Mata kuliah Dosen pengampu
Al qur”an hukum keluarga 1.Prof Dr H Fauzi Aseri.MA
2.Dr.H.M.Hanafiah M.Hum
Nafkah Suami Dalam Keluarga Tinjauan Al qur”an dan Hukum Positif
OLEH
MISBAHUDDIN
NIM 210211050115
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji Allah, Tuhan semesta Alam yang telah melimpahkan rahmat serta ilmu pengetahuan bagi seluruh ummat manusia, sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini untuk mata kuliah Al qur”an Hukum Keluarga dalam studi Program S2 ilmu hukum keluarga di UIN antasari tahun 2021.
Penulis sangat menyadari dalam penyajian makalah ini banyka sekali kekurangan dari segi penulisan maupun dalam hal pembahasan tema atau topic, oleh karenanya Penulis sangat berharap adanya masukan yang membangun kepada penulis, agar depan menjadi pembelajaran yang berarti bagi Penulis dalam hal penulisan makalah selanjutnya, dan penulis berharap penulisan makalah ini dapat bermamfaat bagi penulis dan pembaca makalah ini. Terimakasih
Penulis
Misbahuddin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................4
A.RUMUSAN MASALAH.........................................................................................................6
C.TUJUAN...................................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN
A.Pengertian Nafkah....................................................................................................................7
B. Ayat – ayat alqur”an yang berkenaan dengan Pemenuhan nafkah dalam keluarga................7
C. Hukum Pemenuhan Nafkah dalam hukum Positif.................................................................10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..................................................................................................................................14
Daftar Pustaka
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Perkawaninan dalam islam merupakan sesuatu yang sangat dainjurkan, bahkan sampai pada kondisi tertentu sesorang dihukumkan kan wajib untuk melakukan perkawinan, selain sebagai bentuk interaksi sosial perkawinan juga sebagai bentuk dan upaya manusi untuk mempertahankan keturunan manusia itu sendiri,- dalam perkawinan ini kemudian lahir lah bentuk dan tanggung jawab dalam proses selanjutnya,-
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk rumah tangga yang sakinan mawaddah warrahmah, sebagai mana yang diatur dalam Konfilasi hukum Islam serta UU Perkainan No 1 tahun 1974, untuk mewujudkan keluarga yang sakinan mawaddah warrahmah perlu adanya keseimbangan antara pemenuhan hak dan kewajiban dalam ruma tangga.
Kewajiban Nafkah dalam perkawinan adalah sesutu yang bersifat wajib, Suami sebagai seorang kepala rumah tangga mempunyai kewajiban mutlak untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya. Nafkah ini bisa berbentuk pemenuhan sandang, pangan, papan serta pendidikan bagi anak-anaknya,- dalam kondisi dmana seorang suami yang tidak bisa atau tidak mempunyai kesanggupan secara finansial memenuhi kewajiban tersebut , tidak serta merta menggugurkan kewajiban suami untuk memenuhi kewajiban terhadap isteri dan anak-anaknya,-
Begitu pula kewajiban seorang isteri untuk berlaku taat kepada suami, melayani suami sebaik mungkin, hidup serumah dengan suami, dimanapun suami bertimpat tinggal, karena pemenuhan kewajiban ini akan mempunyai pengaruh hukum yang besar unt[1]uk menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah,warrahmah, sebagimana yang dicita-citakan dalam Konfilasi hukum Islam serta UU Perkainan No 1 tahun 1974.-
Pemenuhan nafkah bagi seorang suami terhadap isteri dan anak-anaknya mempunyai porsi khusus dalam Islam, bahkan perintah tersebut tergambar dalam beberapa surah didalam alquran diantaranya Albaqarah ayat 172, Attalaq ayat 6 dan Al Araf 33,-
Kelalaian suami yang tidak memenuhi nafkah terhadap isteri dan anak-anaknya akan berakibat fatal dalam perkawinan, bahkan alasan tersebut dapat dijadikan seorang isteri untuk melakukan gugatan cerai kepengadilan, Dalam hal kondisi isteri yang mempunyai penghasilan lebih, atau isteri tersebut ternyata merupakan berasal dari keluarga yang cukup berada hal ini tidaklah serta merta menggugurkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya,-
Besaran nafkah yang menjadi kewajiban suami terhadap isteri dan anak-anaknya bersifat relatif, tergantung berapa penghasilan suami, serta berdasarkan nilai kepatutan dan nilai kewajaran. Dalam hal pemenuhan nafkah yang ternyata kurang atau tidak mencukupi dalam kebutuhan sehari-hari sehingga mengharuskan seorang isteri ikut bekerja untuk membantu suami memenuhi kewajiban, dalam hal ini kewajiban suami tersebut tidaklah gugur dengan serta merta.
