di jari kita, seandainya coba kita hitung ada berapa jumlah butiran tanah yang menempel di ujung jari kita? Itulah bahan-bahan manusia. Tetapi tidak setiap tanah yang menjadi bibit manusia, melainkan tanah yang digunakan untuk menciptakan jasadnya Nabi Adam. Bibit manusia ini terbuat dari setetes air mani. Manusia pada zaman sekarang sudah mengetahui bahwa dalam setetes air mani megandung beribu-ribu bibit manusia. Kemudian bibit manusia ini masuk ke dalam kandungan (rahim) seorang ibu, dan bagi yang tidak dizinkan oleh Allah maka bibit tersebut tidak menjadi manusia hingga waktu yang telah ditentukan.
Sedang Quraish menjelaskan ayat ini dengan gayanya yang terlebih dahulu mengupas dari sisi bahasa. Menurutnya, kata anfusakum adalah bentuk jamak dari kata nafs dan antara lain berarti jenis, diri, totalitas sesuatu. Pernyataan bahwa pasangan manusia diciptakan dari jenisnya membuat sementara ulama menyatakan bahwa Allah tidak membolehkan manusia mengawini selain jenisnya, dan bahwa jenisnya itu adalah yang merupakan pasangannya. [1]
Kata “taskunu” terambil dari kata sakana yaitu diam, tenang setelah sebelumnya sibuk dan goncang. Dari sini, rumah dinamai sakana karena dia tempat memperoleh ketenangan setelah sebelumnya si penghuni sibuk diluar rumah. Perkawinan melahirkan ketenangan batin. Kesempurnaan eksistensi makhluk hanya tercapai dengan bergabungnya masing-masing pasangan dengan pasangannya. Karena itu, setiap jenis merasa perlu menemukan lawan jenisnya. Dia akan merasa gelisah dan jiwanya akan terus bergejolak jika penggabungan dan keberpasangan itu tidak terpenuhi. Karena itu, Allah mensyariatkan kepada manusia perkawinan, gejolak jiwa itu mereda dan masing-masing memperoleh ketenangan. Itulah antara lain maksud kata litaskunu> ilayha>. Kata ilayha> yang merangkai kata litaskunu> mengandung makna cenderung/menuju kepadanya, sehingga penggalan ayat di atas bermakna
Allah menjadikan pasangan suami istri masing-masing merasakan ketenangan disamping pasangannya serta cenderung kepadanya.[2] Ketika menafsirkan kata mawaddah dan rahmat dalam ayat ini Quraish Shihab menjelaskan bahwa mawaddah bukanlah sekedar cinta, tetapi cinta plus, yaitu cinta yang tampak buahnya dari sikap dan perlakuan. Hampir mirip dengan kata rahmat, tetapi rahmat adalah jika yang dirahmati dalam keadaan butuh, rahmat tertuju kepada yang lemah, sedangkan mawaddah tidak demikian. Cinta yang dilukiskan dengan kata mawaddah harus terbukti dalam sikap dan tingkah laku, sedangkan rahmat tidak. Selama rasa perih ada dalam hati terhadap objek, akibat penderitaan yang dialaminya-walau tidak berhasil menanggulangi atau mengurangi penderitaan yang dialami objek, maka rasa perih-itu saja-sudah cukup untuk membuat pelakunya ,menyandang sifat pengasih, walau tentunya dalam yang demikian itu adalah dalam batas minimum.[3]
Quraish menemukan kesulitan ketika
mencari padanan kata
mawaddah dalam bahasa Indonesia. Ia hanya dapat melukiskan dampaknya.
Menurutnya pemilik sifat ini tidak rela pasangannya disentuh oleh sesuatu yang
mengeruhkannya, kendati boleh jadi ia memiliki sifat kecenderungan bersifat
kejam. Menurutnya, siapapun yang memiliki mawaddah, tidak akan pernah
memutuskan hubungan apapun yang terjadi. Sementara ulama menjadikan tahap rahhmat
pada suami istri lahir bersama dengan lahirnya anak, atau ketika suami istri
itu telah mencapai usia lanjut, Dan demikian rahmat
tertuju pada yang lemah dan kelemahan dan kebutuhan itu dirasakan pada masa tua. betapapun
baik rahhmat maupun mawaddah adalah anugerah dari Allah yang sangat nyata.