Bagaimana Islam memandang dan melihat Pemenuhan Nafkah seorang suami terhadap isteri sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, akan dibahas lebih lengkap dalam makalah ini :
B. Rumusan Masalah
1. Ayat – ayat Al-qur”an yang berkenaan dengan pemenuhan nafkah dalam rumah tangga
2. Bagaimana Hukum Positif melihat Pemenuhan Nafkah suami terhadap isteri
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perintah Alqur”an dalam hal pemenuhan nafkah dalam Alqur”an
2. Untuk mengetahui ketentuan hukum Positif dalam hal pemenuhan nafkah bagi suami dalam keluarganya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nafkah
Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafkah adalah belanja untuk hidup; uang pendapatan, selain itu juga berarti bekal hidup sehari-hari, rezeki. Dalam hal ini, nafkah yang Anda maksudkan adalah nafkah dalam suatu perkawinan, yaitu uang yang diberikan oleh suami untuk belanja hidup keluarganya.
Nafkah Secara Istilah adalah Pemberian suami kepada isterinya setelah adanya pernikahan, nafkah bersifat wajib karena adanya akad yang sah penyerahan diri istri kepada suami1, Syariat mewajibkan nafkah atas suami kepada isterinya, sebagaimana kewajiban taat seorang isteri kepada suami, yang dimaksud nafkah disini adalah pemenuhan kebutuhan dan keperluan isteri dan anak-anaknya yang berlaku menurut keadaan dan tempat seperti, makanan, pakaian, rumah, pendidikan anak dan biaya pengobatan.
B. Ayat – ayat alqur”an yang berkenaan dengan Pemenuhan nafkah dalam keluarga
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُلُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقْنَٰكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. ( Qs Albaqarah Ayat 172 )[2]
Asbabun Nuzul :
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian" (Al Baqarah:172). Kemudian Nabi Saw. menyebutkan perihal seorang lelaki yang lama dalam perjalanannya dengan rambut yang awut-awutan penuh debu, lalu ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Sedangkan makanannya dari yang haram, minumnya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan disuapi dari yang haram, mana mungkin doanya dikabulkan dengan cara demikian?
Tafsir Jalalain menjelaskan ayat tersebut :
Hai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara makanan yang baik-baik) maksudnya yang halal, (yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah) atas makanan yang dihalalkan itu (jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya menyembah)[3]
Tafsir Ibnu katsir :
Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya saja kalian menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk memakan dari rezeki yang baik yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan hendaknya mereka bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas hal tersebut, jika mereka benar-benar mengaku sebagai hamba-hamba-Nya[4]
Penjelasan ayat
Para
ahli tafsir menjelaskan dengan arti lebih luas, tidak hanya memakan, tetapi
meliputi memperoleh dan mentasharrufkan rezeki yang thayyib sekaligus
halal. Tidak boleh lupa bahwa rezeki thayyib yang di tangan
mereka adalah sesuatu yang diberikan oleh Allah atau sebagaimana dinyatakan
pada ayat 172 sebagai mâ razaqnâkum (مَا رَزَقْنَاكُمْ). Oleh
karena itu orang mukmin diingatkan agar bersyukur atas rezeki yang “Kami
rezekikan kepada kalian.” Biasanya rasa syukur diekspresikan dengan
ucapan hamdalah. Bagi orang yang menerima sedikit rezeki,
bacaan hamdalah cukup memadai.
(At talaq ayat 6 )
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّ ۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٍ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّ ۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٍ ۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ
Terjemahan : Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (para istri yang dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu sama-sama menemui kesulitan (dalam hal penyusuan), maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
• Asbabun nuzul
• Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(ath-Thalaaq: 1)
• Diriwayatkan oleh al-Hakim yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa ‘Abdul Yazid (Abu Rukanah) menalak istrinya (ummu Rukanah), kemudian ia menikah lagi dengan seorang wanita Madinah. Istrinya mengadu kepad Rasulullah saw. dengan berkata: “Ya Rasulullah, tidak akan terjadi hal seperti ini kecuali karena si rambut pirang.” Ayat ini (ath-Thalaaq: 1) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang menegaskan bahwa kewajiban seorang suami terhadap istrinya yang ditalak tetap harus ditunaikan sampai habis masa idah, tapi dilarang tidur bersama..
Tafsir Ibnu katsir menjelaskan mengenai ayat tersebut :
Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai ) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. [5]
Tafsir Jalalain :
(Hendaklah memberikan nafkah) kepada istri-istri yang telah ditalak, dan kepada istri-istri yang sedang menyusukan (orang yang mampu menurut kemampuannya. Dan orang yang dibatasi) disempitkan (rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang didatangkan kepadanya) yaitu dari rezeki yang telah diberikan kepadanya (oleh Allah) sesuai dengan kemampuannya. (Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan) dan ternyata Allah memberikan kelapangan itu melalui kemenangan-kemenangan yang dialami oleh kaum muslimin.[6]
Penljelasan
ayat :
Tempatkanlah mereka)
yakni istri-istri yang ditalak itu (pada tempat kalian tinggal) pada sebagian
tempat-tempat tinggal kalian (menurut kemampuan kalian) sesuai dengan kemampuan
kalian, Yakni pada tempat-tempat tinggal yang kalian mampui, bukannya pada
tempat-tempat tinggal yang di bawah itu (dan janganlah kalian menyusahkan
mereka untuk menyempitkan hati mereka) dengan memberikan kepada mereka
tempat-tempat tinggal yang tidak layak, sehingga mereka terpaksa butuh untuk
keluar atau membutuhkan nafkah, lalu karena itu maka mereka mengeluarkan biaya
sendiri. (Dan jika mereka itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan bayi kalian) maksudnya
menyusukan anak-anak kalian hasil hubungan dengan mereka (maka berikanlah
kepada mereka upahnya) sebagai upah menyusukan (dan bermusyawarahlah di antara
kalian) antara kalian dan mereka (dengan baik) dengan cara yang baik menyangkut
hak anak-anak kalian, yaitu melalui permusyawaratan sehingga tercapailah
kesepakatan mengenai upah menyusukan (dan jika kalian menemui kesulitan)
artinya kalian enggan untuk menyusukannya; yaitu dari pihak ayah menyangkut
masalah upah, sedangkan dari pihak ibu, siapakah yang akan menyusukannya (maka
boleh menyusukan bayinya) maksudnya menyusukan si anak itu semata-mata demi
ayahnya (wanita yang lain) dan ibu si anak itu tidak boleh dipaksa untuk
menyusukannya ( Tafsir Al Misbah
)
Al-A”araf ayat 33
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلْإِثْمَ وَٱلْبَغْىَ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا۟ بِٱللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِۦ سُلْطَٰنًا وَأَن تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang tampak dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, dan perbuatan melampaui batas tanpa alasan yang benar. (Dia juga mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan bukti pembenaran untuk itu dan (mengharamkan) kamu mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
• Asbabun nuzul
Asbabun Nuzul :
Imam Muslim telah meriwayatkan melalui Ibnu Abbas. Ibnu Abbas telah mengatakan bahwasanya pada zaman jahiliah ada seorang wanita melakukan tawaf di Kakbah, sedangkan ia dalam keadaan telanjang bulat kecuali hanya pada bagian kemaluannya yang ditutup secarik kain. Dan ia mengatakan, "Pada hari ini tampak sebagian tubuh atau seluruhnya; anggota tubuh yang terlihat aku tidak menghalalkannya." Kemudian turunlah firman Allah swt., "Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid......" (Q.S. Al-A`raaf 31) dan turun pula firman Allah swt., "Katakanlah, 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah.'....."(Q.S. Al-A`raaf 32-33).
Tafsir ibnu katsir
Katakanlah, "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) kalian mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian.[7]
• Penjelasan ayat :
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk menyampaikan kepada orang-orang yang musyrik dan kafir apa yang telah diharamkan Allah. Yang diharamkan Allah itu bukanlah seperti yang telah diharamkan oleh orang-orang musyrik yang tiada ada dalilnya atau tidak ada wahyu yang turun untuk mengharamkannya, tetapi mereka buat-buat saja, seperti mengharamkan memakai pakaian ketika tawaf atau mengharamkan makan daging ketika mengerjakan haji. Sesungguhnya yang diharamkan Allah tersebut dalam ayat ini harus dijauhi benar-benar, karena bahayanya sangat besar, baik terhadap yang mengerjakannya maupun terhadap umat manusia semuanya, larangan-larangan Allah.
C. Hukum Pemenuhan Nafkah dalam hukum Positif
1. Pengaturan nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) dapat dilihat dalam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) KHI, yaitu bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
ü Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
ü Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
ü Biaya pendidikan bagi anak.8
2. Pengaturan nafkah dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) kita dapat melihatnya dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan. :
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesaui dengan kemampuannya[8]
Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik baiknya
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannta masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. 9
Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dalam pengaturan UU Perkawinan, tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami.
Lebih lanjut, dalam UU Perkawinan dikatakan bahwa apabila suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan (Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan). Ini berarti apabila suami tidak memberikan nafkah untuk keperluan hidup rumah tangganya, isteri dapat menggugat ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama (bergantung dari agama yang dianut oleh pasangan suami isteri tersebut).
3. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) juga ada pengaturan mengenai nafkah secara eksplisit, yaitu dalam Pasal 107 ayat (2) KUHPer, yang mengatakan bahwa suami wajib menerima isterinya dan memberinya apa saja yang perlu , sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya,-10
Kewajiban suami dalam pasal ini lebih bersifat global, apa saja yang dianggap perlu oleh seorang isteri maka itu menjadi kewajiban seorang suami untuk memenuhinya. 3.1. Biaya rumah tangga,
3.2. biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
3.3. biaya pendidikan bagi anak.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
1. Nafkah adalah belanja untuk hidup; uang pendapatan, selain itu juga berarti bekal hidup sehari-hari, rezeki. Dalam hal ini, nafkah yang Anda maksudkan adalah nafkah dalam suatu perkawinan, yaitu uang yang diberikan oleh suami untuk belanja hidup keluarganya.
2. Kewajiban Pemberian nafkah diatur didalam Al Qur”an diantaranya surah Al-Baqarah ayat 172, Attalaq ayat 6, dan Al”araf ayat 32
3. Hukum Formil yang mengatur kewajiban ssuami memberi nafkah kepada isteri dan anak-anaknya-
3.1.Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) dapat dilihat dalam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) KHI,
3.2.Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) kita dapat melihatnya dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan. :
3.3.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) juga ada pengaturan mengenai nafkah secara eksplisit, yaitu dalam Pasal 107 ayat (2) KUHPer,
4. Kewajiban Suami nafkah suami terhadap keluargamua meliputi
ü Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
ü Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
ü Biaya pendidikan bagi anak
Daftar Pustaka
1. Abdul Aziz Muhammad Azzam (ed) Fiqih Munakahat, jakarta h 212-213
2. Al”qura:an Terjemah Republik Indonesia
3. Tafsir Alqur:an Ibnu qatsir Alqur”an learn com
4. Tafsir Alqur:an Jalalain Alqur”an learn com
5. Redaksi Nuansa Aulia , , KHI Dan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Penebit Cv Nuanasa Aulia hal 24
6. PN.H Simajuntak .SH Hukum Perdata Indonesia, Gramedia, hal 25
1 Abdul Aziz Muhammad Azzam (ed) Fiqih Munakahat, jakarta h 212-213
[2] Al”qura:an Terjemah Republik Indonesia
[3] Tafsir jalalain. Learn Alqu”an co.id
[4] Tafsir Ibnu Katsir Learn Alqu”an co.id
[5] Tafsir Ibnu katsir tafsi Al Qur”an Lear co .Id
[6]Tafsir jalalain. Learn Al Qur”an.co.id
[7] Tafsir Ibnu katsir tafsi Al Qur”an Learn co .Id
8 Redaksi Nuansa Aulia , KHI Dan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Penebit Cv Nuanasa Aulia hal 24
9 Ibid Hal 83
10 PN.H Simajuntak .SH Hukum Perdata Indonesia, Gramedia, hal 25